Tampilkan postingan dengan label catatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label catatan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 27 Januari 2011

Si Anak dari Perempuan Hebat: Sum


Dua orang sahabat mencatatku
-----------------------------------


Dia bicara tentang kodrat saat pertama kali bertemu. Dia tidak memilih menjadi laki-laki, walaupun ada batang penis di selangkangannya. Dia adalah digraf ‘kh’ dalam kata ‘makhluk’. Sekalipun samar, aku melihat jarinya berbentuk pena dan di dadanya ada sinar bertuliskan ‘IBU’.

Di balik virtual, dia bercerita tentang keluarga. Tentang mimpi seorang perempuan tua yang terhambat dia wujudkan, tentang mimpinya sendiri yang dia kesampingkan. Seolah sangat meyakini, bahwa pintu masuk surga benar-benar tersembunyi di bawah telapak kaki perempuan tua itu, yang dia panggil Ibu.

Seperti aku, dia juga suka menyapa Tuhan. Tetapi, ada malaikat bilang padaku bahwa Tuhan agaknya lebih suka berbincang dengannya. “Cerita kalian pada Tuhan serupa tak sama. Kau terlalu muluk tentang jodohmu, sedang dia justru ingin menjodohkan Tuhan dengan ibunya.”

Malam kali pertama aku membuka isi kepalanya. Indah. Dia mahir bermain kata-kata. Masih, dia menyanjung puji keanomalian otakku. Sedang dia bercerita tentang realita, menyajikannya dengan semburat warna. Entah bagaimana, abu-abu pun tak terasa sendu di tangannya. Aku mengagumi itu, berhenti mengeluh dan menerima. Seharusnya dia tidak menundukkan kepala. Angkat topi dan hormat tertinggi untuk keberaniannya melirik ke belakang, tanpa tertatih berjalan ke depan.

Lama setelah itu, dia menceritakan umurnya. Menurutnya, sejak dulu dia sudah dikarbit tak sengaja oleh keluarganya. Astaga! Menurutku, dia neokarpi! Dan bunganya harum dan buahnya ranum. Tiba-tiba saja aku ingin mengganti anggurku dengan kreolin. Aku malu. Kuputuskan untuk tidak bertemu lagi dengannya.

Aku bukan biarawan, katanya. Dosa aku masih punya. Nafsu pun sesekali singgah. Apapun itu, dia laki-laki, istimewa. Rasa lapar dia tangkis dengan jejak-jejak tulisan. Masih sempat dia mendengar beberapa cerita dari kawan, padahal dialah yang paling membutuhkan sandaran.

Aku benar-benar mengganti anggurku dengan kreolin sesampaiku di rumah. Tapi, aku memang pengecut! Aku tidak jadi meminumnya, cuma berani mencium aromanya. Aku mabuk, kemudian menangis. Dia meneleponku, tidak kujawab. Dia mengirimkan surat elektronik, tidak kubalas. Lalu akhirnya aku menyerah ketika dia mengirimkan aku sebuah lukisan kota. Aku memang kagum setengah hidup setengah mati padanya. Kubalas suratnya dan segera meneleponnya. Dia bilang: rindu. Aku bilang: hai, sinar kosmik!

Berjanjilah padaku, mainkan sebuah lagu saat nanti kita bertemu. Begitu pintanya, aku mengiyakan. Lagu pertama yang kubawakan di depan orang ramai, pertama kuhafal di luar kepala. Setinggi itu aku menghargaimu, anak Sum. Bahkan untuk merasa sedih di depanmu pun aku rasa aku tak akan mampu. Bagaimana aku mengeluh tentang luka yang digoreskan hidup di pesisir dahiku, sementara badanmu penuh luka, tapi bukan darah, kulitmu mengeluarkan cahaya.

Aku lega sekali bisa berjalan berduaan lagi dengannya. Aku berharap ada bahagia yang kutinggalkan di sekujur hatinya setiap bertemu denganku. Aku ingin sekali menciumnya, tetapi dia lebih pantas diberi decak kagum. Maka, aku melakukannya kapanpun aku bisa, kadang sembari membayangkan senja di Sadranan yang pernah ia ceritakan.

Dan sore tadi aku terima sebuah undangan. Untuk bertemu seorang perempuan hebat yang telah melahirkannya. Hampir berteriak aku senang, girang bukan kepalang. Rasanya ingin ikut mengecup tangan si perempuan tua jika diperbolehkan. Jika Ibuku begitu menakjubkan, maka kupastikan dia iri kepada Sum, yang memiliki anak lelaki dengan hati selembut sulaman sutra karya tangan.

Suatu malam, kami berbincang lewat pesan instan persegi empat. Mungkin kami berjodoh, karena kami sama-sama kelaparan malam itu. Ada air menggenang tiba-tiba di mataku dan segera saja mengalir senyap ke pipiku, setelah dia katakan kepadaku bahwa hanya ada nasi di rumahnya untuk dimakan. Tidak ada mi instan dan telur seperti yang selalu tersedia di rumahku, tidak ada cemilan anu ini itu seperti yang selalu ada di kamarku, tidak ada? Aku ketik: "andai bisa mengirimkan makanan lewat messenger kita ini ya?" Ah! Dia tak perlu negeri dongeng! Kelak aku datang kesana, ke rumahnya, membawa hasil resepku. Dia ketik: ‘aikon senyum’, yang indah sekali.

Tapi dia tidak perlu dikasihani. Tidak, tidak. Terkasihani hanya bagi mereka yang lemah. Dia kuat, sekali! Dan aku mengasihinya, itu berbeda. Masih pagi lagi ketika kami bertukar salam menyambut hari melalui pesan singkat seratus empat puluh huruf. Dia katakan tak sabar menunggu siang, telah disiapkan sang Ibu, sekotak bekal. Aku tak tahu isinya apa, rasanya bagaimana, itu tidak penting. Yang aku tahu, dia akan makan lahap sekali. Lalu mengetik kabar gembira berbagi padaku dan semua, bahwa masakan itu adalah terlezat di dunia.

Andi adalah peri yang selalu berucap "atas nama ketidaksempurnaan", yang tak pernah alpa mengingatkanku untuk melafalkan doa-doa di atas bantal. Mari kutebak: Ibu peri pasti cantik sekali.



Jakarta-Medan, 25 Juli 2010.
Alinea ganjil Sabrina : Fiksi yang kisah nyata; cetak-tebal-miring adalah karya-karya anak Ibu Sum.
Alinea Genap Dee Dee : Penggalan pembicaraan yang tersangkut di kepala.

*Rekam kata aslinya terdapat di sini.

Selasa, 16 November 2010

Saya dan Kompasiana: Ruang Bebas Terbatas


Tertulis tanggal 15 Januari 2010 di halaman profil akun Kompasiana saya. Ini berarti sudah 10 bulan saya berkutat dengan sebuah portal yang menyebut diri sebagai jurnalisme warga. Saya ingat betul bagaimana saya berkenalan dengan Kompasiana. Saat itu, pertengahan Januari, saya sedang membantu adik saya mencari data untuk kelengkapan tugas sekolahnya. Salah satu dari sekian banyak hasil pencarian di Google menautkan saya ke Kompasiana. Saya perhatikan, saya baca, saya menggumam “It’s the place I should be at”. Seperti menemukan tempat yang tepat, saya masuk mantap, tanpa gelagap.

Saya, Kompasiana dan Orang-orang Hebatnya

Selang beberapa minggu saya meracau di Kompasiana, seorang kompasianer Jogja, Adityo, mengenalkan saya pada kawan-kawan Anggurmerah. Saya yang berusaha mengerti tag “anggurmerah” dan kemudian merasa satu visi dengan mereka, akhirnya bergabung bersama muda-mudi absurd nan cemerlang dalam tag tersebut. Mereka adalah kaum muda dengan buah pikir yang luar biasa, menurut saya.

Akhir Januari, ada info soal kegiatan kopi darat (kopdar) para kompasianer di Taman Ismail Marzuki. Dengan maksud ingin mengenal orang-orang hebat yang wara-wiri di Kompasiana, saya memutuskan hadir meski masih menjadi anak bawang. Entah kenapa, saya merasa paling muda saat itu, haha. Hari itu berakhir dengan obrolan panjang di rumah Paman Syam. Senang sekali bisa bicara banyak dengan para tetua Kompasiana di rumah Ibu Kita itu. 

1289675160670702849
Kopdar di Taman Ismail Marzuki

Setelahnya, saya kerap hadir di pertemuan-pertemuan baik yang diadakan admin, Monthly Discussion, maupun sekadar kopdar lesehan yang digagas mandiri oleh teman-teman Kompasiana. Mengenal banyak orang dengan segala rupa karakter dan pemikiran yang tak pernah sama adalah berkah bagi saya. Sayangnya, pertemuan dengan mereka selalu dibatasi waktu. Saya kira ini penting, karena komunitas maya tidak sama dengan dan kadang lebih nyaman ketimbang komunitas nyata di beberapa bagian. 

Rabu, 11 Agustus 2010

Perlu Lebih dari 24 Jam Sehari


Sudah 38 jam di luar rumah
mengumpulkan rupiah
sembari sesekali berusaha tertawa renyah
-meski susah. 

Sembilan kali naik angkutan umum ibu kota
kesepuluh nanti untuk kembali ke rumah,
secepatnya segera.

Beruntung bisa curi tiga
dari 38 pukulan untuk rebah
selurusnya.

Bukan soal panjang jarak
:ini soal hari depan seorang anak
mencari ruang di metropolitan semarak
semoga tak lekas muak.

Gusti, sampaikan pada ibu, aku
tak bisa tepati waktu
biarkan aku yang mengejar waktu,
dia tahu maksudku. 

Ada apa sebenarnya dengan Minggu?
yang aku tahu
:ada air mata di sela pengharapan para ibu.

————–
Di luar rumah dan akan segera pulang, 8 Agustus 2010

Rabu, 04 Agustus 2010

Kejutan


Satu putaran 360 derajat sebelum memukul Lima, sore hari ini.
 
Aku sedang mengamati percakapan virtual dalam layar persegi. Kotak mini berbasis koneksi yang menimbulkan kesenangan maksimal. Karenanya, aku begitu menikmati akhir pekan lalu. Ini bukan pesta pora, bahkan gaun pun tak ada.

Aku butuh lebih dari sekadar kumpulan kepala berkumpul dalam ruang istimewa bertabur iringan dansa. Mengenal mereka dan melakukan hal yang kusuka adalah berkah. Aku tak perlu lagi taburan konfeti karena mata mereka aneka warna. Aku tak perlu lagi setelan berdasi karena mereka pembuat nyaman tanpa batasan nominal. Aku tak perlu lagi pesta karena mereka melagu aneka irama.

Aku masih bersyukur sejak akhir pekan itu; yang euphorianya terus menggema; yang pertautannya semakin lekat; yang seperti tak berjarak; yang membangunkanku dari tidur malas tanpa kantuk tanpa mimpi; yang mengajariku bernafas lagi.

Aku masih bersyukur sembari menunggu Lima terpukul. Bersyukur dalam gaung paling merdu yang serta-merta kau hentikan dengan getaran telepon genggam. Anak bungsu ibuku dalam jaringan, “Mas, ibu sakit. Cepat pulang.”

Kenapa kau gemar sekali memberi kejutan, Gusti? Aku baru saja bersyukur dan sekarang kau memaksaku menghujatmu lagi. Maaf, aku tak suka kejutanmu kali ini.

Sore ini dalam perjalanan pulang setelah Lima terpukul Enam menjelang.

Rabu, 21 Juli 2010

Ego Abu


Jendela-jendela terbuka
Menganga
Semenganga sadar yang dibiaskan semburat warna rupa-rupa
Semenganga mereka yang menghadangku dengan hanya satu warna

"Hei, ini soalku dan semesta!" 
 
Toh, aku pernah menjejak pada satu warna
setiap kali menghamba pada indukku: Si tunggal bermata elang


A

Minggu, 11 Juli 2010

Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa*

#1 Menyoal Waktu

10:13:23 PM dmelisa55: Hey kamu
10:14:21 PM andu_2603: apa sayangs
10:14:28 PM andu_2603: besok jadi pergi?
10:14:46 PM dmelisa55: ngga
10:14:53 PM andu_2603: lho?
10:14:55 PM andu_2603: knp?
10:15:33 PM dmelisa55: lo ga bs,yesa jg..
10:15:45 PM dmelisa55: si kaka males
10:15:47 PM dmelisa55: :(
10:16:01 PM andu_2603: yaaaah
10:16:07 PM andu_2603: ga ada uang banget gue
10:16:15 PM andu_2603: klo ngumpul di rmh siapa gitu
10:16:21 PM andu_2603: pasti gue samperin :)
10:17:14 PM dmelisa55: si kaka sih lg drmh pndk cabe
10:17:35 PM andu_2603: mau?
10:18:13 PM dmelisa55: huh
10:18:23 PM dmelisa55: coba blg anak2
10:18:47 PM dmelisa55: gw mah mau2 aja.pan ane dkt rmhnya
10:21:29 PM dmelisa55: Tp emg lo mau bsk nyamperin gt?
10:22:53 PM andu_2603: iya :)
10:23:25 PM dmelisa55: Yowes gw blg yesa nih
10:23:26 PM dmelisa55: Emg bsk lo smpe jm brp?
10:24:13 PM andu_2603: maunya jam berapa?
10:24:18 PM andu_2603: biar bisa lama
10:24:44 PM andu_2603: i need extra conversation
10:26:17 PM dmelisa55: dr siang bs?
10:29:15 PM dmelisa55: Hoy
10:29:26 PM andu_2603: Yoh
10:29:55 PM dmelisa55: Bs ga dr siang?
10:30:14 PM andu_2603: bisa bisa bisa
10:30:17 PM andu_2603: bangunin aja
10:30:27 PM dmelisa55: Serius?
10:30:32 PM andu_2603: siap!
10:30:35 PM dmelisa55: Asik
10:30:39 PM dmelisa55: Love u full dah
10:32:23 PM andu_2603: bawa makanan yak :)
10:33:13 PM dmelisa55: drmh kaka ud bnyk makanan
10:33:16 PM dmelisa55: Ahahaha
10:34:28 PM andu_2603: harus
10:34:34 PM andu_2603: sm dvd :)

















Patah

kau patahkan kursi kayu
kau sambung dengan perekat terhebatmu
kaujadikan seperti dudukanku dulu
tak sekuat lalu
melayu


[A] Depok, 9 Juli 2010
*ilustrasi diunduh dari sini

Selasa, 29 Juni 2010

Irama Hari

1
Dari gerimis sore setelah benang layang-layang tergulung tersirat keriangan -Anak Gunung

2
Dari rokok yang tak habis terbakar menguapkan Asam, mulutnya

3
Dari merahnya gincu menyempurnakan peran Perawan

4
Dari susahnya menyeberang hingga klakson bertautan merajai Jalanan

5
Dari sajak yang kehilangan rimanya pada selembar Kangen

6
Dari lampu merah yang kadang hijau lalu menguning terabaikan ban-ban; Metropolitan

7
Dari bunyi Endonesia yang menyamarkan kondisi Negeri

8
Dari isak tangis ibu di ijab kabul Pertama anaknya

——————————————————————-
A, Sabtu, 19 Juni 2010

Selasa, 01 Juni 2010

Ini Sakti!

Ini, ini, rasanya nyeri ini. Ini, nyeri ini sakit, ini. Ini, sakit ini berkepanjangan ini.Ini di sini ini, di kepala belakang kanan sini, ini. Ini, dekat telinga ini, dekat sekali ini. Ini, telinga ngiung-ngiung ini, nyaring sekali ini di sini, di telinga kanan ini. Ini, ini sakitnya merambat ini.Ini, ini merambat ke mata ini, mata kanan di sini, ini.

ini, sakit ini, s a k i t  s e k a l i   i n i.


















--------------------------------------------
A, ini di sini ini di ruang ini , ini

Rabu, 26 Mei 2010

Rabu

biasanya Rabu saya biru dan saya benci itu . 
kali ini abu dan saya tak lagi tahu apa benci itu . yang ada di otak saya adalah ranjang guling bantal 
-saya berhutang terlalu banyak waktu tidur pada tubuh ini- 
maaf, ini bukan insomnia .
-----------------------------------------------------
pada status buku muka saya 26 Mei 2010

Jumat, 14 Mei 2010

Jangan Bersuara Jika Tak Mau Semua Terdera

…pasrahlah
takdir ada di atas kepala -bukan didalamnya


———————————————
AG: Kantor, 20 April 2010
*setelah menyadari bahwa mengeluh adalah percuma

Kamis, 13 Mei 2010

Terima Kasih

Hore .. hore .. hore ..
Oke, saya bukan baru menang lotre segambreng rupiah.
Saya sesumringah ini berkat Gita Listya Anggraini.
Adik kecil baik hati yang sudah memporak-porandakan blog saya.

Terima kasih,
saya senang sangat ada pantainya :)
ini sudah sesuai umur kok . hihi :P

Jumat, 16 April 2010

Semoga Tanpa Tetapi

Dari dulu pingin banget punya blog. Dua kali buat. Dua kali gagal mengoperasikannya. Semoga ini menjadi ketiga yang berhasil. Semoga :')

Ini akan menjadi semacam repost-blog daru tulisan-tulisan lama saya -semoga tak kadaluarsa. Sebelumnya saya gemar mencatat di facebook, juga di kompasiana.

Jangan sungkan berkunjung :')
Just feel free ...