Sabtu, 15 Januari 2011

Menunggu Pintu Terketuk


Mba Iin

Tempo hari Bapak pulang kerja bawa martabak telur, kehujanan. Keponakan-keponakan kita berebut, takut tak dapat bagian. Uwi sibuk memisahkan daun bawang dari martabak, mirip yang kau lakukan, baru kemudian ia makan. Mendadak, aku dan Ibu saling pandang. Aku dan Ibu mau kamu segera pulang.

O, ya, aku lupa menanyakan, apa kabar Mba? Semoga tak ada lagi lebam di muka. Semoga tak ada lagi tangisanmu di tengah malam buta. Semoga anakmu, Erin, tercukupi asupannya.

Mba, aku tahu kau merasa bersalah. Aku tahu mengawini pria yang tak kauingini itu tak mudah. Aku tak minta kau untuk pasrah. Hanya saja, ini adalah resiko yang harus kau terima. Mungkin, aku lupa mengingatkanmu soal resiko dulu. Bahwa selalu ada resiko tak peduli kecil-besar perilaku. Aku tahu ini bukan pilihanmu. Ini total ego lelaki itu.

Aku masih tak habis pikir tentang caranya memisahkan kau dari keluargamu, dari aku. Aku tak pernah sudi memberinya predikat kakak ipar meski ia ayah dari keponakanku .

Aku sempat kecewa saat kau terakhir pulang. Ternyata, kau masih tak lepas dari monopoli si hidung belang. Kukira, kau tak akan pernah luluh lagi pada si bajingan. Aku tahu kau punya alasan. Perkara anakmu dan sebuah masa depan. Semoga kau tak lagi salah jalan. Aku pesan satu: sejauh apa pun kau mengikuti pria terkutuk itu, aku harap kau tak melupakan jalan pulang. Aku menunggu ketukanmu di pintu, pun Ibu.

Depok, 15 Januari 2011
A, saudara lelakimu

2 komentar:

  1. cukup menyedihkan, ketentuan Maha Kuasa masih bisa diubah, bung!
    tegarkanlah dirinya.

    ah, lagi-lagi bahasa penuturanmu memang asyik, ringan, dan tiada terasa bual.
    segerakan membuat buku lagi. :-)

    BalasHapus
  2. Semoga cepat berubah baik :)
    Terima kasih kunjungannya.

    BalasHapus