Kamis, 03 Juni 2010

Ganjil

Ibu, masih ingat dulu aku merengek minta diajak ke layar lebar? Ada film yang teman-temanku ramai gunjingkan. Ibu mengiyakan pintaku dan aku sumringah berkepanjangan. Senangnya bukan kepalang. Setelahnya, aku merengek minta dibelikan kaset yang berisi lagu-lagu dalam film itu. Ibu mengiyakan. Aku senang bukan kepalang. Kita putar kasetnya saat hampir petang, bapak belum pulang mungkin sedang menyambangi si jalang. Tenang, berdua saja denganmu aku sudah senang. Senang bukan kepalang. Senang berkepanjangan.

Satu lagu itu aku pinta ibu putar berulang. “Lagi ibu, lagu itu lagi!”. Ibu mengiyakan, setia menemaniku mendengarkan berulang-ulang. Kita tak hanya mendengar. Kita berandai-andai berkepanjangan. Andai aku besar nanti. Andai aku besar nanti*. Andai aku besar nanti. Ibu setia mengamini andai-andaiku yang panjang. Mengandai berulang-ulang. Aku senang bukan kepalang. 

Maaf, ibu. Aku belum sempat menggenapi andaianku padamu di sebesar ini. Bukan, bukan karena aku terlalu dimanjakan bapak yang berlaga bak penguasa kerajaan. Bukan karena aku sibuk gonta-ganti pasangan. Bukan karena aku mengandai setinggi-tinggi awan. Bukan karena saudara-saudaraku lebih membanggakan. Aku tahu ibu sering menangis meringkuk di ujung ranjang. Bukan karena kedinginan. Lantaran para pendahuluku bermain terlalu jauh dari simpangan. Boleh kuberi mereka satu-dua tamparan? 

Maaf, ibu. Aku sempat membuatmu merasa bersalah berkepanjangan karena belum sempat menggenapi andaianku sendiri di sebesar ini. Membuatmu kerap mengantarkan maaf yang tak perlu. Harusnya aku tahu ibu tak pernah merengek menyoal kapan andai-andai itu jadi benar-benar. 

Maaf, ibu. Aku sudah berada lebih jauh simpangan daripada para pendahuluku yang ingin kutampar dulu. Kalau ibu mau beri aku tamparan, aku tak akan mengelak barang segerakan. Nyatanya aku tak seistimewa yang ibu andaikan.



*Judul salah satu lagu yang gemar kuputar berulang-ulang milik Sherina.
————————————————————————-
A –anak lelaki Sum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar