Jumat, 22 Oktober 2010

Menulis Jodoh


Ada sesuatu di matanya yang entah apa.
Sesuatu yang belum aku tahui bentuknya.
Mata coklat bening itu, menghanyutkan.

Selama ini aku terlalu sibuk memaksimalkan logikaku demi menata hari depan seperti yang dimaui ibu. Pikiranku dipenuhi berbagai cara untuk mencapai apa yang disebut ibuku kemapanan. Entah sudah berapa lama aku mengabaikan mau hati karenanya.

Di seusiaku, laki-laki sudah berkali-kali berganti pasangan. Mereka bilang itu kesenangan. Beberapa bilang itu tuntutan perasaan. Aku bahkan belum pernah merasakan yang mereka gunjingkan. Padahal, aku tak terlalu buruk untuk dijadikan pilihan.
***

“Aku pulang.” Joko membuka pintu dan menebar pandangannya ke seisi ruangan. Tak didapati yang ia cari.

“Sayang, kamu dimana?” tanyanya setengah berteriak, memastikan suaranya terdengar oleh yang disapanya. Joko terduduk di kursi jati di ruang tamu, melepas sepatu. Melepas peluh setelah delapan jam bergumul dengan pekerjaannya.

“Aku di kamar, sayang. Baru selesai mandi.” terdengar jawaban, samar.  Tak menunggu lama, Joko bergegas menuju sumber suara. Pintu kamar terbuka dan dilihatnya si asal bunyi sedang mematut diri di depan cermin. Seperti biasa, kekasihnya terlihat mengagumkan, untuknya.

“Kamu capek, ya? Sini duduk di sampingku.” sisir masih di genggaman sang kekasih saat Joko mendekat dan duduk merapat di atas dudukan kayu. Kini keduanya menghadap cermin. Kecupan mendarat di kening.

Joko meregangkan dasi abu-abunya. Terbuka dua kancing kemeja setelahnya. Wajahnya terlihat lebih sumringah ketimbang jam pulang kerja hari-hari sebelumnya. Selalu ada keluhan tentang ini itu anu yang dibawanya ke rumah selepas pukul lima, tapi tidak hari itu.
***

            Hari itu, kusempatkan mengeluh pada ibu. Keluhan tentang cemooh orang-orang terhadapku. Cemooh tentang calon perjaka tua kesepian. Cemooh tentang kemungkinan ketidaknormalan seksual. Tahu apa mereka tentangku? Mereka mengucap aku begini, aku begitu, seolah mereka hakim kehidupan rasaku. Seolah mereka adalah yang paling benar dalam kenormalan yang mereka yakini.

Kamis, 21 Oktober 2010

Angka

Berapa yang kau miliki,
lainnya tak miliki?
Bagaimana mereka menjadi penting,
sementara kalkulasi belum berakhir?
—————————
Depok, 2010

Jumat, 15 Oktober 2010

Buku Pertama: Kejutan!


Ini berkah, saya sumringah.
Maaf jika mengganggu waktu kalian, semoga tak jengah :)

Saya ingin berbagi kabar bahagia. Setidaknya ini membahagiakan saya. Semoga juga bisa membahagiakan teman-teman semua. Begini, saya ini gemar menulis. Apapun, jika sempat, pasti saya tulis. Nah, kegemaran saya ini menjadi hal yang sulit dihentikan. Banyak kata tercecer di tempat sembarang. Seperti hidup yang memiliki arsip bernama kenangan, pun saya ingin memiliki arsip dari lembaran-lembaran yang pernah saya tuliskan. Beruntung ada kesempatan dari nulisbuku.com dan Mizan Digital untuk membuat racauan saya terbaca oleh banyak mata. Ini, buku pertama saya:


Judul                 : Kejutan
Jenis                 : Kumpulan Prosa
Penulis              : Andi Gunawan
Editor               : Andi Gunawan
Sampul             : Pungky Prayitno
Halaman           : 68 Halaman
Penerbit            : Opera Aksara (melalui nulisbuku.com)
Harga               : Rp 30.000,-

Aku masih bersyukur sembari menunggu Lima terpukul. Bersyukur dalam gaung paling merdu yang serta-merta Kau hentikan dengan getaran telepon genggam. Anak bungsu ibuku dalam jaringan “Mas, ibu sakit. Cepat pulang.” Kenapa kau gemar sekali memberi kejutan, Gusti?

Senin, 11 Oktober 2010

Angin


Sarapan

“Aku tak mau tinggal di gorong-gorong.” Kalimat Slamet memecah lamunan Utok tanpa aba-aba. Kalimat pertama setelah keduanya lama terduduk diam berjamaah. Mata mereka menuju ke segala arah. Resah. Utok masih tak bisa lupa kejadian pagi tadi. Sarapan paling getir yang pernah ditemuinya.

Matahari masih hangat saat Bang Maul datang menggendang-gendang pintu kontrakan. Petak persegi tanpa kamar mandi. Ruang tempat mereka berbagi. Berbagi tikar untuk mengendapkan peluh mereka pada malam. Berbagi cerita tentang Mbak Mir yang binal. Berbagi polutan tembakau kemasan. Berbagi Tuhan.

Bang Maul datang seperti biasa, berkaus putih dengan lilitan sarung pada perut sapinya. Tanpa kata pengantar, ia langsung mengucap pokok bahasan. Berteriak. Menyalak. Menyoal uang kontrakan yang sudah tiga bulan belum terbayar.

“Pokoknya saya ndak mau tahu! Tak tunggu itu duit malem ini, atau kalian harus angkat kaki dari sini besok pagi. Jangan dikira saya ini departemen sosial yang mau gratis kasih tempat tinggal. Mereka kasih gratis juga setelah bagi komisi!!!” 

Tiga bulan uang kontrakan. Enam ratus ribu rupiah sebelum malam. Nominal yang membuat Utok dan bapaknya hilang akal. Membuat mereka lupa sarapan. Bahkan tak ingat soal makan malam yang terlewat entah sejak kapan. 

Sebulan lalu, keduanya masih berpenghasilan. Utok jadi buruh di pabrik tahu Mang Idin. Bapaknya masih setia keluar-masuk gang mengumpulkan plastik-plastik bekas kemasan minuman. Hampir sebulan Slamet tak lagi keliling. Kakinya dicium beling di dekat poskamling. Tetanus.

Minggu, 10 Oktober 2010

Haiku: Hilang



1/
rasanya hambar
ada luka terbakar
hilang sabar

2/
menyoal kekal
daun gugur terjungkal
hilang akal

3/
ukir kenangan
tertinggal pesan kesan
hilang tangisan

4/
terbentur doa
sudah habis percuma
hilang nyawa

5/
menu di meja
mayat dalam keranda
hilang rasa

Depok, 2010

Sabtu, 09 Oktober 2010

Beda Keyakinan



Seperti biasa, Jarwo selalu bercerita banyak hal setiap kali ada kesempatan bertemu Kodrat. Kali ini tentang Lani, gadis tetangga yang ditaksirnya.

“Gue bingung, Drat. Lani tarik ulur gue melulu. Kadang dia perhatian banget, tapi ngga jarang dia nyuekin gue.”

“Udahlah, ngga usah dipaksain. Lo sama Lani tuh beda keyakinan, Wo.”

“Beda gimana? Kita seagama kok, sesuku juga.”

“Jelas bedanya. Lo yakin lo suka sama Lani tapi Lani ngga yakin suka sama lo.”

“Sial! Gue kira lo serius.”

“Gue serius kok. Sejak kapan keyakinan cuma sebatas agama?”

Jarwo tak menjawab. Kodrat senyum-senyum sendiri disampingnya mengingat Jarwo sering bangun tidur setelah Subuh.

Depok, 2010 
------------------------------
*Versi Bahasa Inggris tulisan ini berjudul "Different" menjadi salah satu dari 12 Top Rated English Category of Flash Fiction Challenge by Ubud Writers and Readers Festival 2010

Jumat, 08 Oktober 2010

Tuli



Aku ingin ke Utara.
Beberapa jenak ke Selatan, 
ke Timur, 
ke Barat. 
Kau bungkam di Pusat suara.

Semua hilang.
Semua tak ambil dengar.
Seperti pasti nisan mengacuhkan 
lagu-lagu kematian.

Senyum tak lagi tertuju, 
buatku. Telinga merapat bagi kalimatku
Suara, punyaku, 
serupa kosong. Dunia tak berhenti sombong

Depok, 2010

Kamis, 07 Oktober 2010

Terima Kasih


Kepada Tuhan, 
zat tunggal penguasa isi semesta dan segala pergerakannya yang penuh kejutan. Terima kasih untuk ini itu anu, segala rupa dalam hidupku. Kau Maha Keren!

Kepada Ibu, 
pandita ratu kerajaanku. Terima kasih untuk segala mantra sakti terbaik yang selalu tertuju padaku. Maaf telah membuat resah menyoal hari depanku.

Kepada Bapak, 
pendengar setia setiap kata. Meski kadang menjengkelkan, aku selalu sumringah untuk setiap aminmu atas segala doaku.

Kepada Sedarah, 
perempuan-perempuan hebatku. Mbak Tuti, Mbak Iin, dan si bungsu Ani. Apapun ulahmu, apapun ulahku, Kita satu. Terima kasih untuk segala percaya yang tak ada habisnya.

Kepada Sahabat, 
para pemberi semangat tanpa jemu. Terima kasih untuk hari-hari aneka rasa. Semoga kalian tak bosan dengan setumpuk keluhku. 

Kepada Guru, 
manusia-manusia terpilih tanpa pamrih. Terima kasih atas semua jawaban akan tanda tanyaku. Untuk semua ikhlas yang tak bisa kubalas.


Depok, 2010

Rabu, 06 Oktober 2010

Tersesat

nama-nama melayang
lupa jalan pulang
dagu-dagu meninggi
lepas diri
dada-dada membusung
mirip linglung

Depok, 2010

Selasa, 05 Oktober 2010

Menghunjam


Ada yang menghunjam. 
Di kepala. 
Di sekitar dada. 
Merata. 
Ini bukan yang kusebut rindu. 
Hanya saja, namamu enggan pergi dari pikiranku.

Aku hilang. 
Hilang kata. 
Kata kamu. 
Kamu Kata. 
Kata hilang. 
Hilang aku.

Aku menolak menyebut ini rindu. 
Mantap tanpa gelagap. 
Sesuatu ini menghujam sampai paru. 
Sepertinya aku sedang meratap.

Depok, 2010

Senin, 04 Oktober 2010

Kamu



Malam ini kuberi nama Abu-abu. 
Bukan kelabu. 
Ini syahdu. Beberapa jenak 
menggantikan tempat si sendu Biru. 
Aku mau kamu!

Ikat aku dalam mantra tersaktimu. 
Serupa penyihir, 
jadikan aku kekal 
dalam maumu. Sekekal doa 
anak bagi ibu. Sekekal egomu.

Depok, 2010

Minggu, 03 Oktober 2010

Hampa


Aku, mimpi yang malamnya kau curi.
Aku, bilik yang atapnya kau curi.
Aku, kejutan yang kotaknya kau curi.
Aku, doa ibu yang aminnya kau curi.
Aku, sungai yang muaranya kau curi.
Aku, kotak virtual yang koneksinya kau curi.
Aku, gravitasi yang tempat jatuhnya kau curi.
Aku, semesta yang langitnya kau curi.
Aku, opera yang epilognya kau curi.
Aku, sajak yang diksinya kau curi.
Aku, spasi yang lembarannya kau curi.
Aku, jawaban yang tanda serunya kau curi.
Aku, bayi merah yang tangis pertamanya kau curi.
Aku, skripsi yang bab limanya kau curi.
Aku, tembakau kemasan yang adiktifnya kau curi.
Aku, keajaiban yang Jibrilnya kau curi.
Aku, gugup yang gelagapnya kau abaikan.
Aku, arteri vena yang celahnya kau sumbat.

Depok, 2010

Catatan Malam Ruang Persegi

lampu neon

remang-remang temaram. menggantung
mengalahkan kunang-kunang terbang
ke awang-awang
—————

jendela

kaca-kaca. besi berkarat
bertautan di bawah malam pekat
setia sepakat
————

ranjang

guling. bantal-bantal berhamburan
seprai penutup pagutan
menghindari kenangan

Sabtu, 02 Oktober 2010

Patah Tiga

aku bertahan
di tengah ruang sempit yang kau berikan
di antara rasa-rasa yang singgah bertautan
entah mimpi atau aku buta kenyataan

aku akan bertahan
saat kalimatmu mulai mematikan langkahku
saat hatimu mulai terbagi dengannya denganku
aku rapuh tak tahu apa yang kau tuju

aku tetap bertahan
meski akhir itu nanti tetap datang
meski daun runtuh tak lagi setia pada sang dahan
karena hanya padaku nanti kau kembali pulang

Jumat, 01 Oktober 2010

Pancakini


1. Kenegaraan yang Maha Resah.
2. Kemanusiaan yang Tak Adil dan Cenderung Biadab.
3. Ketidakbersatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Plesiran dalam Kemangkiran dan Tak Terwakilkan.
5. Kecemasan bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
*Selamat Hari Kesaktian Pancasila. 
Atau Hari Kelemahan Pancasila? #eh#