Selasa, 04 Januari 2011

Kodrat: Bicara Kodrat


Aku mendapati sosok yang mengaku Bapakku di ruang tamu. Bapak yang kata mereka telah berjasa menanam benih spermanya lalu berbuah menjadi aku. Bapak yang mengawini ibuku karena butuh makan atau butuh pengakuan, entah aku tak tahu. Aku tak mau tahu. Aku hanya tahu sosoknya adalah racun bagi kelamin ibuku. Dia bagai bakteri jahanam yang menggerogoti tubuh ibuku dari kaki ke kepala. Aku melihatnya sedang menikmati kopi yang tak lagi menguap saat aku kembali pulang. Saat ibuku mulai lupa jalan pulang, dan berpikir lebih baik melacur setelah tahu ia mengawini seekor binatang.

“Pulang juga kau Drat”.
“Aku pulang karena aku tahu jalan pulang.”
“Dari mana saja?”
“Menari.”
“Sudah kuduga kau menari lagi. Aku kan sudah bilang ..…”
“Bilang apa? Bilang aku jangan menari!”
“Kau kan tahu alasannya.”
“Kodrat?”
“Jelas! Kau lelaki. Kau tak seharusnya menari, kecuali mau jadi banci.”
“Tak ada kaitan menari dengan jenis kelamin, itu baru jelas! Lagipula, tahu apa Bapak soal kodrat?”
“Aku tahu karena aku lebih tua!”
“Ya! Bapak lebih tua dan lebih tak berguna!”

PLAK !!!

Telapak tangan kanan Bapak mendarat tepat di pipiku. Pipi yang kini memerah. Memerah bukan karena tamparannya. Memerah karena malu Bapakku benalu. Berani benar dia bicara soal kodrat. Harusnya dia berkaca pada kelaminnya. Apakah dia menjalankan kodratnya sebagai pengawin dengan baik? Para tetangga tahu yang dilakukannya setiap hari. Diam di rumah menikamati keringat istri. Berlaga bagai raja di atas singgasana kelaki-lakiannya. Bangga betul dia menjadi lelaki. Lelaki monster yang menyalahi kodrat. Jika memang kodrat lelaki adalah sepertinya, aku akan memilih jadi banci saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar