Kamis, 27 Mei 2010

Untukmu, May


Hey, Nona! Mana senyummu? Tak seharusnya kau sesendu itu. Ini harimu, ingat? Aku takkan mengucap selamat kalau kau masih meratap. Kau tahu? Senyummu itu indah. Tunjukan pada dunia kau tak lemah. Kau tak seringan kapas yang mudah goyah. Kau kuat bagai beringin yang hijau daunnya meriah.

Baiklah. Mungkin aku harus menyegerakan mantra Selamat untukmu. Agar kau tetap tersenyum seperti teman sebayamu, adikku. Selamat meretas usia dalam angka. Berapa usiamu hari ini? Lima belas tahun? Coba berkaca sejenak. Kau apel yang sedang ranum. Kau mawar yang harum. Berduri. Jangan sekali-kali kau tusukkan durimu pada ia yang kau sebut Mama.

Ahh, aku lupa harus mengucap selamat yang lainnya. Kau berganti rupa bukan? Maksudku, kau berganti seragam biru jadi abu. Aku mengucap selamat untuk itu. Dengar, kau akan merindukan masa birumu yang riang. Tapi aku yakin abu-abu kadang lebih istimewa.

Kau kini sedang di ambang pintu abu-abumu. Masuklah jangan sungkan. Kau hanya perlu satu keyakinan. Masa depan. Di mana pun kau kenakan abu-abumu, kau harus ingat ada yang berharap baik bagi hari depanmu. Ibumu, kakakmu, iparmu, sahabatmu, aku, juga Bapakmu di surga sana.

Omong-omong, semalam aku menginap di bulan. Aku bertemu bapakmu di sana sedang berbinar. Berbinar melihatmu tumbuh mendewasa. Ia sempat titipkan pesan untukmu, begini pesannya:

“Bungsuku, kau jadi satu-satunya teman perempuan bagi ibumu kini. Jadilah teman terbaik baginya. Selalu beri senyum terindahmu untuknya. Jangan pernah bosan mendengar keluh kesahnya. Jaga ibumu untukku. Aku akan membantumu menjaganya, juga menjagamu, dari atas sini. Kau harus meyakini sesuatu, aku tak pernah jauh darimu. Aku nyaris tak berjarak. Aku tetap hidup dalam setiap pijakanmu. Menyaksikan setiap langkahmu. Aku menyayangimu, Bungsuku”

Selamat lima belas !!!

Saudara lelakimu, anak Sum yang menyayangimu –selalu

A
----------------------------------------------------------
Aku lupa mengingatkan,
saudara lelakimu bertambah satu, Aku.
Jangan cengeng lagi yaa sayang :)

Rabu, 26 Mei 2010

Rabu

biasanya Rabu saya biru dan saya benci itu . 
kali ini abu dan saya tak lagi tahu apa benci itu . yang ada di otak saya adalah ranjang guling bantal 
-saya berhutang terlalu banyak waktu tidur pada tubuh ini- 
maaf, ini bukan insomnia .
-----------------------------------------------------
pada status buku muka saya 26 Mei 2010

Jumat, 21 Mei 2010

Dia Tak Perlu Negeri Dongeng

Hujan. Awan hitam timbul tenggelam di gugusan cakrawala. Bulir-bulir airnya sesekali menyibak bau tanah, mengisyaratkan bumi masih ada.



Sesekali kesejukan menyelinap pada celah ruang persegi yang mulai retak. Bukan dingin yang menggigil, hanya sejuk yang semilir melewati jendela-jendela berkarat.

Di ruang persegi yang lain anak-anak tertidur dalam peluk hangat ibunya, bapaknya, beberapa keduanya. Anak-anak itu bermimpi tentang negeri dongeng lengkap dengan ibu peri lalu angsanya pada halaman istana kerajaan awang-awang. Sebagian terjaga memburu bulir-bulir hujan. Berlari-lari mendendangkan keriangan khas mereka.

Seorang gadis kecil hanya terpaku pada bibir pintu. Menikmati hujan tanpa memburunya di bawah sore. Ia tak berani lebih jauh dari pintu. Pun tak ada yang menina-bobokannya dengan peluk hangat. Pun ia tak tahu cara berdendang riang walau sesaat. Itu bukan khasnya. Dan jangan pernah menyoal negeri dongeng padanya, bahkan angsapun ia tak tahui bentuknya.

Ia pernah sekali membangun kerajaannya sendiri dalam sore yang sunyi. Kerajaan kecil dalam ruang persegi miliknya. Kerajaan tanpa angsa hanya kamboja. Istana yang ia sedang bangun itu runtuh sebelum sempat menjadikan ibunya Maharani. Ia ingin sekali menjadikan ibunya satu-satunya Maharani dalam kerajaannya. Menempatkan ibunya pada ranjang ratu tanpa harus berbagi dengan gadis belia kampung sebelah. Selir bapaknya yang Maharaja. Setelahnya ia tak pernah mengharap apa-apa pada dongeng anak-anak tetangga sebaya.

Ibunya tetap menjadi satu-satunya wanita yang ia panggil Ibu. Meski tak jadi Maharani, ibunya tetap satu-satunya pemilik ranjang ratu. Benar-benar satu-satunya. Yang ia panggil Bapak telah beranjak dari ranjang. Memburu keduniawian. Mengikuti hasratnya. Meninggalkan kenangan.

Kenangan yang ia tak mau lagi ingat barang sejenak. Kenangan yang membuatnya pernah tak menelan apa-apa dari pagi hingga petang. Kenangan yang membuat adiknya buang air besar sembarang. Kenangan yang membuat ibunya terbang. Terbang ke negeri tetangga tempat patung singa mengucurkan air dari mulutnya. Mengumpulkan dolar karena rupiah tak lagi ramah. Kenangan yang kerap membuatnya bertanya padaku “Om Andi, Bu Tuti kapan pulang? Uwi kan mau sekolah.”

----------------------------------------------------------------------------

[AG] 21 Mei 2010

*Alfi Dwi Febrianty -anak kedua kakak perempuan pertamaku

Rabu, 19 Mei 2010

Marah yang Merah

Perempuan itu bergincu. Merah. Bayi dalam gendongannya menangis. Marah

Beberapa tetangga memanggilnya Mbak Mir. Miranti. Usianya entah berapa. Muda. Awal dua puluhan sepertinya. Ia hidup nomaden. Dari satu petak kontrakan ke petak lain kontrakan. Kadang lebih kecil. Jarang yang lebih besar. Tergantung penghasilan. Ia tak pernah bertahan lebih dari tiga bulan dalam satu petak kontrakan. Didemo ibu-ibu sekitar. Ibu-ibu yang gusar. Gusar suaminya sering menghilang tengah malam.

Miranti tak pernah menutup pintu rapat-rapat. Tak pernah mengenakan pakaian rapat-rapat. Ramah pada setiap tamu yang datang dalam petaknya. Datang berbasa-basi sebelum beraksi. Kebanyakan lelaki.

“Anakmu lucu sekali.”
“Terima kasih.”
“Berapa usianya?”
“Entah. Belum genap setahun yang kuingat.”
“Sudah merangkak?”
“Sudah. Ia selalu merangkak ke arah dadaku. Minta disusui.”

Basa-basi tak pernah lebih lama dari pariwara di sela drama televisi. Tamu Miranti menyegerakan diri. Merangkak ke arah dada Miranti. Minta disusui. Biasanya ini tanpa basa-basi. Setelahnya, beberapa lembar rupiah berganti genggaman. Miranti segera menuju minimarket yang buka seharian. Beli susu kemasan. Ia terlalu lelah untuk menyusui bayinya. Entah siapa bapaknya. Salah satu tamu yang kebocoran.

Alasan ekonomi kata Miranti. Klise. Ia tak punya ijazah. Tak punya bakat yang untuk diasah. Ia punya kelamin yang sering basah. Kali pertama basah oleh ayah tirinya. Basah tak berbuah. Ibunya kehilangan kendali atas nafasnya. Meninggal seketika setelah tahu kelamin Miranti basah. Sebelumnya sempat murka. Berapi-api. Merah. Semerah darah yang mengucur di kepala suaminya setelah linggis menghantamnya.

Bayi itu masih menangis. Marah. Merah. Merayu pada susu ibunya yang terlalu sibuk menyusui bapak bayi tetangga
————————————————————————————————

-semoga tak ada lagi frase klise ‘alasan ekonomi’ di balik prostitusi.
[AG] di dalam petak perseginya, 19 April 2010

Jumat, 14 Mei 2010

Jangan Bersuara Jika Tak Mau Semua Terdera

…pasrahlah
takdir ada di atas kepala -bukan didalamnya


———————————————
AG: Kantor, 20 April 2010
*setelah menyadari bahwa mengeluh adalah percuma

Kamis, 13 Mei 2010

Cerita Kejut: Di Jalanan

metromini 

jendela-jendela kadaluarsa
di atas dudukan plastik
beberapa berbisik
:asam ketiaknya istimewa
—————————————
pengamen

senar-senar ala rock star
lengkingan mengudara
beberapa tersadar
:getar blackberry di saku celananya
—————————————–
jalan raya

sirkuit roda dua roda empat
semua nyala dikira hijau tak ada merah
beberapa lupa selamat
:pada aspal terlukis darah






[AG] hari ini di ibukota

---------------------------------------------
*latah menulis setelah membaca dua cerita kejut. 2 3 4 milik Wonky yang kadang petani. Tiga milik Pallas Athena.

Senja Di Sadranan


Pasir-pasir bergulir digerak gelombang getir, di atasnya: senja mengalir hingga ujung pesisir menertawakan kami, yang korban ibukota satir, yang korban pejabat berdasi kikir, yang korban asmara dalam pandir, yang korban dongeng raja-raja demokrasi mangkir



Ombak mengalun bening ke permukaan, di bawahnya: karang-karang membatu menghakimi kami, yang lari sejenak dari intrik realita, yang memaku mimpi tanpa daya, yang menyanyikan lagu kematian bagi semesta, yang lupa jalan pulang ke induknya



Gugusan awan bergerak berarak-arak, di antaranya: matahari menerbitkan jingga menghangatkan kami, yang rindu mantra-mantra pemanggil hujan, yang segan mengucap terima kasih tuhan, yang naïf tak peduli jalan pada tujuan, yang menerka kelewat jauh hari depan


--------------------------------------------
Untuk kalian, Gitaditya Witono - FIKRI - Wibisono Tegar - Olga Elisa Utomor : terima kasih akhir pekannya

[AG] di ibukota satir, 06 Mei 2010

Terima Kasih

Hore .. hore .. hore ..
Oke, saya bukan baru menang lotre segambreng rupiah.
Saya sesumringah ini berkat Gita Listya Anggraini.
Adik kecil baik hati yang sudah memporak-porandakan blog saya.

Terima kasih,
saya senang sangat ada pantainya :)
ini sudah sesuai umur kok . hihi :P