Tampilkan postingan dengan label memoar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label memoar. Tampilkan semua postingan

Kamis, 27 Januari 2011

Si Anak dari Perempuan Hebat: Sum


Dua orang sahabat mencatatku
-----------------------------------


Dia bicara tentang kodrat saat pertama kali bertemu. Dia tidak memilih menjadi laki-laki, walaupun ada batang penis di selangkangannya. Dia adalah digraf ‘kh’ dalam kata ‘makhluk’. Sekalipun samar, aku melihat jarinya berbentuk pena dan di dadanya ada sinar bertuliskan ‘IBU’.

Di balik virtual, dia bercerita tentang keluarga. Tentang mimpi seorang perempuan tua yang terhambat dia wujudkan, tentang mimpinya sendiri yang dia kesampingkan. Seolah sangat meyakini, bahwa pintu masuk surga benar-benar tersembunyi di bawah telapak kaki perempuan tua itu, yang dia panggil Ibu.

Seperti aku, dia juga suka menyapa Tuhan. Tetapi, ada malaikat bilang padaku bahwa Tuhan agaknya lebih suka berbincang dengannya. “Cerita kalian pada Tuhan serupa tak sama. Kau terlalu muluk tentang jodohmu, sedang dia justru ingin menjodohkan Tuhan dengan ibunya.”

Malam kali pertama aku membuka isi kepalanya. Indah. Dia mahir bermain kata-kata. Masih, dia menyanjung puji keanomalian otakku. Sedang dia bercerita tentang realita, menyajikannya dengan semburat warna. Entah bagaimana, abu-abu pun tak terasa sendu di tangannya. Aku mengagumi itu, berhenti mengeluh dan menerima. Seharusnya dia tidak menundukkan kepala. Angkat topi dan hormat tertinggi untuk keberaniannya melirik ke belakang, tanpa tertatih berjalan ke depan.

Lama setelah itu, dia menceritakan umurnya. Menurutnya, sejak dulu dia sudah dikarbit tak sengaja oleh keluarganya. Astaga! Menurutku, dia neokarpi! Dan bunganya harum dan buahnya ranum. Tiba-tiba saja aku ingin mengganti anggurku dengan kreolin. Aku malu. Kuputuskan untuk tidak bertemu lagi dengannya.

Aku bukan biarawan, katanya. Dosa aku masih punya. Nafsu pun sesekali singgah. Apapun itu, dia laki-laki, istimewa. Rasa lapar dia tangkis dengan jejak-jejak tulisan. Masih sempat dia mendengar beberapa cerita dari kawan, padahal dialah yang paling membutuhkan sandaran.

Aku benar-benar mengganti anggurku dengan kreolin sesampaiku di rumah. Tapi, aku memang pengecut! Aku tidak jadi meminumnya, cuma berani mencium aromanya. Aku mabuk, kemudian menangis. Dia meneleponku, tidak kujawab. Dia mengirimkan surat elektronik, tidak kubalas. Lalu akhirnya aku menyerah ketika dia mengirimkan aku sebuah lukisan kota. Aku memang kagum setengah hidup setengah mati padanya. Kubalas suratnya dan segera meneleponnya. Dia bilang: rindu. Aku bilang: hai, sinar kosmik!

Berjanjilah padaku, mainkan sebuah lagu saat nanti kita bertemu. Begitu pintanya, aku mengiyakan. Lagu pertama yang kubawakan di depan orang ramai, pertama kuhafal di luar kepala. Setinggi itu aku menghargaimu, anak Sum. Bahkan untuk merasa sedih di depanmu pun aku rasa aku tak akan mampu. Bagaimana aku mengeluh tentang luka yang digoreskan hidup di pesisir dahiku, sementara badanmu penuh luka, tapi bukan darah, kulitmu mengeluarkan cahaya.

Aku lega sekali bisa berjalan berduaan lagi dengannya. Aku berharap ada bahagia yang kutinggalkan di sekujur hatinya setiap bertemu denganku. Aku ingin sekali menciumnya, tetapi dia lebih pantas diberi decak kagum. Maka, aku melakukannya kapanpun aku bisa, kadang sembari membayangkan senja di Sadranan yang pernah ia ceritakan.

Dan sore tadi aku terima sebuah undangan. Untuk bertemu seorang perempuan hebat yang telah melahirkannya. Hampir berteriak aku senang, girang bukan kepalang. Rasanya ingin ikut mengecup tangan si perempuan tua jika diperbolehkan. Jika Ibuku begitu menakjubkan, maka kupastikan dia iri kepada Sum, yang memiliki anak lelaki dengan hati selembut sulaman sutra karya tangan.

Suatu malam, kami berbincang lewat pesan instan persegi empat. Mungkin kami berjodoh, karena kami sama-sama kelaparan malam itu. Ada air menggenang tiba-tiba di mataku dan segera saja mengalir senyap ke pipiku, setelah dia katakan kepadaku bahwa hanya ada nasi di rumahnya untuk dimakan. Tidak ada mi instan dan telur seperti yang selalu tersedia di rumahku, tidak ada cemilan anu ini itu seperti yang selalu ada di kamarku, tidak ada? Aku ketik: "andai bisa mengirimkan makanan lewat messenger kita ini ya?" Ah! Dia tak perlu negeri dongeng! Kelak aku datang kesana, ke rumahnya, membawa hasil resepku. Dia ketik: ‘aikon senyum’, yang indah sekali.

Tapi dia tidak perlu dikasihani. Tidak, tidak. Terkasihani hanya bagi mereka yang lemah. Dia kuat, sekali! Dan aku mengasihinya, itu berbeda. Masih pagi lagi ketika kami bertukar salam menyambut hari melalui pesan singkat seratus empat puluh huruf. Dia katakan tak sabar menunggu siang, telah disiapkan sang Ibu, sekotak bekal. Aku tak tahu isinya apa, rasanya bagaimana, itu tidak penting. Yang aku tahu, dia akan makan lahap sekali. Lalu mengetik kabar gembira berbagi padaku dan semua, bahwa masakan itu adalah terlezat di dunia.

Andi adalah peri yang selalu berucap "atas nama ketidaksempurnaan", yang tak pernah alpa mengingatkanku untuk melafalkan doa-doa di atas bantal. Mari kutebak: Ibu peri pasti cantik sekali.



Jakarta-Medan, 25 Juli 2010.
Alinea ganjil Sabrina : Fiksi yang kisah nyata; cetak-tebal-miring adalah karya-karya anak Ibu Sum.
Alinea Genap Dee Dee : Penggalan pembicaraan yang tersangkut di kepala.

*Rekam kata aslinya terdapat di sini.

Minggu, 16 Januari 2011

Buat Ani



Selamat menua, Nona! Enam belas tahun lebih dari sekedar usia. Berhentilah mengeluh soal banyak hal sepele. Jangan hanya berpikir bagaimana tampil kece. Mulailah belajar bersyukur. Belajar menikmati mimpi meski kadang gugur. Dengar, aku tak pernah melarang kau bermimpi. Sesukamu setinggi-tinggi. Tapi ingat soal keterbatasanmu. Aku tak minta kau uapkan mimpimu. Sederhanakan saja semampumu. 

Lihat bagaimana saudara-saudara perempuan pendahulumu. Kau tak perlu bersumpah takkan mengulangi kesalahan mereka. Toh, aku tak menghakimi mereka sebagai perempuan-perempuan gagal. Hanya nasib mereka terlampau sial. Aku tahu kau akan menjadi lebih beruntung ketimbang mereka yang masih terlalu muda saat anak-anak lucu itu memanggilnya Ibu. Aku takkan pernah mau lagi ke Pasar Pramuka demi obat peluruh sialan itu. Dosaku sudah menggunung. Aku yakin kau takkan sudi menjadikannya bergunung-gunung.

Belajarlah berdamai dengan dirimu sendiri. Berdamai dengan mulutmu yang kerap memaki. Aku tahu aku tak sempurna, pun dirimu. Berilah keadilan pada waktu. Aku tahu kau muda belia ingin ini, ingin itu, ingin anu. Serahkan semua pada waktu. Kau tak harus menggamit kelamin lawan jenismu jika kau pikir itu belum waktunya. Aku lelaki, aku tahu lelaki. Mereka kadang bisa melancarkan rayu-rayu semerdu dendangan ibu. Yang kau perlu adalah keyakinan soal hari depanmu. Berkacalah pada realita yang lekat tak jauh dari mata hidungmu. Dulu itu kau bagai putri dalam kerajaan bapak ibumu. Apa yang kaumau terhidang dengan cepat tak perlu waktu. Tak ada kerajaan kini. Aku tahu kau tak begitu siap dengan tetek bengek kekurangan di sana di sini. Semua jadi tak seperti yang kaumau. 

Pernah tahu badai? Buka buku geografimu kalau kau tak tahu. Anggap saja kita ini sedang diterpa badai entah sampai kapan nanti. Kau juga harus tahu akan ada pelangi saat badai berhenti. Aku tahu kau suka pelangi, pun aku. Merah. Jingga. Kuning. Hijau. Biru. Nila. Ungu. Sewarna-warni lollypop kegemaranmu dulu. Sewarna-warni hidup yang kadang kelabu. Kelabu yang kerap mengundang kau berairmata. Ahh, aku jadi ingat soal air matamu saat kau mengadu pada hujan. Kau tulis begini pada catatan Facebookmu:
di depan teras rumah
kulihat gemericik hujan membasahi bumi
bumi tempat aku berpijak
bumi tempat aku hidup
hidup dalam asuhan kedua orang tua
orang tua yang membimbing aku sampai saat ini
orang tua yang tegar
tegar dalam segala cobaan
cobaan yang mengguyur keluarga kami
aku rasa ini pahit, pahit rasanya
tetapi mereka tetap tersenyum manis menjalaninya
disaat hujan aku berharap
saat hujan berhenti semua itu berakhir
tapi tidak! SAMA !
sama seperti sebelum hujan turun
hambar!
Menangis memang kadang perlu. Tapi kuberi tahu, jangan pernah menangis lagi di hadapan ibu. Aku tahu tangis ibu lebih pecah di hatinya saat tahu salah satu dari kita berair mata. Aku tahu ibu lebih sering menangis di belakang kita entah di mana sambil memikirkan hari depan anak-anaknya. Aku lebih tahu ibu akan selalu ada di garis terdepan menyemangatimu saat senyummu tak terkendali barang sesimpul. Ayolah, jangan buat masa tua ibu menumpul. Kita sama tahu ibu berusaha tegar luar biasa. Kita sama tahu tak bisa setegar ibu. Kita sama tahu ibu senang teramat sangat melihat kita tersenyum. 

Belajar juga soal menahan hasrat. Jangan mudah dikalahkan pikiran sesaat. Aku tahu kau terlalu belia. Terlalu bergejolak melihat kawan-kawanmu punya hampir segala. Tapi kau tak harus punya Blackberry saat mereka menggenggam ke sana kemari. Kau tak harus turut serta menonton film drama cinta saat mereka sibuk berebut tiket sinema. Ingat lagi soal keterbatasanmu. Keterbatasan kita. Jujur aku ingin memberikanmu segala rupa sesuai yang kau pinta. Mungkin nanti saat kau sudah tak belia. Saat kau bangga menjadi perempuan hebat setelah melewati badai yang lebih kejam dari Katrina. Berdua kita akan merubah hari depan ibu. Merubah dunia. Merubah segala. Merubah badai jadi pelangi di sore yang jingganya menghangatkan keriput-keriput kulit ibu. Aku menjanjikan ini padamu. Sungguh. 

 -------------------------------------------------------
Yang selalu menjadikanmu putri dalam dongengku.
Seorang saudara lelaki dan sahabatmu
A

Rabu, 22 Desember 2010

Sumiati


Ibuku suka mawar.
Ibu seperti mawar.
Wangi doanya tak tertawar.
Tajam nalurinya nyaris selalu benar.
Ia sinar.

Ibuku gemar menyapu.
Tak suka lantai berdebu.
Tak suka kami berair mata sendu.
Tak suka kami berdarah barang sekuku.

Ibuku tak bisa menari.
Tak bisa menyanyi.
Ia biarkan kami menari setinggi matahari.
Bernyanyi selantang dewa-dewi.
Kami terberkahi.

Ibuku tak terpelajar.
Tak suka belajar.
Ia mahaguru tanpa gelar.
Ia pengingat salah benar.
Ia menilai dengan sabar.

Ibuku bukan santri.
Ibuku jarang mengaji.
Ia percaya dosa tak berciri,
pahala tak terbeli.
Ia kitab tanpa predikat suci.

Ibuku tak selembut salju,
tak sekeras batu-batu.
Saat kami belum juga mengetuk pintu,
ia di sana setia menunggu.

Ibuku tak semenyala api,
tak seputih melati.
Tanpa pamrih memberi.
Tanpa lelah mengamini segala doa kami.
Ia sewarna-warni pelangi.

Ibuku bukan malaikat.
Ibuku bukan besi berkarat.
Ia mencintai tanpa sekat.
Memaafkan tanpa syarat.
Ia tak benci keringat.

Ibuku menanak nasi.
Ibuku membuat sambal terasi.
Ia tak pandai membuat solusi,
tapi selalu mencoba mengerti.
Ia arti.

Ibuku tak menyala dalam gelap.
Ibuku bukan dewi bersayap.
Ia tersenyum, juga meratap.
Buat kami, kapanpun, ia di sana selalu siap.

Ibuku bukan sempurna tanpa celah.
Ibuku berbuat salah.
Demi senyum kami, ia kerap mengalah.
Pendengar setia setiap kisah.
Ia berkah.

Ibuku bukan peri,
pun bukan maharani.
Ia tak bisa ikat dasi.
Meski tak selalu berisi,
kalimat-kalimatnya sepenuh hati.

Ibuku tak punya istana.
Ibuku tak bermahkota.
Saat mata terbuka,
Ia yang pertama,
yang tak habis ujungnya.
Ia cinta.

-----------------------

Depok, 2010
*Sumiati, nama ibuku

Kamis, 07 Oktober 2010

Terima Kasih


Kepada Tuhan, 
zat tunggal penguasa isi semesta dan segala pergerakannya yang penuh kejutan. Terima kasih untuk ini itu anu, segala rupa dalam hidupku. Kau Maha Keren!

Kepada Ibu, 
pandita ratu kerajaanku. Terima kasih untuk segala mantra sakti terbaik yang selalu tertuju padaku. Maaf telah membuat resah menyoal hari depanku.

Kepada Bapak, 
pendengar setia setiap kata. Meski kadang menjengkelkan, aku selalu sumringah untuk setiap aminmu atas segala doaku.

Kepada Sedarah, 
perempuan-perempuan hebatku. Mbak Tuti, Mbak Iin, dan si bungsu Ani. Apapun ulahmu, apapun ulahku, Kita satu. Terima kasih untuk segala percaya yang tak ada habisnya.

Kepada Sahabat, 
para pemberi semangat tanpa jemu. Terima kasih untuk hari-hari aneka rasa. Semoga kalian tak bosan dengan setumpuk keluhku. 

Kepada Guru, 
manusia-manusia terpilih tanpa pamrih. Terima kasih atas semua jawaban akan tanda tanyaku. Untuk semua ikhlas yang tak bisa kubalas.


Depok, 2010

Senin, 13 September 2010

Rindu Ibu


1
Ada ibu merindu anak-anaknya.
Tiga dari lima.
Sudah berkali-kali lebaran tak kunjung temu tiga.
Tersisa dua.

2
Si sulung lelaki seperti hilang, tak ada kabar tersiar.
Ikut istri ke Riau dan beranak kembar.
Si ibu berharap kapal pesiar.

3
Si ibu gemar pindah alamat sejak si sulung pindah pulau.
Rantai kabar terputus tak lagi terjangkau.
Ibu jadi hobi mengigau.

4
Setelah menahun, si ibu pura-pura mengikhlaskan si sulung pada alam.
Padahal, ia selalu berharap ada yang mengetuk pintu tiap malam.

5
Si dua adalah perempun pertama.
Polahnya tak terkendali tangan ibu yang sibuk melawan ibu kota.
Salah taruh percaya.

6
Tut Wuri Handayani, terpanggil Tuti.
Tuti, si dua, merasa nyaman dengan pemuda pinggir kali.
Beranak satu perempuan empat lelaki.

7
Dengan klisenya, Tuti ditinggal pergi suami.
Sejuta alasan pasti tak pasti, pada ibu Tuti kembali.
Maaf selalu ada untuk si buah hati.

8
Tuti mulai kerepotan mengumpulkan rupiah untuk sekadar beli susu kemasan.
Ia pikir mencari akan dolar lebih ringan.

9
Tuti dan ibu berbagi kesepakatan.
Tuti memilih negeri singa, si ibu memilih jadi nenek bercucu beruban.
Mereka dipisah lautan.

10
Sekarang, si ibu resmi kerepotan dan Tuti resmi dirindukan.
Cucu-cucu kehilangan masa kecil idaman.
Tak pernah bermain di taman.

11
Satu lagi yang sedang dirindu ibu.
Anak ketiga, si perempuan ayu.
Seayu putrinya, cucu terakhir ibu.
Sudah lama tak saling temu.

12
Suami si tiga tak pernah beri jalan ke rumah ibu.
Serupa monopoli, ia melarang tak pernah ragu.
Ibu yakin jiwa menantunya terganggu.

13
Dulu ibu menentang mereka.
Mereka disatukan janin sebelum ijab kabul terlaksana.
Sukses memisah ibu dan anak ketiga.
Menantu durhaka.

14
Pagi tadi,
si ibu menyebut nama tiga anak pertamanya
di sela peluk tangis si empat dan si bungsu.
Lebaran semacam panggung tanpa lagu.

15
Ada ibu bertanya pada anak-anaknya
:apa Gusti benar maha segala?
Si bungsu menepis air mata.
Si empat, aku, kehilangan kata. 

--------------------------------------------------
Depok. 1 Syawal 1431 H

Sabtu, 11 September 2010

Sekata Tiga Aksara

Saya sedang merindu dia yang bernama satu kata dan hanya tiga aksara.
Kenangan aneka rasa terikat di kepala.
Lekat./

Saya tahu dia dulu hanya memanfaatkan keanehan saya,
tapi saat itu saya ikhlas dimanfaatkan aneka rupa./

Naik motor usang punyanya,
makan sate malam buta,
pergi berdua ke sinema,
curi-curi dari mereka.
Dia nakal tapi saya suka./

Matanya selalu menggoda.
Saya selalu suka melihatnya berolah raga.
Berkeringat.
Memikat./

Saya ingat bagaimana ciuman pertama kami.
Dia bilang tak sengaja.
“Jangan bilang siapa-siapa” jadi kalimat keduanya. /

Dia tak pernah marah setiap kali saya peluk dari belakang di atas motor bapaknya.
Sayangnya tak berlangsung lama./

Dia gemar memamerkan bentuk perutnya.
Atlet sekolah idaman wanita.
Mereka tak pernah tahu soal kami berdua./

Ciuman kedua jadi yang terakhir, di tangga lantai dua sekolah.
Di lantai satu pacarnya menggigit bibir.
Dia pintar mencari celah./

Setelahnya,
dia berlakon mirip orang asing.
Salah tingkah.
Saya cuma bisa senyum garing.
Berusaha tetap ramah./

Oke!
Sudah menahun tak melihatnya.
Entah kena apa di kepala ini hanya ada satu nama tiga aksara.
Errgh! /

Tebal alis di atas matanya.
Kedua bibir penuhnya.
Tahi lalat yang entah dimana.
Saya merindu semuanya, pria pertama./

Teman saya bilang dia hampir mirip Collin Farrel,
aktor Irlandia dengam citra ‘bad boy’.
Yes, He was my bad boy./

Saya tak pernah simpan nomornya di daftar kontak ponsel saya.
Terpaksa menghafal alih-alih menutupi dari sekitar./

Dia menyimpan nomor saya dengan nama ‘Dara’ di ponselnya.
Saya tak pernah minta tapi dia pintar bersandiwara./

Saat hari mulai membosankan,
saya kirim pesan pendek padanya.
Setengah jam kemudian dia sudah menunggu di persimpangan./

Kami gemar keluar setelah gelap,
alih-alih menghindari jarak pandang mereka yang kami kenal./

Dia selalu tanya kabar mantan pacarnya yang adalah teman saya.
Saya selalu jawab sambil bersungut-sungut.
Dia terkekeh manggut-manggut./

Dia suka nonton.
Dia suka kopi.
Saya suka dia dan keduanya.
Masih saya simpan tiket pertama kami.
Mugkin tak bernilai tapi berarti./

Ada yang curiga soal kami,
masa bodoh tak ambil peduli.
Ini soal nyaman bukan aman,
tapi dia mulai keberatan./

Dia punya pacar baru.
Lucu dan ayu.
Saya dikenalkan.
Saya tak keberatan.
Kami tetap pasangan./

Setelah adegan kamar mandi sekolah dia menghilang ke lain kota untuk turnamen kebanggaan.
Kepulangannya tak pernah berkabar./

Dia serupa tertelan gelombang tak bernama.
Hilang.
Dia resmi menjadi kenangan.
Sekarang, saya sedang mengenangnya./

Sempat tak sengaja tatap muk di bis kota dan pusat belanja.
Dia berdua dengan pria entah siapa.
Saya cemburu./

Saya tak pernah cemburu sebelumnya karena pasangannya selalu wanita.
Kali itu saya kecewa./

Dulu, saya menyebutnya ‘gay on the closet’.
Mungkin sekarang dia lebih terbuka cari nyaman, atau entah apa.
Saya sempat marah./

Terakhir bicara,
dia sudah menikah karena ada anak gadis diperawaninya.
Saya lega.
Dia tak berakhir pada pria./

Saya senang mengenang bahunya pernah jadi tempat ternyaman untuk menguapkan lelah.
Menguapkan pura-pura./

Saat itu,
hanya kepadanya saya bisa berhenti pura-pura.
Dia tak terlalu perhatian,
tapi berusaha mengerti./

Dia hanya bernama satu kata dengan tiga aksara.
Dia adalah KAU yang tak pernah hilang namanya di kepala ini.//

---------------------------------------------
Depok, 11 Agustus 2010
*dirangkum dari hashtag #sekata3aksara –curhat membabi buta di Twitter saya [@ndigun]

Jumat, 03 September 2010

Cerita Sum

Kemarin sore pelangi terbit, kau lihat? Gugusan warnanya menyempurnakan senja yang hampir beku. Tegar pernah berkalimat, “Akan ada pelangi setelah badai.” Jika kau meyakini eksistensi pelangi, kau bisa setegar Tegar. Aku tahu badaimu masih kencang menggelombang. Badaimu adalah badaiku dulu. Bukan karena aku kalah lantas kau yang harus menerjangnya. Ini soal bumi dan isinya dan pergerakannya. Aku rasa kita tak pernah tahu kita akan diputar kemana. Kemanapun badai membawamu, aku akan ada di garis terdepan. Menguatkanmu saat peganganmu mengendur.

Sore itu Sum menghantarkan segenggam maaf padaku. Maaf karena mematahkan mimpiku. Bukan hanya satu mimpiku. Nyaris semua, katanya. Aku mengembalikan kata. Bukan ia si pematah mimpi. Tak ada yang patah bahkan. Mimpiku adalah membuatnya kembali bermimpi. Mimpiku tak terpatahkan. Suatu hari nanti kita akan terduduk menikmati sore dengan mimpi di genggaman. Mimpi yang tersempurnakan kelak. Ini janjiku. Bersabarlah sedikit lebih lama.

Namanya Sumiati. Panggil saja ia Sum. Ia sedang belajar kembali menyulam mimpi setelah sebelumnya kehilangan jarum sulamnya. Ia ibuku dan kini jarum itu milikku.

Minggu, 11 Juli 2010

Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa*

#1 Menyoal Waktu

10:13:23 PM dmelisa55: Hey kamu
10:14:21 PM andu_2603: apa sayangs
10:14:28 PM andu_2603: besok jadi pergi?
10:14:46 PM dmelisa55: ngga
10:14:53 PM andu_2603: lho?
10:14:55 PM andu_2603: knp?
10:15:33 PM dmelisa55: lo ga bs,yesa jg..
10:15:45 PM dmelisa55: si kaka males
10:15:47 PM dmelisa55: :(
10:16:01 PM andu_2603: yaaaah
10:16:07 PM andu_2603: ga ada uang banget gue
10:16:15 PM andu_2603: klo ngumpul di rmh siapa gitu
10:16:21 PM andu_2603: pasti gue samperin :)
10:17:14 PM dmelisa55: si kaka sih lg drmh pndk cabe
10:17:35 PM andu_2603: mau?
10:18:13 PM dmelisa55: huh
10:18:23 PM dmelisa55: coba blg anak2
10:18:47 PM dmelisa55: gw mah mau2 aja.pan ane dkt rmhnya
10:21:29 PM dmelisa55: Tp emg lo mau bsk nyamperin gt?
10:22:53 PM andu_2603: iya :)
10:23:25 PM dmelisa55: Yowes gw blg yesa nih
10:23:26 PM dmelisa55: Emg bsk lo smpe jm brp?
10:24:13 PM andu_2603: maunya jam berapa?
10:24:18 PM andu_2603: biar bisa lama
10:24:44 PM andu_2603: i need extra conversation
10:26:17 PM dmelisa55: dr siang bs?
10:29:15 PM dmelisa55: Hoy
10:29:26 PM andu_2603: Yoh
10:29:55 PM dmelisa55: Bs ga dr siang?
10:30:14 PM andu_2603: bisa bisa bisa
10:30:17 PM andu_2603: bangunin aja
10:30:27 PM dmelisa55: Serius?
10:30:32 PM andu_2603: siap!
10:30:35 PM dmelisa55: Asik
10:30:39 PM dmelisa55: Love u full dah
10:32:23 PM andu_2603: bawa makanan yak :)
10:33:13 PM dmelisa55: drmh kaka ud bnyk makanan
10:33:16 PM dmelisa55: Ahahaha
10:34:28 PM andu_2603: harus
10:34:34 PM andu_2603: sm dvd :)

















Selasa, 06 Juli 2010

Kaugemakan Laguku Saat Jendela Terbuka


:Yessa Putra Noviansyah


Hari-hari merupa hitam putih sesekali terselip abu. Umpama tembakau dalam kemasan petang, kunikmati selingan kelabu yang menggelayuti mau sebelum datang merah.

Kau mengetuk pintu dan kubiarkan masuk lewat jendela. Pintu terlalu lapang saat terbuka -mengaburkan asap yang ingin kujaga baunya dalam kubusku.

Demi kelayakan predikat, kubagi sesesap jujur padamu yang masuk lewat jendela berkarat. Kepulannya merasuki celah yang rahasia, kenapa kau buka pintu?























[ndigun, Depok 06 Juli 2010]
*ilustrasi diunduh dari sini

Kamis, 01 Juli 2010

Kami Rumput dan Kau Penunggang Kuda yang Menunggu Genap Hitungan





















1
umpama kau putri berkuda
kami adalah rumput-rumput pembual
rupa-rupa
hijau adalah bukan seperti kekal

2
pelanamu permadani
dirajut dari sutra jingga
kau duduki
singgasana aurora

3
kami tetap menjejak
kau melaju hilang arah
mengindari sebentuk jejak
goyah

4
atas-depan jadi pusat pandang
selebihnya kau anggap ganjil

5
kau tak henti melaju
di atas kuda pucat yang tak sempat mengeluh

kau tak henti menunggu suatu nanti,
yang kau ingkari; yang memaksamu merumput; yang mengoyak pelana aurora; yang menutup lensa-lensa; yang menyisakan sebuah frase.

6
suatu nanti dan kami masih rumput,
dan kami telah bersiap jadi landasan ramah jatuhmu



















——————————————————
Untuk seorang nona, kau tahu kapan saatnya mengistirahatkan kudamu.
It’s sweet when somebody knows every single detail about you, isn’t it?
The more they get to know you, the more attractive you become to them because everything beautiful they see on the inside of you, suddenly they’re able to see on the outside of you too.
------------------------------
[ndigun, Depok 01 Juli 2010]
*ilustrasi diunduh di sini dan di sini

Kamis, 03 Juni 2010

Ganjil

Ibu, masih ingat dulu aku merengek minta diajak ke layar lebar? Ada film yang teman-temanku ramai gunjingkan. Ibu mengiyakan pintaku dan aku sumringah berkepanjangan. Senangnya bukan kepalang. Setelahnya, aku merengek minta dibelikan kaset yang berisi lagu-lagu dalam film itu. Ibu mengiyakan. Aku senang bukan kepalang. Kita putar kasetnya saat hampir petang, bapak belum pulang mungkin sedang menyambangi si jalang. Tenang, berdua saja denganmu aku sudah senang. Senang bukan kepalang. Senang berkepanjangan.

Satu lagu itu aku pinta ibu putar berulang. “Lagi ibu, lagu itu lagi!”. Ibu mengiyakan, setia menemaniku mendengarkan berulang-ulang. Kita tak hanya mendengar. Kita berandai-andai berkepanjangan. Andai aku besar nanti. Andai aku besar nanti*. Andai aku besar nanti. Ibu setia mengamini andai-andaiku yang panjang. Mengandai berulang-ulang. Aku senang bukan kepalang. 

Maaf, ibu. Aku belum sempat menggenapi andaianku padamu di sebesar ini. Bukan, bukan karena aku terlalu dimanjakan bapak yang berlaga bak penguasa kerajaan. Bukan karena aku sibuk gonta-ganti pasangan. Bukan karena aku mengandai setinggi-tinggi awan. Bukan karena saudara-saudaraku lebih membanggakan. Aku tahu ibu sering menangis meringkuk di ujung ranjang. Bukan karena kedinginan. Lantaran para pendahuluku bermain terlalu jauh dari simpangan. Boleh kuberi mereka satu-dua tamparan? 

Maaf, ibu. Aku sempat membuatmu merasa bersalah berkepanjangan karena belum sempat menggenapi andaianku sendiri di sebesar ini. Membuatmu kerap mengantarkan maaf yang tak perlu. Harusnya aku tahu ibu tak pernah merengek menyoal kapan andai-andai itu jadi benar-benar. 

Maaf, ibu. Aku sudah berada lebih jauh simpangan daripada para pendahuluku yang ingin kutampar dulu. Kalau ibu mau beri aku tamparan, aku tak akan mengelak barang segerakan. Nyatanya aku tak seistimewa yang ibu andaikan.



*Judul salah satu lagu yang gemar kuputar berulang-ulang milik Sherina.
————————————————————————-
A –anak lelaki Sum

Kamis, 27 Mei 2010

Untukmu, May


Hey, Nona! Mana senyummu? Tak seharusnya kau sesendu itu. Ini harimu, ingat? Aku takkan mengucap selamat kalau kau masih meratap. Kau tahu? Senyummu itu indah. Tunjukan pada dunia kau tak lemah. Kau tak seringan kapas yang mudah goyah. Kau kuat bagai beringin yang hijau daunnya meriah.

Baiklah. Mungkin aku harus menyegerakan mantra Selamat untukmu. Agar kau tetap tersenyum seperti teman sebayamu, adikku. Selamat meretas usia dalam angka. Berapa usiamu hari ini? Lima belas tahun? Coba berkaca sejenak. Kau apel yang sedang ranum. Kau mawar yang harum. Berduri. Jangan sekali-kali kau tusukkan durimu pada ia yang kau sebut Mama.

Ahh, aku lupa harus mengucap selamat yang lainnya. Kau berganti rupa bukan? Maksudku, kau berganti seragam biru jadi abu. Aku mengucap selamat untuk itu. Dengar, kau akan merindukan masa birumu yang riang. Tapi aku yakin abu-abu kadang lebih istimewa.

Kau kini sedang di ambang pintu abu-abumu. Masuklah jangan sungkan. Kau hanya perlu satu keyakinan. Masa depan. Di mana pun kau kenakan abu-abumu, kau harus ingat ada yang berharap baik bagi hari depanmu. Ibumu, kakakmu, iparmu, sahabatmu, aku, juga Bapakmu di surga sana.

Omong-omong, semalam aku menginap di bulan. Aku bertemu bapakmu di sana sedang berbinar. Berbinar melihatmu tumbuh mendewasa. Ia sempat titipkan pesan untukmu, begini pesannya:

“Bungsuku, kau jadi satu-satunya teman perempuan bagi ibumu kini. Jadilah teman terbaik baginya. Selalu beri senyum terindahmu untuknya. Jangan pernah bosan mendengar keluh kesahnya. Jaga ibumu untukku. Aku akan membantumu menjaganya, juga menjagamu, dari atas sini. Kau harus meyakini sesuatu, aku tak pernah jauh darimu. Aku nyaris tak berjarak. Aku tetap hidup dalam setiap pijakanmu. Menyaksikan setiap langkahmu. Aku menyayangimu, Bungsuku”

Selamat lima belas !!!

Saudara lelakimu, anak Sum yang menyayangimu –selalu

A
----------------------------------------------------------
Aku lupa mengingatkan,
saudara lelakimu bertambah satu, Aku.
Jangan cengeng lagi yaa sayang :)

Jumat, 21 Mei 2010

Dia Tak Perlu Negeri Dongeng

Hujan. Awan hitam timbul tenggelam di gugusan cakrawala. Bulir-bulir airnya sesekali menyibak bau tanah, mengisyaratkan bumi masih ada.



Sesekali kesejukan menyelinap pada celah ruang persegi yang mulai retak. Bukan dingin yang menggigil, hanya sejuk yang semilir melewati jendela-jendela berkarat.

Di ruang persegi yang lain anak-anak tertidur dalam peluk hangat ibunya, bapaknya, beberapa keduanya. Anak-anak itu bermimpi tentang negeri dongeng lengkap dengan ibu peri lalu angsanya pada halaman istana kerajaan awang-awang. Sebagian terjaga memburu bulir-bulir hujan. Berlari-lari mendendangkan keriangan khas mereka.

Seorang gadis kecil hanya terpaku pada bibir pintu. Menikmati hujan tanpa memburunya di bawah sore. Ia tak berani lebih jauh dari pintu. Pun tak ada yang menina-bobokannya dengan peluk hangat. Pun ia tak tahu cara berdendang riang walau sesaat. Itu bukan khasnya. Dan jangan pernah menyoal negeri dongeng padanya, bahkan angsapun ia tak tahui bentuknya.

Ia pernah sekali membangun kerajaannya sendiri dalam sore yang sunyi. Kerajaan kecil dalam ruang persegi miliknya. Kerajaan tanpa angsa hanya kamboja. Istana yang ia sedang bangun itu runtuh sebelum sempat menjadikan ibunya Maharani. Ia ingin sekali menjadikan ibunya satu-satunya Maharani dalam kerajaannya. Menempatkan ibunya pada ranjang ratu tanpa harus berbagi dengan gadis belia kampung sebelah. Selir bapaknya yang Maharaja. Setelahnya ia tak pernah mengharap apa-apa pada dongeng anak-anak tetangga sebaya.

Ibunya tetap menjadi satu-satunya wanita yang ia panggil Ibu. Meski tak jadi Maharani, ibunya tetap satu-satunya pemilik ranjang ratu. Benar-benar satu-satunya. Yang ia panggil Bapak telah beranjak dari ranjang. Memburu keduniawian. Mengikuti hasratnya. Meninggalkan kenangan.

Kenangan yang ia tak mau lagi ingat barang sejenak. Kenangan yang membuatnya pernah tak menelan apa-apa dari pagi hingga petang. Kenangan yang membuat adiknya buang air besar sembarang. Kenangan yang membuat ibunya terbang. Terbang ke negeri tetangga tempat patung singa mengucurkan air dari mulutnya. Mengumpulkan dolar karena rupiah tak lagi ramah. Kenangan yang kerap membuatnya bertanya padaku “Om Andi, Bu Tuti kapan pulang? Uwi kan mau sekolah.”

----------------------------------------------------------------------------

[AG] 21 Mei 2010

*Alfi Dwi Febrianty -anak kedua kakak perempuan pertamaku