Sabtu, 25 Desember 2010

Kopi Pahit


Wulan selalu dapat menikmati kopi hitamnya, tanpa gula. Baginya, gula hanya merusak aroma. Merusak rasa yang memiliki kodratnya sendiri. Membuatnya mirip palsu. Ia benci kepalsuan.

***

“Pelacur! Pergi kau dari sini!”

“Pelacur tidur dengan sembarang pria. Aku hanya tidur dengannya.”

“Tarno pergi ke kota sebelum kau hamil. Siapa yang percaya kau mengandung cucuku!”

Wulan segera keluar dari rumah orang tua Tarno. Ia tak kembali ke rumahnya. Ini bukan penolakannya yang pertama. Ia pergi mencari kotanya sendiri.

***

Wulan sedang menyesap kopinya saat Abdi, anaknya, pulang dari mengaji dan memberinya tanda tanya.

“Kenapa Ibu suka sekali kopi? Pahit kan?”

“Ada yang lebih pahit.”

“Apa?”

“Nanti, kalau kau sudah cukup dewasa, kau akan tahu sendiri.”

----------------------

Depok, Desember 2010

Sunyi Sepi Abu-abu


sunyi adalah bunyi hati
saat menu terbaik di meja makan tersaji
dan kau tersesat tak kembali.

sepi adalah warna yang tersapuh
pada malam saat kau gamit gemintang
melepas aku yang temaram

abu-abu itu aku
saat kau bilang rindu
dan tak ada ketukan di pintu

-----------------------

Depok, Natal 2010

Kangen

menghadap cangkir keempat
kafein dalam kemasan
mungkin ini candu
kukira ini dahaga akan sesuatu
Kamu


-ndigun-

10 Status Facebook Saya di 2010

Rabu, 22 Desember 2010

Sumiati


Ibuku suka mawar.
Ibu seperti mawar.
Wangi doanya tak tertawar.
Tajam nalurinya nyaris selalu benar.
Ia sinar.

Ibuku gemar menyapu.
Tak suka lantai berdebu.
Tak suka kami berair mata sendu.
Tak suka kami berdarah barang sekuku.

Ibuku tak bisa menari.
Tak bisa menyanyi.
Ia biarkan kami menari setinggi matahari.
Bernyanyi selantang dewa-dewi.
Kami terberkahi.

Ibuku tak terpelajar.
Tak suka belajar.
Ia mahaguru tanpa gelar.
Ia pengingat salah benar.
Ia menilai dengan sabar.

Ibuku bukan santri.
Ibuku jarang mengaji.
Ia percaya dosa tak berciri,
pahala tak terbeli.
Ia kitab tanpa predikat suci.

Ibuku tak selembut salju,
tak sekeras batu-batu.
Saat kami belum juga mengetuk pintu,
ia di sana setia menunggu.

Ibuku tak semenyala api,
tak seputih melati.
Tanpa pamrih memberi.
Tanpa lelah mengamini segala doa kami.
Ia sewarna-warni pelangi.

Ibuku bukan malaikat.
Ibuku bukan besi berkarat.
Ia mencintai tanpa sekat.
Memaafkan tanpa syarat.
Ia tak benci keringat.

Ibuku menanak nasi.
Ibuku membuat sambal terasi.
Ia tak pandai membuat solusi,
tapi selalu mencoba mengerti.
Ia arti.

Ibuku tak menyala dalam gelap.
Ibuku bukan dewi bersayap.
Ia tersenyum, juga meratap.
Buat kami, kapanpun, ia di sana selalu siap.

Ibuku bukan sempurna tanpa celah.
Ibuku berbuat salah.
Demi senyum kami, ia kerap mengalah.
Pendengar setia setiap kisah.
Ia berkah.

Ibuku bukan peri,
pun bukan maharani.
Ia tak bisa ikat dasi.
Meski tak selalu berisi,
kalimat-kalimatnya sepenuh hati.

Ibuku tak punya istana.
Ibuku tak bermahkota.
Saat mata terbuka,
Ia yang pertama,
yang tak habis ujungnya.
Ia cinta.

-----------------------

Depok, 2010
*Sumiati, nama ibuku

Selasa, 21 Desember 2010

Pamit



“Mahaguru, manusia terpilih tanpa pamrih, terima kasih untuk setiap jawaban atas segala tanda tanya. Untuk ikhlas yang tak terbalas. Untuk lembar-lembar wacana tentang dunia dan pergerakannya.

Maaf untuk predikat yang tertunda. Saya tidak –atau belum memerlukannya. Bukan tak mau, hanya saja saya harus bekerja atau mati kelaparan. Ini bukan mau saya. Saya menyebut ini cara Tuhan, mantap tanpa gelagap.

Saya tahu Anda kecewa. Sayangnya, sarapan harus selalu ada untuk ibu saya. Oya, sebentar lagi tahun ajaran baru. Saya tak berhak memiliki benda ini lagi. Saya pamit.”

A

Lelaki itu terpaku pada bolpoin di tangannya. Hitam. Aksen keemasan melingkar di tengah dan sisi atasnya. Mahasiswa Berprestasi tertulis tegas di badan bolpoin itu.


-ndigun-

Pertama


“Panas banget kamarmu, Ray.” Peluh Diana membasahi kausnya, di punggung. Klik. Kipas angin berputar, pun gairah Rayhan sama kencang, berputar. Sebelah pintu almari terbuka, menutup jendela.

Sapu tangan Rayhan menyeka keringat Diana. Mulai dari kening, mendekati leher. Mendekati dada lalu melantai. Rayhan mendekatkan dirinya, nyaris tak berjarak. Sebuah pagutan menghilangkan jarak mereka. Lembut. Basah.

Tangan Rayhan menelusup ke balik kaus Diana. Ada hangat menjalar di tubuh perempuan itu. Hangat yang tak biasa, yang menyentakkan Rayhan ke dinding kamarnya.

“Kenapa?”

“Aku belum pernah melakukannya.”

“Selalu ada yang pertama, sayang. Tak usah takut.”

“Aku takut aku bukan yang pertama.”

“Hah?”

“Namaku Diana, bukan Melisa.” Pandangan Diana mengarah ke sapu tangan di lantai, tajam.

-ndigun-

Senin, 20 Desember 2010

Untuk Pengantar Sup Panas yang Kehujanan


Wanitaku
Hari ini aku bangun pagi, senang.
Entah apa yang kaurasakan.
Semoga saja sama senang.

Kau masih tertidur di ranjangmu saat kuterbangun. Bangun dari ketakutan. Bangun setelah dijatuhkan tatapan hina orang-orang. Bangun karena kau menyadarkan aku terlalu hebat untuk dijatuhkan. Menyadarkan aku terlalu kuat untuk dikalahkan.

Dulu, aku sempat mengemasi mimpi-mimpi dan beranjak pergi, membohongi diri. Dulu, aku berpikir telah sampai di halaman terakhir cerita yang ditulis Tuhan untukku.

Lalu, kau datang menyulam lagi mimpi terlupakan. Memulai kembali cerita dari halaman pertengahan buku takdir Tuhan . Kau membantuku lebih mudah memijakan kaki daripada hari-hari sebelum kau datang .
Wanitamu

*Aku kerja ya, sayang. Kusisakan sup untukmu. Kau bisa menghangatkannya untuk sarapan.

-ndigun-

Minggu, 19 Desember 2010

Akhir Penantian


Rani sedang berjalan keluar bank saat seorang dari antrean memanggilnya.

“Rani! Maharani?”

“Rama.” Rani menyebut nama pria itu, lembut, lalu mematung. Dialah satu-satunya alasan Rani melanjutkan S2 alih-alih menolak perjodohannya. Matanya mengarah ke tangan Rama, kiri ke kanan. Ia bersyukur tak menemukan yang dicarinya. Tak ada cincin melingkar di jari-jari itu. Ini harinya.

“Apa kabar?” Rani ingin sekali menjawab bahwa ia tak pernah merasa sebaik hari ini. Bahwa ia sangat menunggu pertemuan ini.

Rani sedang menata kalimatnya saat seorang anak yang sedari tadi memerhatikan mereka menginterupsi, “Siapa tante ini, Pa?”

“Ini Tante Rani, teman kuliah Papa.”

Rama mengenalkan Rani pada anaknya. Rani mematung, lagi. Masa lalu punya caranya sendiri untuk kembali.


-ndigun-

Rabu, 01 Desember 2010

Different

As usual, Jarwo always tell a lot of stories every time he had a chance to see Kodrat. This time it’s about Lani, the girl-next-door that he had crush on.

“I’m confused, Drat. Lani’s playing hard to get. Sometimes she was extremely attentive but in other time she just acted like I didn’t exist.”

“Oh come on, don’t force it! You and Lani have different beliefs anyway.”

“What is the difference? We have the same religion. We’re both Islam. We also have the same race.”

“The different is very clear. You believe that she loves you but in other way she doesn’t!”

“Damn! I thought you were serious.”

“I was serious. Is belief just refers to religion?”

Jarwo lost his words. Kodrat smiled. He knew that Jarwo always wake after dawn.

Depok, 2010

Minggu, 28 November 2010

Pulang


hari terakhir bulan merah jambu tahun kabisat
pada gugusan ilalang gersang di utara kota
senyummu menggeliat
di bawah matahari yang terluka

gerakmu menasbihkan kemasygulan dunia kini
genit lincah kesana kemari
tak peduli matahari sedang luka
inginku kau kubawa pulang saja

sore bergerak mengiringi matahari ke ufuknya
pada sebuah restoran bergaya Perancis kau menyanyikan lagu luka
aku tahu lukamu tak sebolong matahari siang tadi
tak semerunduk petani gagal panen padi

kau sudahi alunanmu pada lagu ketiga
gincumu masih memerah, semerah luka

ingin kuhapus kepalsuan bibirmu dengan sebuah romansa
inginku kau kubawa pulang saja

Minggu, 28 Pebruari 2010

Sabtu, 27 November 2010

Buat Apa Menghujat Matahari?


Selamat malam, Biru. Kepala ini
lebam isinya. Apa kau tahu sebab
semesta muram? Siapa
sedang berusaha memakamkannya,
perlahan?

Ia tak pernah cemburu. Tidak ada
pamrih. Tiada mengeluh. Terima
kasih, peluh.

O, aku lupa. Pun Ia tak
ada pernah berniat
sombong. Bukan Ia si pembuat hati
berongga, sombong. Si penguap barisan
kata yang tertunda ucap, pun bukan Matahari.
Mungkin lainnya, mentari.

Mentari kerap pergi,
diam-diam. Beranjak. Matahari bergerak.
Tak pernah benar-benar berjarak.
Ia, yang setia, mengamini
bait-bait para pendoa.

Hari masih separuh saat gelap
bergulir. Lusinan doa terapal,
cepat-cepat. Mengiringi Matahari,
lambat-lambat.

Tak akan ada Ia lagi
setelahnya.


Depok, 2010

Selasa, 16 November 2010

Saya dan Kompasiana: Ruang Bebas Terbatas


Tertulis tanggal 15 Januari 2010 di halaman profil akun Kompasiana saya. Ini berarti sudah 10 bulan saya berkutat dengan sebuah portal yang menyebut diri sebagai jurnalisme warga. Saya ingat betul bagaimana saya berkenalan dengan Kompasiana. Saat itu, pertengahan Januari, saya sedang membantu adik saya mencari data untuk kelengkapan tugas sekolahnya. Salah satu dari sekian banyak hasil pencarian di Google menautkan saya ke Kompasiana. Saya perhatikan, saya baca, saya menggumam “It’s the place I should be at”. Seperti menemukan tempat yang tepat, saya masuk mantap, tanpa gelagap.

Saya, Kompasiana dan Orang-orang Hebatnya

Selang beberapa minggu saya meracau di Kompasiana, seorang kompasianer Jogja, Adityo, mengenalkan saya pada kawan-kawan Anggurmerah. Saya yang berusaha mengerti tag “anggurmerah” dan kemudian merasa satu visi dengan mereka, akhirnya bergabung bersama muda-mudi absurd nan cemerlang dalam tag tersebut. Mereka adalah kaum muda dengan buah pikir yang luar biasa, menurut saya.

Akhir Januari, ada info soal kegiatan kopi darat (kopdar) para kompasianer di Taman Ismail Marzuki. Dengan maksud ingin mengenal orang-orang hebat yang wara-wiri di Kompasiana, saya memutuskan hadir meski masih menjadi anak bawang. Entah kenapa, saya merasa paling muda saat itu, haha. Hari itu berakhir dengan obrolan panjang di rumah Paman Syam. Senang sekali bisa bicara banyak dengan para tetua Kompasiana di rumah Ibu Kita itu. 

1289675160670702849
Kopdar di Taman Ismail Marzuki

Setelahnya, saya kerap hadir di pertemuan-pertemuan baik yang diadakan admin, Monthly Discussion, maupun sekadar kopdar lesehan yang digagas mandiri oleh teman-teman Kompasiana. Mengenal banyak orang dengan segala rupa karakter dan pemikiran yang tak pernah sama adalah berkah bagi saya. Sayangnya, pertemuan dengan mereka selalu dibatasi waktu. Saya kira ini penting, karena komunitas maya tidak sama dengan dan kadang lebih nyaman ketimbang komunitas nyata di beberapa bagian. 

Jumat, 22 Oktober 2010

Menulis Jodoh


Ada sesuatu di matanya yang entah apa.
Sesuatu yang belum aku tahui bentuknya.
Mata coklat bening itu, menghanyutkan.

Selama ini aku terlalu sibuk memaksimalkan logikaku demi menata hari depan seperti yang dimaui ibu. Pikiranku dipenuhi berbagai cara untuk mencapai apa yang disebut ibuku kemapanan. Entah sudah berapa lama aku mengabaikan mau hati karenanya.

Di seusiaku, laki-laki sudah berkali-kali berganti pasangan. Mereka bilang itu kesenangan. Beberapa bilang itu tuntutan perasaan. Aku bahkan belum pernah merasakan yang mereka gunjingkan. Padahal, aku tak terlalu buruk untuk dijadikan pilihan.
***

“Aku pulang.” Joko membuka pintu dan menebar pandangannya ke seisi ruangan. Tak didapati yang ia cari.

“Sayang, kamu dimana?” tanyanya setengah berteriak, memastikan suaranya terdengar oleh yang disapanya. Joko terduduk di kursi jati di ruang tamu, melepas sepatu. Melepas peluh setelah delapan jam bergumul dengan pekerjaannya.

“Aku di kamar, sayang. Baru selesai mandi.” terdengar jawaban, samar.  Tak menunggu lama, Joko bergegas menuju sumber suara. Pintu kamar terbuka dan dilihatnya si asal bunyi sedang mematut diri di depan cermin. Seperti biasa, kekasihnya terlihat mengagumkan, untuknya.

“Kamu capek, ya? Sini duduk di sampingku.” sisir masih di genggaman sang kekasih saat Joko mendekat dan duduk merapat di atas dudukan kayu. Kini keduanya menghadap cermin. Kecupan mendarat di kening.

Joko meregangkan dasi abu-abunya. Terbuka dua kancing kemeja setelahnya. Wajahnya terlihat lebih sumringah ketimbang jam pulang kerja hari-hari sebelumnya. Selalu ada keluhan tentang ini itu anu yang dibawanya ke rumah selepas pukul lima, tapi tidak hari itu.
***

            Hari itu, kusempatkan mengeluh pada ibu. Keluhan tentang cemooh orang-orang terhadapku. Cemooh tentang calon perjaka tua kesepian. Cemooh tentang kemungkinan ketidaknormalan seksual. Tahu apa mereka tentangku? Mereka mengucap aku begini, aku begitu, seolah mereka hakim kehidupan rasaku. Seolah mereka adalah yang paling benar dalam kenormalan yang mereka yakini.

Kamis, 21 Oktober 2010

Angka

Berapa yang kau miliki,
lainnya tak miliki?
Bagaimana mereka menjadi penting,
sementara kalkulasi belum berakhir?
—————————
Depok, 2010

Jumat, 15 Oktober 2010

Buku Pertama: Kejutan!


Ini berkah, saya sumringah.
Maaf jika mengganggu waktu kalian, semoga tak jengah :)

Saya ingin berbagi kabar bahagia. Setidaknya ini membahagiakan saya. Semoga juga bisa membahagiakan teman-teman semua. Begini, saya ini gemar menulis. Apapun, jika sempat, pasti saya tulis. Nah, kegemaran saya ini menjadi hal yang sulit dihentikan. Banyak kata tercecer di tempat sembarang. Seperti hidup yang memiliki arsip bernama kenangan, pun saya ingin memiliki arsip dari lembaran-lembaran yang pernah saya tuliskan. Beruntung ada kesempatan dari nulisbuku.com dan Mizan Digital untuk membuat racauan saya terbaca oleh banyak mata. Ini, buku pertama saya:


Judul                 : Kejutan
Jenis                 : Kumpulan Prosa
Penulis              : Andi Gunawan
Editor               : Andi Gunawan
Sampul             : Pungky Prayitno
Halaman           : 68 Halaman
Penerbit            : Opera Aksara (melalui nulisbuku.com)
Harga               : Rp 30.000,-

Aku masih bersyukur sembari menunggu Lima terpukul. Bersyukur dalam gaung paling merdu yang serta-merta Kau hentikan dengan getaran telepon genggam. Anak bungsu ibuku dalam jaringan “Mas, ibu sakit. Cepat pulang.” Kenapa kau gemar sekali memberi kejutan, Gusti?

Senin, 11 Oktober 2010

Angin


Sarapan

“Aku tak mau tinggal di gorong-gorong.” Kalimat Slamet memecah lamunan Utok tanpa aba-aba. Kalimat pertama setelah keduanya lama terduduk diam berjamaah. Mata mereka menuju ke segala arah. Resah. Utok masih tak bisa lupa kejadian pagi tadi. Sarapan paling getir yang pernah ditemuinya.

Matahari masih hangat saat Bang Maul datang menggendang-gendang pintu kontrakan. Petak persegi tanpa kamar mandi. Ruang tempat mereka berbagi. Berbagi tikar untuk mengendapkan peluh mereka pada malam. Berbagi cerita tentang Mbak Mir yang binal. Berbagi polutan tembakau kemasan. Berbagi Tuhan.

Bang Maul datang seperti biasa, berkaus putih dengan lilitan sarung pada perut sapinya. Tanpa kata pengantar, ia langsung mengucap pokok bahasan. Berteriak. Menyalak. Menyoal uang kontrakan yang sudah tiga bulan belum terbayar.

“Pokoknya saya ndak mau tahu! Tak tunggu itu duit malem ini, atau kalian harus angkat kaki dari sini besok pagi. Jangan dikira saya ini departemen sosial yang mau gratis kasih tempat tinggal. Mereka kasih gratis juga setelah bagi komisi!!!” 

Tiga bulan uang kontrakan. Enam ratus ribu rupiah sebelum malam. Nominal yang membuat Utok dan bapaknya hilang akal. Membuat mereka lupa sarapan. Bahkan tak ingat soal makan malam yang terlewat entah sejak kapan. 

Sebulan lalu, keduanya masih berpenghasilan. Utok jadi buruh di pabrik tahu Mang Idin. Bapaknya masih setia keluar-masuk gang mengumpulkan plastik-plastik bekas kemasan minuman. Hampir sebulan Slamet tak lagi keliling. Kakinya dicium beling di dekat poskamling. Tetanus.

Minggu, 10 Oktober 2010

Haiku: Hilang



1/
rasanya hambar
ada luka terbakar
hilang sabar

2/
menyoal kekal
daun gugur terjungkal
hilang akal

3/
ukir kenangan
tertinggal pesan kesan
hilang tangisan

4/
terbentur doa
sudah habis percuma
hilang nyawa

5/
menu di meja
mayat dalam keranda
hilang rasa

Depok, 2010

Sabtu, 09 Oktober 2010

Beda Keyakinan



Seperti biasa, Jarwo selalu bercerita banyak hal setiap kali ada kesempatan bertemu Kodrat. Kali ini tentang Lani, gadis tetangga yang ditaksirnya.

“Gue bingung, Drat. Lani tarik ulur gue melulu. Kadang dia perhatian banget, tapi ngga jarang dia nyuekin gue.”

“Udahlah, ngga usah dipaksain. Lo sama Lani tuh beda keyakinan, Wo.”

“Beda gimana? Kita seagama kok, sesuku juga.”

“Jelas bedanya. Lo yakin lo suka sama Lani tapi Lani ngga yakin suka sama lo.”

“Sial! Gue kira lo serius.”

“Gue serius kok. Sejak kapan keyakinan cuma sebatas agama?”

Jarwo tak menjawab. Kodrat senyum-senyum sendiri disampingnya mengingat Jarwo sering bangun tidur setelah Subuh.

Depok, 2010 
------------------------------
*Versi Bahasa Inggris tulisan ini berjudul "Different" menjadi salah satu dari 12 Top Rated English Category of Flash Fiction Challenge by Ubud Writers and Readers Festival 2010

Jumat, 08 Oktober 2010

Tuli



Aku ingin ke Utara.
Beberapa jenak ke Selatan, 
ke Timur, 
ke Barat. 
Kau bungkam di Pusat suara.

Semua hilang.
Semua tak ambil dengar.
Seperti pasti nisan mengacuhkan 
lagu-lagu kematian.

Senyum tak lagi tertuju, 
buatku. Telinga merapat bagi kalimatku
Suara, punyaku, 
serupa kosong. Dunia tak berhenti sombong

Depok, 2010

Kamis, 07 Oktober 2010

Terima Kasih


Kepada Tuhan, 
zat tunggal penguasa isi semesta dan segala pergerakannya yang penuh kejutan. Terima kasih untuk ini itu anu, segala rupa dalam hidupku. Kau Maha Keren!

Kepada Ibu, 
pandita ratu kerajaanku. Terima kasih untuk segala mantra sakti terbaik yang selalu tertuju padaku. Maaf telah membuat resah menyoal hari depanku.

Kepada Bapak, 
pendengar setia setiap kata. Meski kadang menjengkelkan, aku selalu sumringah untuk setiap aminmu atas segala doaku.

Kepada Sedarah, 
perempuan-perempuan hebatku. Mbak Tuti, Mbak Iin, dan si bungsu Ani. Apapun ulahmu, apapun ulahku, Kita satu. Terima kasih untuk segala percaya yang tak ada habisnya.

Kepada Sahabat, 
para pemberi semangat tanpa jemu. Terima kasih untuk hari-hari aneka rasa. Semoga kalian tak bosan dengan setumpuk keluhku. 

Kepada Guru, 
manusia-manusia terpilih tanpa pamrih. Terima kasih atas semua jawaban akan tanda tanyaku. Untuk semua ikhlas yang tak bisa kubalas.


Depok, 2010

Rabu, 06 Oktober 2010

Tersesat

nama-nama melayang
lupa jalan pulang
dagu-dagu meninggi
lepas diri
dada-dada membusung
mirip linglung

Depok, 2010

Selasa, 05 Oktober 2010

Menghunjam


Ada yang menghunjam. 
Di kepala. 
Di sekitar dada. 
Merata. 
Ini bukan yang kusebut rindu. 
Hanya saja, namamu enggan pergi dari pikiranku.

Aku hilang. 
Hilang kata. 
Kata kamu. 
Kamu Kata. 
Kata hilang. 
Hilang aku.

Aku menolak menyebut ini rindu. 
Mantap tanpa gelagap. 
Sesuatu ini menghujam sampai paru. 
Sepertinya aku sedang meratap.

Depok, 2010

Senin, 04 Oktober 2010

Kamu



Malam ini kuberi nama Abu-abu. 
Bukan kelabu. 
Ini syahdu. Beberapa jenak 
menggantikan tempat si sendu Biru. 
Aku mau kamu!

Ikat aku dalam mantra tersaktimu. 
Serupa penyihir, 
jadikan aku kekal 
dalam maumu. Sekekal doa 
anak bagi ibu. Sekekal egomu.

Depok, 2010

Minggu, 03 Oktober 2010

Hampa


Aku, mimpi yang malamnya kau curi.
Aku, bilik yang atapnya kau curi.
Aku, kejutan yang kotaknya kau curi.
Aku, doa ibu yang aminnya kau curi.
Aku, sungai yang muaranya kau curi.
Aku, kotak virtual yang koneksinya kau curi.
Aku, gravitasi yang tempat jatuhnya kau curi.
Aku, semesta yang langitnya kau curi.
Aku, opera yang epilognya kau curi.
Aku, sajak yang diksinya kau curi.
Aku, spasi yang lembarannya kau curi.
Aku, jawaban yang tanda serunya kau curi.
Aku, bayi merah yang tangis pertamanya kau curi.
Aku, skripsi yang bab limanya kau curi.
Aku, tembakau kemasan yang adiktifnya kau curi.
Aku, keajaiban yang Jibrilnya kau curi.
Aku, gugup yang gelagapnya kau abaikan.
Aku, arteri vena yang celahnya kau sumbat.

Depok, 2010

Catatan Malam Ruang Persegi

lampu neon

remang-remang temaram. menggantung
mengalahkan kunang-kunang terbang
ke awang-awang
—————

jendela

kaca-kaca. besi berkarat
bertautan di bawah malam pekat
setia sepakat
————

ranjang

guling. bantal-bantal berhamburan
seprai penutup pagutan
menghindari kenangan

Sabtu, 02 Oktober 2010

Patah Tiga

aku bertahan
di tengah ruang sempit yang kau berikan
di antara rasa-rasa yang singgah bertautan
entah mimpi atau aku buta kenyataan

aku akan bertahan
saat kalimatmu mulai mematikan langkahku
saat hatimu mulai terbagi dengannya denganku
aku rapuh tak tahu apa yang kau tuju

aku tetap bertahan
meski akhir itu nanti tetap datang
meski daun runtuh tak lagi setia pada sang dahan
karena hanya padaku nanti kau kembali pulang

Jumat, 01 Oktober 2010

Pancakini


1. Kenegaraan yang Maha Resah.
2. Kemanusiaan yang Tak Adil dan Cenderung Biadab.
3. Ketidakbersatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Plesiran dalam Kemangkiran dan Tak Terwakilkan.
5. Kecemasan bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
*Selamat Hari Kesaktian Pancasila. 
Atau Hari Kelemahan Pancasila? #eh#

Kamis, 30 September 2010

Klakson



kata mereka:

bunyinya hingar bingar tak keruan:
menasbihkan penghabisan;
menggulung luka perlahan;
menggaungi awan-awan;
melengking melengkung kiri kanan;
membulatkan dua bibir menawan;
membebaskan sesak berkepanjangan;
menuntaskan sebentuk penantian;
merahasiakan ruang terakhir persinggahan;
merangkul semesta bertuan;
menggenapi gakari Sang Rupawan.

------------------------------------

Depok, 2010

Rabu, 29 September 2010

Terkenang


pada celah itu, kita satu
tapi kau dan aku sama tahu
tak bisa sejalan selalu
sekarang kaku

seperti tumbuhan bercabang
seperti anak-anak ayam
aku kiri kau kanan menjulang
ada bagian dari hati yang lebam

aku kertas dengan garis tak beraturan
kau penulis yang bermusuhan dengan penghapus
mau kita bagai simpangan
dan jalan ini tandus

---------------------------
Depok, 2010

Selasa, 28 September 2010

Kesan-Kesan untuk Kamu



Aku terkesan padamu sejak lagu pertama yang kaunyanyikan malam itu. Syahdu. Aku terkesan padamu sejak konsensus makan malam pertama itu. Aku terkesan padamu sejak percakapan pertama setelah menahun melihatmu, malam itu. Aku terkesan padamu sejak kali pertama berada sejarak satu kursi dalam perjalanan pulang malam itu. Aku terkesan padamu sejak kau tampak sangat menawan dalam seragam cokelat itu.

---------------------------------
Depok, 2010

Senin, 27 September 2010

Rindu


adalah
saat tak ada lagi dendangan Ibu sebelum lelapku
adalah
saat hujan menghalangiku menemuimu
adalah
saat menu terbaik tersaji dan aku hanya bersama lilin di meja makan
adalah
saat doa-doa bersarang di awan

---------------------------
Jakarta, 2010

Minggu, 26 September 2010

Bias


hujan mengaburkan suaramu
dan jarak pandangku
kita serupa pasangan tuli-bisu
tak menyatu dalam lagu

pelangi, usah kaubiaskan Ia
untuk menemaniku dalam hangat sesapan kopi Ibunda
seusai hujan mendera
Si Putih berikrar setia

-----------------------------------


Jakarta, 2010

Sabtu, 25 September 2010

Akrostik: Salah


:Putri Sakinah

Seumpama manusia serupa kata, diksi adalah tingkahnya, rupa-rupa, sembarang tak melulu seirama. Adalah makna yang tak dimiliki kata, ia mencarinya sendiri dalam sejuta ambiguitas duniawi. Lantas, usahlah sendu ketika diksimu tak sejalan mau kerangka aksara. Adalah lumrah, adalah biasa, adalah sudah jangan kau sesali dalam panjang alinea sesudahnya. Habis titik, semailah frase baru pada lembaran kekinianmu, karena lalu adalah guru.

Depok, 2010
-------------------------------------------

*Akrostik adalah puisi atau bentuk tulisan lain dimana huruf, silabus atau kata pertama dari tiap baris atau paragraph mengeja sebuah kata atau pesan, biasanya sama dengan judul.

Jumat, 24 September 2010

Hari #11: Tabung Gas Meledak, Dua Orang Tewas


Hari itu Minggu, pukul tiga sore. Saat ibu sedang mencari alkitab di almari,.Saat bapak sedang di kamar mandi membasuh diri sembari bersenandung lagu masa kini. Saat aku sedang mencari korek untuk mambakar rokok; sebatang lumayan untuk teman mengantre kamar mandi, aku meyakinkan diri. Saat pendeta sedang menyusun khotbah untuk pukul lima nanti, kutemukan korek di atas lemari pendingin di ruang belakang dekat dapur lalu kupantik.

Rumah mengejang. Perabot terlempar tak tentu arah saling bentur. Bara rokok menjelama siluman api menerjang mukaku menjalari sampai kaki, memberangus sekeliling tanpa permisi dan kudengar suara ibu berteriak lalu tak ada suara lagi. Bapak berlari dengan seember air yang terasa surga saat bapak menumpahkannya ke tubuhku. Bapak mencoba memapahku yang melepuh dan bergetar. “Ibu” sempat kuucapkan di telinga bapak dan kulihat bapak ambil langkah seribu seperti mencari sesuatu lalu tak kulihat apa-apa lagi kecuali gelap.
Depok, 2010

Kamis, 23 September 2010

Hari # 10: Darah Muda


Dara, 10 tahun, mengamuk setelah seminggu tak mau bicara. Anak itu berteriak nyalang melihat adegan seorang pria merayu lawan mainnya dalam layer kaca. “Bapak jahat! Bapak jahat!” repetisi kata yang membingungkan Sri, ibunya. Entah butuh berapa jam lamanya, Sri akhirnya berhasil menenangkan anak semata wayangnya. Dara berkeringat luar biasa. Sri mengganti bajunya dan mendapati celana dalam anaknya bercorak merah darah. Suaminya sudah seminggu tak pulang dengan alasan ke ibu kota mencari nafkah.

Rabu, 22 September 2010

Gadis Desa


Dari balik punggung yang menunduk. Di sela air mata yang tak pernah reda sejak hari itu kudengar ibu terbata-bata mencari kata penjaga di antara tentetan kata milik pemuka desa dalam lakon hakim ternama “Kau harus keluarkan Gadis dari desa cepat-cepat!” seru orang terdepan diikuti suara-suara kepala-kepala yang berjejal di belakangnya, mengiyakan. 

“Bukankah seharusnya anakmu yang dikebiri? Toh, tak akan pernah ada kembang biak tanpa jasa penabur benih.”

Selasa, 21 September 2010

Dialog Senja 2


Tuhan

“Kemana saja kau?”
“Berkelana”
“Apa yang kau cari?”
“Dia”
“Bodoh! Dia ada di dalam sana.”
“Dimana?”
“Cermin.”

-------------------------------------------------

Kelamin

“Apa itu kelamin?”
“Sesuatu yang licik.”
“Selicik apa?”
“Ia selalu punya celah untuk mendominasi”
“Apa?”
“Mendominasi norma.”

----------------------------------------------------

Surga

“Amin.”
“Kau berdoa?”
“Bersyukur.”
“Atas apa?”
“Aku masih bisa cium tangan ibu.”
“Kaki?”
“Itu bukan urusanku.”

----------------------------------------------------

Abu

“Ada yang marah.”
“Siapa?”
“Ibu, kucuri gincunya.”
“Buat apa?”
“Aku hanya ingin sedikit berwarna. Salah?”

----------------------------------------------------
[AG, Depok, September 2010] 
*Dialog Senja #1

Senin, 20 September 2010

Dialog Senja


Atas Nama Tuhan

“Apa yang kau imani?”
“Kesendirian.”
“Kau benci manusia?”
“Tidak.”
“Lalu? “
“Aku terlahir dan akan mati sendiri.”

—————————————

Atas Nama Cinta

“Aku cinta.”
“Aku muak.”
“Muak apa?”
“Cinta!”
“Sejak kapan kau mati rasa?”
“Sejak kapan matamu membeku?”

—————————————

Atas Nama Ibu

“Kau sakit jiwa!”
“Mungkin.”
“Cuci otakmu”
“Deterjen?”
“Ibumu.”
“Cuci mulutmu!”

----------------------------
Depok, 2010