Tampilkan postingan dengan label Kisah Kodrat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah Kodrat. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Januari 2011

Ketuhanan yang Maha Esa


“Nama?”
“Kodrat.”

“Nama lengkap?”
“Itu sudah lengkap.”

“Tempat, tanggal lahir?”
“Jakarta, 26 Maret 1993.”

”Sudah menikah?”
”Belum.”

”Agama?”
”Agama orangtua.”

”Maksudnya?”
”Islam tradisi.”

”Mana ada yang begitu.”
”Ada. Banyak. Dimana-mana.”

“Kok bisa?”
“Tradisi beragama.”

“Saya tidak mengerti.”
“Anak bapak Islam karena bapak Islam. Apa namanya kalau bukan tradisi?”

”Ada yang lebih sederhana?”
”Islam keturunan.”

”Jangan macam-macam kamu ya!”
”Ganti saja pertanyaannya.”

”Bagaimana?”
”Jangan tanya saya agama. Ganti agama dengan keyakinan. Bisa kan?”

”Apa bedanya?”
”Tanya saja.”

”Keyakinanmu apa memangnya?”
”Ketuhanan yang Maha Esa.”

”Lalu, agamamu?”
”Boleh saya bilang tak beragama?”

“Mana bisa percaya Tuhan tapi tak beragama.”
”Bisa, karena saya tidak mati rasa.”

”Aneh kamu.”
”Dunia memang aneh kok, Pak.”

”Kamu baca kitab suci?”
”Ya. Al-quran, Injil, Taurat. Baru tiga yang saya baca. Belum ada yang saya kaji. Mungkin nanti.”

“Saya tulis Islam saja ya?”
“Sesuka bapak lah.”

“Kenapa tidak pilih saja agama yang kamu mau?”
”Karena terlalu banyak pilihan. Padahal Tuhan Cuma satu. Mungkin nanti, kalau saya sudah mengenal lebih dekat Muhammad, Yesus, Sidharta dan yang lainnya.”

”Bagaimana kamu mengenalnya?”
”Mengkaji kitab-kitab yang dibawa mereka mungkin bisa membantu. Tapi nanti lah, kalau ada waktu.”

“Sakit jiwa kamu.”
“Anggap saja begitu.”

“Alamat?”
“Bapak lebih tahu. Kapan KTP saya jadi?”

”Satu minggu lagi.”
”Makasih, Pak.”

Kodrat: Berkorban


Aku terjebak dalam sebuah labirin. Penuh mata, penuh telinga, penuh manusia. Penuh hati dan mulut bertautan bicara. Aku mencoba merapatkan telinga, tapi suara mereka terlalu lantang untuk tak kudengar. Sebuah labirin yang mereka sebut kehidupan. Ada awan di dalamnya, yang berlari di atas kepala. Membelah otak yang bertautan,kiri-kanan. Merasuki tenggorokan dan terhenti di paru. Menyumbat arteri-vena dengan sebuah pertanyaan. apa yang mereka cari dalam hidup? Mereka menjawab kompak; kebahagiaan. Sebagian mengorbankan air mata orang lain. Tak sedikit yang mengorbankan kehidupan orang lain. Adakah yang mengorbankan sebagian kecil dari hidupnya demi kebahagiaan orang lain? Hanya sebagian kecil yang aku tanyakan.

Ismail menjawab:, “Aku rela mengorbankan leherku untuk disembelih Ibrahim karena mendapat perintah dari sang Khalik, dan Ibrahim pun bahagia karena bukan aku yang akhirnya terpotong lehernya.”

Ibuku menjawab, “Aku mengorbankan rasa kenyangku agar kau bisa makan dan pergi ke sekolah, dan kau akan bahagia kelak karena kuberi makan.”

Bapakku menjawab, “Aku merelakan namaku melengkapi akta lahirmu. Kodrat bin Priambudi Wirya. Menjadikanmu anak meski kau bukan hasil persetubuhanku dengan ibumu.”

Kodrat: Melawan Rahwana


Namaku Kodrat. Terkadang mereka yang sok akrab dan tak tahu diri memanggilku Odat. Ya Odat, bukan Bodat*! Kodrat itu takdir. Takdir itu milik Tuhan. Aku milik Tuhan seutuhnya. Jadi jangan coba-coba mengklaim aku ini milik siapa-siapa. Aku milik Tuhan. Aku tak memiliki apa-apa. Ahh, bagaimana aku bisa lupa aku memiliki ibu. Hanya ibu. Jangan tanya soal bapakku. Bapakku langit.

Ya, aku adalah anak hasil persetubuhan ibuku dengan langit. Lalu pada siapa aku memanggil bapak? Pengawin Ibuku yang kupanggil bapak. Anggaplah ini formalitas belaka. Hanya karena aku ingin melengkapi apa yang disebut keluarga. Bapak formalitas, ibu, aku. Lengkap bukan? Sayangnya kelengkapan bukan patokan kebahagiaan. Aku bahagia dengan ibuku tidak dengan bapakku. Aku bahagia aku menari. Ibuku bukan penari, apalagi bapakku. Tapi aku tahu langit menari. Menari berirama gendang-gendang petir. Maka aku menari karena langit menari. Aku menari karena aku anak langit. Pernah sekali waktu aku menari. Rama Shinta. 

Akulah Rama saat itu. Aku begitu bergairah saat beradu dengan Rahwana yang serupa bapakku. Rahwana yang monster. Bapakku yang monster. Ibuku tahu aku membenci Rahwana. Aku membenci bapakku. Aku lebih tahu ibuku lebih membenci bapakku. Aku dan ibu ingin sekali menamatkan dongeng Rama Shinta ini. Mengirim Rahwana ke gerbang neraka lalu kami akan berdua saja. Berdua lebih baik. Lebih baik Rahwana mati meregang nyawa di tanganku, di tangan ibuku. Dan penjara akan menjadi hunian yang paling surga bagi kami. Tapi kami belum juga sampai ke penjara yang surga itu. Kami masih takut dosa dan cukup berdosa untuk melengkapi dosa terakhir.

Ibu mengajakku mengalah untuk menang atas Rahwana. Dan mengajakku berdoa iblis cepat-cepat membawa Rahwana menuju neraka tanpa kami harus bertambah dosa. Saat itu tiba, maka akan kami rayakan dengan pesta pora. Pesta kemenangan kami. Pesta kemenangan takdir. Takdir Tuhan. Sayangnya, sekali lagi sayang, aku dan ibuku tahu. Benar-benar tahu. Takdir ada di atas kepala. Maka pasrahlah kami. Pasrah pada waktu. Waktu milik Tuhan. Kami milik Tuhan. Tuhan milik kami.

*Bodat: Monyet (Bahasa Batak)

Kodrat: Menyapa Tuhan


Selamat pagi Tuhan, matahari sudah mulai terik, apa Kau sudah bangun? Ahh, aku ingat Kau tak pernah tidur. Mereka bilang Kau ada bersama waktu mengawasi gerak-gerik kami Gerak-gerik manusiawi. Tapi apa Kau melihat hitam kesialanku akhir-akhir ini? Menghitam memekat membuatku tak bergairah. Sebuah tamparan berhasil membuat pipiku merah. Merah yang marah. 

Pijakanku mulai tersendat saat sadar rumitnya hidup yang Kau buat  Aku tahu Kau berkuasa atas segala rupa. Berkuasa atas segala manusia. Berkuasa atas aku. Lantas aku berdoa, terhadap kuasaMu, saat sadar rumitnya hidup yang Kau buat. Doaku tak banyak. Doaku tak serumit hidup yang Kau buat. Aku berdoa untuk kebahagiaan ibuku. Cukup ibuku. Tak usah bapakku. Tak usah aku. Aku akan bahagia saat Ibuku berbahagia. Dan semoga bapakku bahagia saat kami berbahagia. Kau sebut dalam kitabMu akan membahagiakan mereka yang baik. Ibuku berbuat baik. Bahagiakanlah dia. Cukup dia. Tak usah aku. Tak usah Bapakku. Cukup begitu aku menyapaMu pagi ini. Aku harus mulai lagi menjalani rumitnya hidup yang Kau buat. Tapi jangan khawatir, aku akan menyapaMu di lain waktu. Semoga bukan untuk mengeluh. Tapi berterima kasih padaMu . 

Oya, namaku Kodrat, yang menyapaMu pagi ini. Ahh, bodohnya aku! Tak perlu sebut namaku Kau pun tahu. Karena Kau tahu segala rupa. Tahu segala manusia. Tahu aku.

Kodrat: Bicara Kodrat


Aku mendapati sosok yang mengaku Bapakku di ruang tamu. Bapak yang kata mereka telah berjasa menanam benih spermanya lalu berbuah menjadi aku. Bapak yang mengawini ibuku karena butuh makan atau butuh pengakuan, entah aku tak tahu. Aku tak mau tahu. Aku hanya tahu sosoknya adalah racun bagi kelamin ibuku. Dia bagai bakteri jahanam yang menggerogoti tubuh ibuku dari kaki ke kepala. Aku melihatnya sedang menikmati kopi yang tak lagi menguap saat aku kembali pulang. Saat ibuku mulai lupa jalan pulang, dan berpikir lebih baik melacur setelah tahu ia mengawini seekor binatang.

“Pulang juga kau Drat”.
“Aku pulang karena aku tahu jalan pulang.”
“Dari mana saja?”
“Menari.”
“Sudah kuduga kau menari lagi. Aku kan sudah bilang ..…”
“Bilang apa? Bilang aku jangan menari!”
“Kau kan tahu alasannya.”
“Kodrat?”
“Jelas! Kau lelaki. Kau tak seharusnya menari, kecuali mau jadi banci.”
“Tak ada kaitan menari dengan jenis kelamin, itu baru jelas! Lagipula, tahu apa Bapak soal kodrat?”
“Aku tahu karena aku lebih tua!”
“Ya! Bapak lebih tua dan lebih tak berguna!”

PLAK !!!

Telapak tangan kanan Bapak mendarat tepat di pipiku. Pipi yang kini memerah. Memerah bukan karena tamparannya. Memerah karena malu Bapakku benalu. Berani benar dia bicara soal kodrat. Harusnya dia berkaca pada kelaminnya. Apakah dia menjalankan kodratnya sebagai pengawin dengan baik? Para tetangga tahu yang dilakukannya setiap hari. Diam di rumah menikamati keringat istri. Berlaga bagai raja di atas singgasana kelaki-lakiannya. Bangga betul dia menjadi lelaki. Lelaki monster yang menyalahi kodrat. Jika memang kodrat lelaki adalah sepertinya, aku akan memilih jadi banci saja.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Beda Keyakinan



Seperti biasa, Jarwo selalu bercerita banyak hal setiap kali ada kesempatan bertemu Kodrat. Kali ini tentang Lani, gadis tetangga yang ditaksirnya.

“Gue bingung, Drat. Lani tarik ulur gue melulu. Kadang dia perhatian banget, tapi ngga jarang dia nyuekin gue.”

“Udahlah, ngga usah dipaksain. Lo sama Lani tuh beda keyakinan, Wo.”

“Beda gimana? Kita seagama kok, sesuku juga.”

“Jelas bedanya. Lo yakin lo suka sama Lani tapi Lani ngga yakin suka sama lo.”

“Sial! Gue kira lo serius.”

“Gue serius kok. Sejak kapan keyakinan cuma sebatas agama?”

Jarwo tak menjawab. Kodrat senyum-senyum sendiri disampingnya mengingat Jarwo sering bangun tidur setelah Subuh.

Depok, 2010 
------------------------------
*Versi Bahasa Inggris tulisan ini berjudul "Different" menjadi salah satu dari 12 Top Rated English Category of Flash Fiction Challenge by Ubud Writers and Readers Festival 2010