Sabtu, 11 September 2010

Sekata Tiga Aksara

Saya sedang merindu dia yang bernama satu kata dan hanya tiga aksara.
Kenangan aneka rasa terikat di kepala.
Lekat./

Saya tahu dia dulu hanya memanfaatkan keanehan saya,
tapi saat itu saya ikhlas dimanfaatkan aneka rupa./

Naik motor usang punyanya,
makan sate malam buta,
pergi berdua ke sinema,
curi-curi dari mereka.
Dia nakal tapi saya suka./

Matanya selalu menggoda.
Saya selalu suka melihatnya berolah raga.
Berkeringat.
Memikat./

Saya ingat bagaimana ciuman pertama kami.
Dia bilang tak sengaja.
“Jangan bilang siapa-siapa” jadi kalimat keduanya. /

Dia tak pernah marah setiap kali saya peluk dari belakang di atas motor bapaknya.
Sayangnya tak berlangsung lama./

Dia gemar memamerkan bentuk perutnya.
Atlet sekolah idaman wanita.
Mereka tak pernah tahu soal kami berdua./

Ciuman kedua jadi yang terakhir, di tangga lantai dua sekolah.
Di lantai satu pacarnya menggigit bibir.
Dia pintar mencari celah./

Setelahnya,
dia berlakon mirip orang asing.
Salah tingkah.
Saya cuma bisa senyum garing.
Berusaha tetap ramah./

Oke!
Sudah menahun tak melihatnya.
Entah kena apa di kepala ini hanya ada satu nama tiga aksara.
Errgh! /

Tebal alis di atas matanya.
Kedua bibir penuhnya.
Tahi lalat yang entah dimana.
Saya merindu semuanya, pria pertama./

Teman saya bilang dia hampir mirip Collin Farrel,
aktor Irlandia dengam citra ‘bad boy’.
Yes, He was my bad boy./

Saya tak pernah simpan nomornya di daftar kontak ponsel saya.
Terpaksa menghafal alih-alih menutupi dari sekitar./

Dia menyimpan nomor saya dengan nama ‘Dara’ di ponselnya.
Saya tak pernah minta tapi dia pintar bersandiwara./

Saat hari mulai membosankan,
saya kirim pesan pendek padanya.
Setengah jam kemudian dia sudah menunggu di persimpangan./

Kami gemar keluar setelah gelap,
alih-alih menghindari jarak pandang mereka yang kami kenal./

Dia selalu tanya kabar mantan pacarnya yang adalah teman saya.
Saya selalu jawab sambil bersungut-sungut.
Dia terkekeh manggut-manggut./

Dia suka nonton.
Dia suka kopi.
Saya suka dia dan keduanya.
Masih saya simpan tiket pertama kami.
Mugkin tak bernilai tapi berarti./

Ada yang curiga soal kami,
masa bodoh tak ambil peduli.
Ini soal nyaman bukan aman,
tapi dia mulai keberatan./

Dia punya pacar baru.
Lucu dan ayu.
Saya dikenalkan.
Saya tak keberatan.
Kami tetap pasangan./

Setelah adegan kamar mandi sekolah dia menghilang ke lain kota untuk turnamen kebanggaan.
Kepulangannya tak pernah berkabar./

Dia serupa tertelan gelombang tak bernama.
Hilang.
Dia resmi menjadi kenangan.
Sekarang, saya sedang mengenangnya./

Sempat tak sengaja tatap muk di bis kota dan pusat belanja.
Dia berdua dengan pria entah siapa.
Saya cemburu./

Saya tak pernah cemburu sebelumnya karena pasangannya selalu wanita.
Kali itu saya kecewa./

Dulu, saya menyebutnya ‘gay on the closet’.
Mungkin sekarang dia lebih terbuka cari nyaman, atau entah apa.
Saya sempat marah./

Terakhir bicara,
dia sudah menikah karena ada anak gadis diperawaninya.
Saya lega.
Dia tak berakhir pada pria./

Saya senang mengenang bahunya pernah jadi tempat ternyaman untuk menguapkan lelah.
Menguapkan pura-pura./

Saat itu,
hanya kepadanya saya bisa berhenti pura-pura.
Dia tak terlalu perhatian,
tapi berusaha mengerti./

Dia hanya bernama satu kata dengan tiga aksara.
Dia adalah KAU yang tak pernah hilang namanya di kepala ini.//

---------------------------------------------
Depok, 11 Agustus 2010
*dirangkum dari hashtag #sekata3aksara –curhat membabi buta di Twitter saya [@ndigun]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar