Sabtu, 25 Desember 2010

Kopi Pahit


Wulan selalu dapat menikmati kopi hitamnya, tanpa gula. Baginya, gula hanya merusak aroma. Merusak rasa yang memiliki kodratnya sendiri. Membuatnya mirip palsu. Ia benci kepalsuan.

***

“Pelacur! Pergi kau dari sini!”

“Pelacur tidur dengan sembarang pria. Aku hanya tidur dengannya.”

“Tarno pergi ke kota sebelum kau hamil. Siapa yang percaya kau mengandung cucuku!”

Wulan segera keluar dari rumah orang tua Tarno. Ia tak kembali ke rumahnya. Ini bukan penolakannya yang pertama. Ia pergi mencari kotanya sendiri.

***

Wulan sedang menyesap kopinya saat Abdi, anaknya, pulang dari mengaji dan memberinya tanda tanya.

“Kenapa Ibu suka sekali kopi? Pahit kan?”

“Ada yang lebih pahit.”

“Apa?”

“Nanti, kalau kau sudah cukup dewasa, kau akan tahu sendiri.”

----------------------

Depok, Desember 2010

Sunyi Sepi Abu-abu


sunyi adalah bunyi hati
saat menu terbaik di meja makan tersaji
dan kau tersesat tak kembali.

sepi adalah warna yang tersapuh
pada malam saat kau gamit gemintang
melepas aku yang temaram

abu-abu itu aku
saat kau bilang rindu
dan tak ada ketukan di pintu

-----------------------

Depok, Natal 2010

Kangen

menghadap cangkir keempat
kafein dalam kemasan
mungkin ini candu
kukira ini dahaga akan sesuatu
Kamu


-ndigun-

10 Status Facebook Saya di 2010

Rabu, 22 Desember 2010

Sumiati


Ibuku suka mawar.
Ibu seperti mawar.
Wangi doanya tak tertawar.
Tajam nalurinya nyaris selalu benar.
Ia sinar.

Ibuku gemar menyapu.
Tak suka lantai berdebu.
Tak suka kami berair mata sendu.
Tak suka kami berdarah barang sekuku.

Ibuku tak bisa menari.
Tak bisa menyanyi.
Ia biarkan kami menari setinggi matahari.
Bernyanyi selantang dewa-dewi.
Kami terberkahi.

Ibuku tak terpelajar.
Tak suka belajar.
Ia mahaguru tanpa gelar.
Ia pengingat salah benar.
Ia menilai dengan sabar.

Ibuku bukan santri.
Ibuku jarang mengaji.
Ia percaya dosa tak berciri,
pahala tak terbeli.
Ia kitab tanpa predikat suci.

Ibuku tak selembut salju,
tak sekeras batu-batu.
Saat kami belum juga mengetuk pintu,
ia di sana setia menunggu.

Ibuku tak semenyala api,
tak seputih melati.
Tanpa pamrih memberi.
Tanpa lelah mengamini segala doa kami.
Ia sewarna-warni pelangi.

Ibuku bukan malaikat.
Ibuku bukan besi berkarat.
Ia mencintai tanpa sekat.
Memaafkan tanpa syarat.
Ia tak benci keringat.

Ibuku menanak nasi.
Ibuku membuat sambal terasi.
Ia tak pandai membuat solusi,
tapi selalu mencoba mengerti.
Ia arti.

Ibuku tak menyala dalam gelap.
Ibuku bukan dewi bersayap.
Ia tersenyum, juga meratap.
Buat kami, kapanpun, ia di sana selalu siap.

Ibuku bukan sempurna tanpa celah.
Ibuku berbuat salah.
Demi senyum kami, ia kerap mengalah.
Pendengar setia setiap kisah.
Ia berkah.

Ibuku bukan peri,
pun bukan maharani.
Ia tak bisa ikat dasi.
Meski tak selalu berisi,
kalimat-kalimatnya sepenuh hati.

Ibuku tak punya istana.
Ibuku tak bermahkota.
Saat mata terbuka,
Ia yang pertama,
yang tak habis ujungnya.
Ia cinta.

-----------------------

Depok, 2010
*Sumiati, nama ibuku

Selasa, 21 Desember 2010

Pamit



“Mahaguru, manusia terpilih tanpa pamrih, terima kasih untuk setiap jawaban atas segala tanda tanya. Untuk ikhlas yang tak terbalas. Untuk lembar-lembar wacana tentang dunia dan pergerakannya.

Maaf untuk predikat yang tertunda. Saya tidak –atau belum memerlukannya. Bukan tak mau, hanya saja saya harus bekerja atau mati kelaparan. Ini bukan mau saya. Saya menyebut ini cara Tuhan, mantap tanpa gelagap.

Saya tahu Anda kecewa. Sayangnya, sarapan harus selalu ada untuk ibu saya. Oya, sebentar lagi tahun ajaran baru. Saya tak berhak memiliki benda ini lagi. Saya pamit.”

A

Lelaki itu terpaku pada bolpoin di tangannya. Hitam. Aksen keemasan melingkar di tengah dan sisi atasnya. Mahasiswa Berprestasi tertulis tegas di badan bolpoin itu.


-ndigun-

Pertama


“Panas banget kamarmu, Ray.” Peluh Diana membasahi kausnya, di punggung. Klik. Kipas angin berputar, pun gairah Rayhan sama kencang, berputar. Sebelah pintu almari terbuka, menutup jendela.

Sapu tangan Rayhan menyeka keringat Diana. Mulai dari kening, mendekati leher. Mendekati dada lalu melantai. Rayhan mendekatkan dirinya, nyaris tak berjarak. Sebuah pagutan menghilangkan jarak mereka. Lembut. Basah.

Tangan Rayhan menelusup ke balik kaus Diana. Ada hangat menjalar di tubuh perempuan itu. Hangat yang tak biasa, yang menyentakkan Rayhan ke dinding kamarnya.

“Kenapa?”

“Aku belum pernah melakukannya.”

“Selalu ada yang pertama, sayang. Tak usah takut.”

“Aku takut aku bukan yang pertama.”

“Hah?”

“Namaku Diana, bukan Melisa.” Pandangan Diana mengarah ke sapu tangan di lantai, tajam.

-ndigun-

Senin, 20 Desember 2010

Untuk Pengantar Sup Panas yang Kehujanan


Wanitaku
Hari ini aku bangun pagi, senang.
Entah apa yang kaurasakan.
Semoga saja sama senang.

Kau masih tertidur di ranjangmu saat kuterbangun. Bangun dari ketakutan. Bangun setelah dijatuhkan tatapan hina orang-orang. Bangun karena kau menyadarkan aku terlalu hebat untuk dijatuhkan. Menyadarkan aku terlalu kuat untuk dikalahkan.

Dulu, aku sempat mengemasi mimpi-mimpi dan beranjak pergi, membohongi diri. Dulu, aku berpikir telah sampai di halaman terakhir cerita yang ditulis Tuhan untukku.

Lalu, kau datang menyulam lagi mimpi terlupakan. Memulai kembali cerita dari halaman pertengahan buku takdir Tuhan . Kau membantuku lebih mudah memijakan kaki daripada hari-hari sebelum kau datang .
Wanitamu

*Aku kerja ya, sayang. Kusisakan sup untukmu. Kau bisa menghangatkannya untuk sarapan.

-ndigun-

Minggu, 19 Desember 2010

Akhir Penantian


Rani sedang berjalan keluar bank saat seorang dari antrean memanggilnya.

“Rani! Maharani?”

“Rama.” Rani menyebut nama pria itu, lembut, lalu mematung. Dialah satu-satunya alasan Rani melanjutkan S2 alih-alih menolak perjodohannya. Matanya mengarah ke tangan Rama, kiri ke kanan. Ia bersyukur tak menemukan yang dicarinya. Tak ada cincin melingkar di jari-jari itu. Ini harinya.

“Apa kabar?” Rani ingin sekali menjawab bahwa ia tak pernah merasa sebaik hari ini. Bahwa ia sangat menunggu pertemuan ini.

Rani sedang menata kalimatnya saat seorang anak yang sedari tadi memerhatikan mereka menginterupsi, “Siapa tante ini, Pa?”

“Ini Tante Rani, teman kuliah Papa.”

Rama mengenalkan Rani pada anaknya. Rani mematung, lagi. Masa lalu punya caranya sendiri untuk kembali.


-ndigun-

Rabu, 01 Desember 2010

Different

As usual, Jarwo always tell a lot of stories every time he had a chance to see Kodrat. This time it’s about Lani, the girl-next-door that he had crush on.

“I’m confused, Drat. Lani’s playing hard to get. Sometimes she was extremely attentive but in other time she just acted like I didn’t exist.”

“Oh come on, don’t force it! You and Lani have different beliefs anyway.”

“What is the difference? We have the same religion. We’re both Islam. We also have the same race.”

“The different is very clear. You believe that she loves you but in other way she doesn’t!”

“Damn! I thought you were serious.”

“I was serious. Is belief just refers to religion?”

Jarwo lost his words. Kodrat smiled. He knew that Jarwo always wake after dawn.

Depok, 2010