Jumat, 03 September 2010

Cerita Sum

Kemarin sore pelangi terbit, kau lihat? Gugusan warnanya menyempurnakan senja yang hampir beku. Tegar pernah berkalimat, “Akan ada pelangi setelah badai.” Jika kau meyakini eksistensi pelangi, kau bisa setegar Tegar. Aku tahu badaimu masih kencang menggelombang. Badaimu adalah badaiku dulu. Bukan karena aku kalah lantas kau yang harus menerjangnya. Ini soal bumi dan isinya dan pergerakannya. Aku rasa kita tak pernah tahu kita akan diputar kemana. Kemanapun badai membawamu, aku akan ada di garis terdepan. Menguatkanmu saat peganganmu mengendur.

Sore itu Sum menghantarkan segenggam maaf padaku. Maaf karena mematahkan mimpiku. Bukan hanya satu mimpiku. Nyaris semua, katanya. Aku mengembalikan kata. Bukan ia si pematah mimpi. Tak ada yang patah bahkan. Mimpiku adalah membuatnya kembali bermimpi. Mimpiku tak terpatahkan. Suatu hari nanti kita akan terduduk menikmati sore dengan mimpi di genggaman. Mimpi yang tersempurnakan kelak. Ini janjiku. Bersabarlah sedikit lebih lama.

Namanya Sumiati. Panggil saja ia Sum. Ia sedang belajar kembali menyulam mimpi setelah sebelumnya kehilangan jarum sulamnya. Ia ibuku dan kini jarum itu milikku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar