Kamis, 30 September 2010

Klakson



kata mereka:

bunyinya hingar bingar tak keruan:
menasbihkan penghabisan;
menggulung luka perlahan;
menggaungi awan-awan;
melengking melengkung kiri kanan;
membulatkan dua bibir menawan;
membebaskan sesak berkepanjangan;
menuntaskan sebentuk penantian;
merahasiakan ruang terakhir persinggahan;
merangkul semesta bertuan;
menggenapi gakari Sang Rupawan.

------------------------------------

Depok, 2010

Rabu, 29 September 2010

Terkenang


pada celah itu, kita satu
tapi kau dan aku sama tahu
tak bisa sejalan selalu
sekarang kaku

seperti tumbuhan bercabang
seperti anak-anak ayam
aku kiri kau kanan menjulang
ada bagian dari hati yang lebam

aku kertas dengan garis tak beraturan
kau penulis yang bermusuhan dengan penghapus
mau kita bagai simpangan
dan jalan ini tandus

---------------------------
Depok, 2010

Selasa, 28 September 2010

Kesan-Kesan untuk Kamu



Aku terkesan padamu sejak lagu pertama yang kaunyanyikan malam itu. Syahdu. Aku terkesan padamu sejak konsensus makan malam pertama itu. Aku terkesan padamu sejak percakapan pertama setelah menahun melihatmu, malam itu. Aku terkesan padamu sejak kali pertama berada sejarak satu kursi dalam perjalanan pulang malam itu. Aku terkesan padamu sejak kau tampak sangat menawan dalam seragam cokelat itu.

---------------------------------
Depok, 2010

Senin, 27 September 2010

Rindu


adalah
saat tak ada lagi dendangan Ibu sebelum lelapku
adalah
saat hujan menghalangiku menemuimu
adalah
saat menu terbaik tersaji dan aku hanya bersama lilin di meja makan
adalah
saat doa-doa bersarang di awan

---------------------------
Jakarta, 2010

Minggu, 26 September 2010

Bias


hujan mengaburkan suaramu
dan jarak pandangku
kita serupa pasangan tuli-bisu
tak menyatu dalam lagu

pelangi, usah kaubiaskan Ia
untuk menemaniku dalam hangat sesapan kopi Ibunda
seusai hujan mendera
Si Putih berikrar setia

-----------------------------------


Jakarta, 2010

Sabtu, 25 September 2010

Akrostik: Salah


:Putri Sakinah

Seumpama manusia serupa kata, diksi adalah tingkahnya, rupa-rupa, sembarang tak melulu seirama. Adalah makna yang tak dimiliki kata, ia mencarinya sendiri dalam sejuta ambiguitas duniawi. Lantas, usahlah sendu ketika diksimu tak sejalan mau kerangka aksara. Adalah lumrah, adalah biasa, adalah sudah jangan kau sesali dalam panjang alinea sesudahnya. Habis titik, semailah frase baru pada lembaran kekinianmu, karena lalu adalah guru.

Depok, 2010
-------------------------------------------

*Akrostik adalah puisi atau bentuk tulisan lain dimana huruf, silabus atau kata pertama dari tiap baris atau paragraph mengeja sebuah kata atau pesan, biasanya sama dengan judul.

Jumat, 24 September 2010

Hari #11: Tabung Gas Meledak, Dua Orang Tewas


Hari itu Minggu, pukul tiga sore. Saat ibu sedang mencari alkitab di almari,.Saat bapak sedang di kamar mandi membasuh diri sembari bersenandung lagu masa kini. Saat aku sedang mencari korek untuk mambakar rokok; sebatang lumayan untuk teman mengantre kamar mandi, aku meyakinkan diri. Saat pendeta sedang menyusun khotbah untuk pukul lima nanti, kutemukan korek di atas lemari pendingin di ruang belakang dekat dapur lalu kupantik.

Rumah mengejang. Perabot terlempar tak tentu arah saling bentur. Bara rokok menjelama siluman api menerjang mukaku menjalari sampai kaki, memberangus sekeliling tanpa permisi dan kudengar suara ibu berteriak lalu tak ada suara lagi. Bapak berlari dengan seember air yang terasa surga saat bapak menumpahkannya ke tubuhku. Bapak mencoba memapahku yang melepuh dan bergetar. “Ibu” sempat kuucapkan di telinga bapak dan kulihat bapak ambil langkah seribu seperti mencari sesuatu lalu tak kulihat apa-apa lagi kecuali gelap.
Depok, 2010

Kamis, 23 September 2010

Hari # 10: Darah Muda


Dara, 10 tahun, mengamuk setelah seminggu tak mau bicara. Anak itu berteriak nyalang melihat adegan seorang pria merayu lawan mainnya dalam layer kaca. “Bapak jahat! Bapak jahat!” repetisi kata yang membingungkan Sri, ibunya. Entah butuh berapa jam lamanya, Sri akhirnya berhasil menenangkan anak semata wayangnya. Dara berkeringat luar biasa. Sri mengganti bajunya dan mendapati celana dalam anaknya bercorak merah darah. Suaminya sudah seminggu tak pulang dengan alasan ke ibu kota mencari nafkah.

Rabu, 22 September 2010

Gadis Desa


Dari balik punggung yang menunduk. Di sela air mata yang tak pernah reda sejak hari itu kudengar ibu terbata-bata mencari kata penjaga di antara tentetan kata milik pemuka desa dalam lakon hakim ternama “Kau harus keluarkan Gadis dari desa cepat-cepat!” seru orang terdepan diikuti suara-suara kepala-kepala yang berjejal di belakangnya, mengiyakan. 

“Bukankah seharusnya anakmu yang dikebiri? Toh, tak akan pernah ada kembang biak tanpa jasa penabur benih.”

Selasa, 21 September 2010

Dialog Senja 2


Tuhan

“Kemana saja kau?”
“Berkelana”
“Apa yang kau cari?”
“Dia”
“Bodoh! Dia ada di dalam sana.”
“Dimana?”
“Cermin.”

-------------------------------------------------

Kelamin

“Apa itu kelamin?”
“Sesuatu yang licik.”
“Selicik apa?”
“Ia selalu punya celah untuk mendominasi”
“Apa?”
“Mendominasi norma.”

----------------------------------------------------

Surga

“Amin.”
“Kau berdoa?”
“Bersyukur.”
“Atas apa?”
“Aku masih bisa cium tangan ibu.”
“Kaki?”
“Itu bukan urusanku.”

----------------------------------------------------

Abu

“Ada yang marah.”
“Siapa?”
“Ibu, kucuri gincunya.”
“Buat apa?”
“Aku hanya ingin sedikit berwarna. Salah?”

----------------------------------------------------
[AG, Depok, September 2010] 
*Dialog Senja #1

Senin, 20 September 2010

Dialog Senja


Atas Nama Tuhan

“Apa yang kau imani?”
“Kesendirian.”
“Kau benci manusia?”
“Tidak.”
“Lalu? “
“Aku terlahir dan akan mati sendiri.”

—————————————

Atas Nama Cinta

“Aku cinta.”
“Aku muak.”
“Muak apa?”
“Cinta!”
“Sejak kapan kau mati rasa?”
“Sejak kapan matamu membeku?”

—————————————

Atas Nama Ibu

“Kau sakit jiwa!”
“Mungkin.”
“Cuci otakmu”
“Deterjen?”
“Ibumu.”
“Cuci mulutmu!”

----------------------------
Depok, 2010

Minggu, 19 September 2010

Di Bus Kota Hari Ini


kutemui Luka menganga
di antara dudukan besi,
berkarat
bilakah Kota mulai sekarat?

kutemui penjaja Hari
dalam celah-celah gerah
kekasih Kota di sedan sebelah
hiasan di kepala, pongah

kutemui aneka wajah
aneka jalan
aneka tujuan
aneka surga, rupa-rupa
satu neraka

-----------------------------------
Jakarta, 2010

Sabtu, 18 September 2010

Aku Hanya Ingin


mengecup tangan ibu,
sebelum lelah menyeka buliran resah
menyoal hari depanku.

Aku hanya ingin
berdansa denganmu, malam ini
tak perlu purnama atau
separuh atau
sabit,
sebelum matahari cemburu.

Aku hanya ingin
rebah beberapa jenak.,
merenggangkan arteri-vena yang
tersumbat,
sempat hampir merapat, sesak.
----------------------------------
Depok, 2010

Jumat, 17 September 2010

Menjelang Subuh


Pukul Dua Dini Hari

ada Anak menangis di ujung ranjang
meringkuk
:berhenti bermimpi
buruk, tunduk

-------------------------------------

Pukul Tiga Dini Hari

tivi menyala
bola
bundar
:berkeliaran seperti Bapak

-------------------------------------

Pukul Empat Dini Hari

aku dan Ibu pernah serupa simpul mati
bertautan atas nama iman lalu
tak terjangkau
meninggi, berseberangan

------------------------------------
Depok, 2010


Kamis, 16 September 2010

Jenakanya Tuhan


dari tatapan
ke tatapan
dari pijakan
ke pijakan
semesta merupa dalam isi keimanan

mengimani hari
mengimani sendiri
mengimani nasi
mengimani mimpi
tasbih kehilangan benang: berlari menari sedu sedan menggendangi

ini perut
ini dahaga
doa-doa surut
iman menguap mengudara
di bawahnya: kepala-kepala tertunduk menangisi raga-jiwa

pekat sudah
biru sudah
berserakan merah-merah
ini jengah!
-------------------------------------------

Depok, 2010

Rabu, 15 September 2010

Menunggu Pagi


Halte

dudukan besi
sepi di tepi
mereka menepi
mencari sendiri
terjebak sunyi
patah sudah kemudi

-------------------------------------

Kopi

pekat menguap
kretek terbakar, berasap
menyesap pandir siang bolong
bulan pasrah: ompong
esok tak dapat diomong

-------------------------------------

Tivi

ajaib
realita serupa raib
dalam kotak warna-warni
tersela pariwara dunia kini
parodi serupa mimpi
menggelayut
tinggi

-------------------------------------
Depok, 2010

Selasa, 14 September 2010

Meminang Malam

 
Seperti hari sebelumnya, 
aku tak pernah bisa benar-benar mencintai siang.
Tak pernah bisa membuatku tenang.
Hampir selalu gamang.

Siang menawarkan terlalu banyak pilihan.
Menyudahi drama Tuhan,
atau melanjutkan peran.
Serupa simalakama, membingungkan.

Siang juga kerap menamatkan mimpiku yang masih menggantung.
Membangunkanku dengan paksa dari tidur panjang mencari Yang Agung.

Padahal, 
jarakku sempat hanya segaris meja makan dengan Si Peramu Menu.
Matahari menghadang memburu.
Kaki ini beku.

Sinar pongahnya memaksaku mundur,
tersungkur.
Membungkus kembali tanya yang menahun terkubur.
Untuk kesekian kalinya aku gugur

Urung kutanya "Aku mencintai malam,
bisakah kuhindari kepura-puraan siang yang mencekam,
kelam?"
Kutarik selimut, matahari bungkam.
-------------------------------------------------------------

Depok, 2010

Senin, 13 September 2010

Rindu Ibu


1
Ada ibu merindu anak-anaknya.
Tiga dari lima.
Sudah berkali-kali lebaran tak kunjung temu tiga.
Tersisa dua.

2
Si sulung lelaki seperti hilang, tak ada kabar tersiar.
Ikut istri ke Riau dan beranak kembar.
Si ibu berharap kapal pesiar.

3
Si ibu gemar pindah alamat sejak si sulung pindah pulau.
Rantai kabar terputus tak lagi terjangkau.
Ibu jadi hobi mengigau.

4
Setelah menahun, si ibu pura-pura mengikhlaskan si sulung pada alam.
Padahal, ia selalu berharap ada yang mengetuk pintu tiap malam.

5
Si dua adalah perempun pertama.
Polahnya tak terkendali tangan ibu yang sibuk melawan ibu kota.
Salah taruh percaya.

6
Tut Wuri Handayani, terpanggil Tuti.
Tuti, si dua, merasa nyaman dengan pemuda pinggir kali.
Beranak satu perempuan empat lelaki.

7
Dengan klisenya, Tuti ditinggal pergi suami.
Sejuta alasan pasti tak pasti, pada ibu Tuti kembali.
Maaf selalu ada untuk si buah hati.

8
Tuti mulai kerepotan mengumpulkan rupiah untuk sekadar beli susu kemasan.
Ia pikir mencari akan dolar lebih ringan.

9
Tuti dan ibu berbagi kesepakatan.
Tuti memilih negeri singa, si ibu memilih jadi nenek bercucu beruban.
Mereka dipisah lautan.

10
Sekarang, si ibu resmi kerepotan dan Tuti resmi dirindukan.
Cucu-cucu kehilangan masa kecil idaman.
Tak pernah bermain di taman.

11
Satu lagi yang sedang dirindu ibu.
Anak ketiga, si perempuan ayu.
Seayu putrinya, cucu terakhir ibu.
Sudah lama tak saling temu.

12
Suami si tiga tak pernah beri jalan ke rumah ibu.
Serupa monopoli, ia melarang tak pernah ragu.
Ibu yakin jiwa menantunya terganggu.

13
Dulu ibu menentang mereka.
Mereka disatukan janin sebelum ijab kabul terlaksana.
Sukses memisah ibu dan anak ketiga.
Menantu durhaka.

14
Pagi tadi,
si ibu menyebut nama tiga anak pertamanya
di sela peluk tangis si empat dan si bungsu.
Lebaran semacam panggung tanpa lagu.

15
Ada ibu bertanya pada anak-anaknya
:apa Gusti benar maha segala?
Si bungsu menepis air mata.
Si empat, aku, kehilangan kata. 

--------------------------------------------------
Depok. 1 Syawal 1431 H

Sabtu, 11 September 2010

Sekata Tiga Aksara

Saya sedang merindu dia yang bernama satu kata dan hanya tiga aksara.
Kenangan aneka rasa terikat di kepala.
Lekat./

Saya tahu dia dulu hanya memanfaatkan keanehan saya,
tapi saat itu saya ikhlas dimanfaatkan aneka rupa./

Naik motor usang punyanya,
makan sate malam buta,
pergi berdua ke sinema,
curi-curi dari mereka.
Dia nakal tapi saya suka./

Matanya selalu menggoda.
Saya selalu suka melihatnya berolah raga.
Berkeringat.
Memikat./

Saya ingat bagaimana ciuman pertama kami.
Dia bilang tak sengaja.
“Jangan bilang siapa-siapa” jadi kalimat keduanya. /

Dia tak pernah marah setiap kali saya peluk dari belakang di atas motor bapaknya.
Sayangnya tak berlangsung lama./

Dia gemar memamerkan bentuk perutnya.
Atlet sekolah idaman wanita.
Mereka tak pernah tahu soal kami berdua./

Ciuman kedua jadi yang terakhir, di tangga lantai dua sekolah.
Di lantai satu pacarnya menggigit bibir.
Dia pintar mencari celah./

Setelahnya,
dia berlakon mirip orang asing.
Salah tingkah.
Saya cuma bisa senyum garing.
Berusaha tetap ramah./

Oke!
Sudah menahun tak melihatnya.
Entah kena apa di kepala ini hanya ada satu nama tiga aksara.
Errgh! /

Tebal alis di atas matanya.
Kedua bibir penuhnya.
Tahi lalat yang entah dimana.
Saya merindu semuanya, pria pertama./

Teman saya bilang dia hampir mirip Collin Farrel,
aktor Irlandia dengam citra ‘bad boy’.
Yes, He was my bad boy./

Saya tak pernah simpan nomornya di daftar kontak ponsel saya.
Terpaksa menghafal alih-alih menutupi dari sekitar./

Dia menyimpan nomor saya dengan nama ‘Dara’ di ponselnya.
Saya tak pernah minta tapi dia pintar bersandiwara./

Saat hari mulai membosankan,
saya kirim pesan pendek padanya.
Setengah jam kemudian dia sudah menunggu di persimpangan./

Kami gemar keluar setelah gelap,
alih-alih menghindari jarak pandang mereka yang kami kenal./

Dia selalu tanya kabar mantan pacarnya yang adalah teman saya.
Saya selalu jawab sambil bersungut-sungut.
Dia terkekeh manggut-manggut./

Dia suka nonton.
Dia suka kopi.
Saya suka dia dan keduanya.
Masih saya simpan tiket pertama kami.
Mugkin tak bernilai tapi berarti./

Ada yang curiga soal kami,
masa bodoh tak ambil peduli.
Ini soal nyaman bukan aman,
tapi dia mulai keberatan./

Dia punya pacar baru.
Lucu dan ayu.
Saya dikenalkan.
Saya tak keberatan.
Kami tetap pasangan./

Setelah adegan kamar mandi sekolah dia menghilang ke lain kota untuk turnamen kebanggaan.
Kepulangannya tak pernah berkabar./

Dia serupa tertelan gelombang tak bernama.
Hilang.
Dia resmi menjadi kenangan.
Sekarang, saya sedang mengenangnya./

Sempat tak sengaja tatap muk di bis kota dan pusat belanja.
Dia berdua dengan pria entah siapa.
Saya cemburu./

Saya tak pernah cemburu sebelumnya karena pasangannya selalu wanita.
Kali itu saya kecewa./

Dulu, saya menyebutnya ‘gay on the closet’.
Mungkin sekarang dia lebih terbuka cari nyaman, atau entah apa.
Saya sempat marah./

Terakhir bicara,
dia sudah menikah karena ada anak gadis diperawaninya.
Saya lega.
Dia tak berakhir pada pria./

Saya senang mengenang bahunya pernah jadi tempat ternyaman untuk menguapkan lelah.
Menguapkan pura-pura./

Saat itu,
hanya kepadanya saya bisa berhenti pura-pura.
Dia tak terlalu perhatian,
tapi berusaha mengerti./

Dia hanya bernama satu kata dengan tiga aksara.
Dia adalah KAU yang tak pernah hilang namanya di kepala ini.//

---------------------------------------------
Depok, 11 Agustus 2010
*dirangkum dari hashtag #sekata3aksara –curhat membabi buta di Twitter saya [@ndigun]

Senin, 06 September 2010

Manusia-manusia


rupa-rupa dalam bejana bernama
warna-warni dalam kanvas indrawi
mereka-reka sebuah ketidaktahuan atas surga
menari di bawah semesta ideologi tentang mati


——
Depok, 19 Agustus 2010

Jumat, 03 September 2010

Cerita Sum

Kemarin sore pelangi terbit, kau lihat? Gugusan warnanya menyempurnakan senja yang hampir beku. Tegar pernah berkalimat, “Akan ada pelangi setelah badai.” Jika kau meyakini eksistensi pelangi, kau bisa setegar Tegar. Aku tahu badaimu masih kencang menggelombang. Badaimu adalah badaiku dulu. Bukan karena aku kalah lantas kau yang harus menerjangnya. Ini soal bumi dan isinya dan pergerakannya. Aku rasa kita tak pernah tahu kita akan diputar kemana. Kemanapun badai membawamu, aku akan ada di garis terdepan. Menguatkanmu saat peganganmu mengendur.

Sore itu Sum menghantarkan segenggam maaf padaku. Maaf karena mematahkan mimpiku. Bukan hanya satu mimpiku. Nyaris semua, katanya. Aku mengembalikan kata. Bukan ia si pematah mimpi. Tak ada yang patah bahkan. Mimpiku adalah membuatnya kembali bermimpi. Mimpiku tak terpatahkan. Suatu hari nanti kita akan terduduk menikmati sore dengan mimpi di genggaman. Mimpi yang tersempurnakan kelak. Ini janjiku. Bersabarlah sedikit lebih lama.

Namanya Sumiati. Panggil saja ia Sum. Ia sedang belajar kembali menyulam mimpi setelah sebelumnya kehilangan jarum sulamnya. Ia ibuku dan kini jarum itu milikku.

Separatisme Kekinian

Bhineka Tunggal Ika


Bhineka Tunggal Ika kini hanya menjadi sebuah slogan yang nyaris kehilangan maknanya. Aktualisasi pemaknaan "berbeda-beda tetapi tetap satu jua" menjadi amat langka dewasa ini. Masyarakat justru menggunakan perbedaan sebagai senjata penghakiman bahwa suatu kelompok lebih baik daripada kelompok lainnya.

Perbedaan yang seharusnya menjadi motivasi peningkatan integritas bangsa beralih fungsi seiring dengan maraknya medornitas pemikiran yang dipengaruhi oleh rasa ingin bersaing. Persaingan antarkelompok itu mulai memberangus rasa kebersatuan.

Fenomena seperti ini terlihat jelas di banyak institusi pendidikan tinggi. Perbedaan cara pandang prematur mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok mahasiswa yang mulai memisahkan diri dari mayoritas. Sebuah bentuk separatisme yang dilandasi ego bahwa mereka lebih baik ketimbang para mahasiswa lainnya.

Mereka mungkin tidak dengan sengaja memisahkan diri dari mayoritas. Tetapi, dengan alih-alih bahwa ideologi prematur mereka tidak sejalan dengan kebanyakan, mereka mulai membuat jarak. Beberapa menganggap ini masalah sepele, hanya sekedar soal memilih teman nongkrong. Padahal ini adalah bentuk awal dari perpecahan integritas dalam sebuah institusi pendidikan.

Anggap saja ini sebagai fenomena sosial yang tak terhindarkan, tapi toh tetap dapat diminimalisir. Mungkin banyak yang lupa bahwa selalu ada hal penting di balik sesuatu yang dianggap sepele. Ada banyak hal luar biasa yang dimiliki oleh para mahasiswa yang dianggap remeh oleh mahasiswa lainnya yang merasa lebih superior. Sayangnya, keengganan mencari tahu sudah mengakar lebih dalam. Kalau sudah begini, siapa yang salah dan siapa yang benar? Mari kita telaah soal pengelompokan mahasiswa ini dengan pembagian sebaga berikut; Akademisi, Organisator, dan Anak Gaul.

Rabu, 01 September 2010

Sajak Acak Tentang Sesuatu yang Tak Terlacak


Pagi
pagi tak pernah sesempurna
pelukisnya; pun siang, malam,
dan embun buta
—————————————
Siang
kenapa malam gemar berlari?
sementara aku masih bisa bersabar lebih lama untuk pagi
aku tak yakin ini ilusi
—————————————
Malam
aku tak pernah bisa mencintai siang setulus aku mencintai ibu
matahari tak pernah berpura-pura ramah
mengganggu
senyumnya pongah
————————————–
Hari Ini
kotak ini tempat buangan emosi
warna-warni seaneka lolilop adik kecil
tatap muka menjadi disfungsi
asasi mulai mengerdil
—————————————–
Lusa
pikiran goyang tak tentu arah
segera tumpah
tertahan
ada yang mengganjal di sela harapan
————————————————————-
Hidup adalah drama dengan skenario yang tak pernah terbaca. Ayo mainkan peran sebaiknya! Jangan terlalu banyak improvisasi :)
Depok, 30 Agustus 2010