Tampilkan postingan dengan label sajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sajak. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Januari 2011

Supremasi Tuhan


malam menjelma rasa tak terarah
sebentuk hangat yang entah, 
gairah gundah

kopi menjelma asam termasam
memaksaku beranjak melupakan malam
menggapaimu yang entah di mana: tenggelam

remang neon menjelma gelap terpekat
menyadarkanku dari harap yang sekarat
tentang dunia, Engkau, dan aku terikat

AG, Januari 2011

Selasa, 04 Januari 2011

Keris


Ken Arok, Mpu Gandring jadi lawan tanding
bertarung diringi gending-gending
jangan kira berebut perempuan ayu bermahktota sanggul
dengan lilitan jarit pada pinggul
berdua berdarah
tulang-tulang patah
demi pusaka alam raya terukir
lebih dari sekedar mantra-mantra pembuat sihir
besi-besi terpahat api wong kentir
panas tajam menghunus lambung raja-raja mangkir
mati meninggalkan singgasana pesona
para jelata pesta pora
keris kembali pulang ke sarungnya


-AG-
Kantor, Condet, 15 Pebruari 2010

Komposisi Sri


ia siapkan caping: tudung kepalanya mulai tumpul di atas
tubuh kerempeng berkulit keriting belang warnanya
bukan ia takut pada surya yang sinarnya sesekali terlalu menyengat
hanya ia tak mau silau itu kian merontokan
beberapa helai yang memutih sebagian

dengan cangkul,
ia membuat adegan paling ramah dengan tanah
gembur berlumpur berselaput daki kakinya
dewa air mulai kikir, pikirnya
meski kerap menghujani bertuibi-tubi
menghalangi sang induk mengecup si buah hati

ia sempatkan menyalangkan mata pada semesta
menyoal cuaca di antara gugusan awan di tengah sebuah koneksi
pada rahim alam ia mengucap: semoga
mengharap sebuah musim

di belahan lainnya,
seorang ia tak pernah mengharap
tak pernah berucap: semoga
tak pernah mengadu kaki tangannya pada tanah berlumpur
ia kantungi butiran-butiran bersihnya dalam kantung-kantung besar
diambilnya sebagian
dicucinya sebagian
dimasukannya sebagian pada penanak tak berapi
matang,
tanpa nyalang mata mengharap sebuah musim pada semesta
———————–
[Andi Gunawan - 28 Juni 2010 ]
*bisa dibaca juga di Kumpulan Spasi

Sabtu, 25 Desember 2010

Sunyi Sepi Abu-abu


sunyi adalah bunyi hati
saat menu terbaik di meja makan tersaji
dan kau tersesat tak kembali.

sepi adalah warna yang tersapuh
pada malam saat kau gamit gemintang
melepas aku yang temaram

abu-abu itu aku
saat kau bilang rindu
dan tak ada ketukan di pintu

-----------------------

Depok, Natal 2010

Kangen

menghadap cangkir keempat
kafein dalam kemasan
mungkin ini candu
kukira ini dahaga akan sesuatu
Kamu


-ndigun-

Rabu, 22 Desember 2010

Sumiati


Ibuku suka mawar.
Ibu seperti mawar.
Wangi doanya tak tertawar.
Tajam nalurinya nyaris selalu benar.
Ia sinar.

Ibuku gemar menyapu.
Tak suka lantai berdebu.
Tak suka kami berair mata sendu.
Tak suka kami berdarah barang sekuku.

Ibuku tak bisa menari.
Tak bisa menyanyi.
Ia biarkan kami menari setinggi matahari.
Bernyanyi selantang dewa-dewi.
Kami terberkahi.

Ibuku tak terpelajar.
Tak suka belajar.
Ia mahaguru tanpa gelar.
Ia pengingat salah benar.
Ia menilai dengan sabar.

Ibuku bukan santri.
Ibuku jarang mengaji.
Ia percaya dosa tak berciri,
pahala tak terbeli.
Ia kitab tanpa predikat suci.

Ibuku tak selembut salju,
tak sekeras batu-batu.
Saat kami belum juga mengetuk pintu,
ia di sana setia menunggu.

Ibuku tak semenyala api,
tak seputih melati.
Tanpa pamrih memberi.
Tanpa lelah mengamini segala doa kami.
Ia sewarna-warni pelangi.

Ibuku bukan malaikat.
Ibuku bukan besi berkarat.
Ia mencintai tanpa sekat.
Memaafkan tanpa syarat.
Ia tak benci keringat.

Ibuku menanak nasi.
Ibuku membuat sambal terasi.
Ia tak pandai membuat solusi,
tapi selalu mencoba mengerti.
Ia arti.

Ibuku tak menyala dalam gelap.
Ibuku bukan dewi bersayap.
Ia tersenyum, juga meratap.
Buat kami, kapanpun, ia di sana selalu siap.

Ibuku bukan sempurna tanpa celah.
Ibuku berbuat salah.
Demi senyum kami, ia kerap mengalah.
Pendengar setia setiap kisah.
Ia berkah.

Ibuku bukan peri,
pun bukan maharani.
Ia tak bisa ikat dasi.
Meski tak selalu berisi,
kalimat-kalimatnya sepenuh hati.

Ibuku tak punya istana.
Ibuku tak bermahkota.
Saat mata terbuka,
Ia yang pertama,
yang tak habis ujungnya.
Ia cinta.

-----------------------

Depok, 2010
*Sumiati, nama ibuku

Minggu, 28 November 2010

Pulang


hari terakhir bulan merah jambu tahun kabisat
pada gugusan ilalang gersang di utara kota
senyummu menggeliat
di bawah matahari yang terluka

gerakmu menasbihkan kemasygulan dunia kini
genit lincah kesana kemari
tak peduli matahari sedang luka
inginku kau kubawa pulang saja

sore bergerak mengiringi matahari ke ufuknya
pada sebuah restoran bergaya Perancis kau menyanyikan lagu luka
aku tahu lukamu tak sebolong matahari siang tadi
tak semerunduk petani gagal panen padi

kau sudahi alunanmu pada lagu ketiga
gincumu masih memerah, semerah luka

ingin kuhapus kepalsuan bibirmu dengan sebuah romansa
inginku kau kubawa pulang saja

Minggu, 28 Pebruari 2010

Sabtu, 27 November 2010

Buat Apa Menghujat Matahari?


Selamat malam, Biru. Kepala ini
lebam isinya. Apa kau tahu sebab
semesta muram? Siapa
sedang berusaha memakamkannya,
perlahan?

Ia tak pernah cemburu. Tidak ada
pamrih. Tiada mengeluh. Terima
kasih, peluh.

O, aku lupa. Pun Ia tak
ada pernah berniat
sombong. Bukan Ia si pembuat hati
berongga, sombong. Si penguap barisan
kata yang tertunda ucap, pun bukan Matahari.
Mungkin lainnya, mentari.

Mentari kerap pergi,
diam-diam. Beranjak. Matahari bergerak.
Tak pernah benar-benar berjarak.
Ia, yang setia, mengamini
bait-bait para pendoa.

Hari masih separuh saat gelap
bergulir. Lusinan doa terapal,
cepat-cepat. Mengiringi Matahari,
lambat-lambat.

Tak akan ada Ia lagi
setelahnya.


Depok, 2010

Jumat, 08 Oktober 2010

Tuli



Aku ingin ke Utara.
Beberapa jenak ke Selatan, 
ke Timur, 
ke Barat. 
Kau bungkam di Pusat suara.

Semua hilang.
Semua tak ambil dengar.
Seperti pasti nisan mengacuhkan 
lagu-lagu kematian.

Senyum tak lagi tertuju, 
buatku. Telinga merapat bagi kalimatku
Suara, punyaku, 
serupa kosong. Dunia tak berhenti sombong

Depok, 2010

Rabu, 06 Oktober 2010

Tersesat

nama-nama melayang
lupa jalan pulang
dagu-dagu meninggi
lepas diri
dada-dada membusung
mirip linglung

Depok, 2010

Senin, 04 Oktober 2010

Kamu



Malam ini kuberi nama Abu-abu. 
Bukan kelabu. 
Ini syahdu. Beberapa jenak 
menggantikan tempat si sendu Biru. 
Aku mau kamu!

Ikat aku dalam mantra tersaktimu. 
Serupa penyihir, 
jadikan aku kekal 
dalam maumu. Sekekal doa 
anak bagi ibu. Sekekal egomu.

Depok, 2010

Minggu, 03 Oktober 2010

Hampa


Aku, mimpi yang malamnya kau curi.
Aku, bilik yang atapnya kau curi.
Aku, kejutan yang kotaknya kau curi.
Aku, doa ibu yang aminnya kau curi.
Aku, sungai yang muaranya kau curi.
Aku, kotak virtual yang koneksinya kau curi.
Aku, gravitasi yang tempat jatuhnya kau curi.
Aku, semesta yang langitnya kau curi.
Aku, opera yang epilognya kau curi.
Aku, sajak yang diksinya kau curi.
Aku, spasi yang lembarannya kau curi.
Aku, jawaban yang tanda serunya kau curi.
Aku, bayi merah yang tangis pertamanya kau curi.
Aku, skripsi yang bab limanya kau curi.
Aku, tembakau kemasan yang adiktifnya kau curi.
Aku, keajaiban yang Jibrilnya kau curi.
Aku, gugup yang gelagapnya kau abaikan.
Aku, arteri vena yang celahnya kau sumbat.

Depok, 2010

Catatan Malam Ruang Persegi

lampu neon

remang-remang temaram. menggantung
mengalahkan kunang-kunang terbang
ke awang-awang
—————

jendela

kaca-kaca. besi berkarat
bertautan di bawah malam pekat
setia sepakat
————

ranjang

guling. bantal-bantal berhamburan
seprai penutup pagutan
menghindari kenangan

Sabtu, 02 Oktober 2010

Patah Tiga

aku bertahan
di tengah ruang sempit yang kau berikan
di antara rasa-rasa yang singgah bertautan
entah mimpi atau aku buta kenyataan

aku akan bertahan
saat kalimatmu mulai mematikan langkahku
saat hatimu mulai terbagi dengannya denganku
aku rapuh tak tahu apa yang kau tuju

aku tetap bertahan
meski akhir itu nanti tetap datang
meski daun runtuh tak lagi setia pada sang dahan
karena hanya padaku nanti kau kembali pulang

Kamis, 30 September 2010

Klakson



kata mereka:

bunyinya hingar bingar tak keruan:
menasbihkan penghabisan;
menggulung luka perlahan;
menggaungi awan-awan;
melengking melengkung kiri kanan;
membulatkan dua bibir menawan;
membebaskan sesak berkepanjangan;
menuntaskan sebentuk penantian;
merahasiakan ruang terakhir persinggahan;
merangkul semesta bertuan;
menggenapi gakari Sang Rupawan.

------------------------------------

Depok, 2010

Rabu, 29 September 2010

Terkenang


pada celah itu, kita satu
tapi kau dan aku sama tahu
tak bisa sejalan selalu
sekarang kaku

seperti tumbuhan bercabang
seperti anak-anak ayam
aku kiri kau kanan menjulang
ada bagian dari hati yang lebam

aku kertas dengan garis tak beraturan
kau penulis yang bermusuhan dengan penghapus
mau kita bagai simpangan
dan jalan ini tandus

---------------------------
Depok, 2010

Selasa, 28 September 2010

Kesan-Kesan untuk Kamu



Aku terkesan padamu sejak lagu pertama yang kaunyanyikan malam itu. Syahdu. Aku terkesan padamu sejak konsensus makan malam pertama itu. Aku terkesan padamu sejak percakapan pertama setelah menahun melihatmu, malam itu. Aku terkesan padamu sejak kali pertama berada sejarak satu kursi dalam perjalanan pulang malam itu. Aku terkesan padamu sejak kau tampak sangat menawan dalam seragam cokelat itu.

---------------------------------
Depok, 2010

Senin, 27 September 2010

Rindu


adalah
saat tak ada lagi dendangan Ibu sebelum lelapku
adalah
saat hujan menghalangiku menemuimu
adalah
saat menu terbaik tersaji dan aku hanya bersama lilin di meja makan
adalah
saat doa-doa bersarang di awan

---------------------------
Jakarta, 2010

Minggu, 26 September 2010

Bias


hujan mengaburkan suaramu
dan jarak pandangku
kita serupa pasangan tuli-bisu
tak menyatu dalam lagu

pelangi, usah kaubiaskan Ia
untuk menemaniku dalam hangat sesapan kopi Ibunda
seusai hujan mendera
Si Putih berikrar setia

-----------------------------------


Jakarta, 2010

Minggu, 19 September 2010

Di Bus Kota Hari Ini


kutemui Luka menganga
di antara dudukan besi,
berkarat
bilakah Kota mulai sekarat?

kutemui penjaja Hari
dalam celah-celah gerah
kekasih Kota di sedan sebelah
hiasan di kepala, pongah

kutemui aneka wajah
aneka jalan
aneka tujuan
aneka surga, rupa-rupa
satu neraka

-----------------------------------
Jakarta, 2010