Kamis, 27 Januari 2011

Restu


Rosaria tahu waktunya telah tiba. Lima-puluh-tiga tahun cukup untuknya mengabdi sebagai manusia. Ia tak sabar menghadap Tuhannya. Ia takkan memohon surga. Ia hanya ingin berbincang tentang hari-harinya. Tentang suami, putra, dan calon menantu idamannya. Tentang  firman Tuhan yang diabaikan sesamanya.

“Buka alkitabku. Ada yang harus kau baca.” Rosaria sempat berpesan pada putranya, Renhard, sebelum ia benar-benar tak bisa menikmati udara.

Di rumah duka, Karina siap dengan kotak riasnya. Ia menghadap jenazah Rosaria damai dalam senyum terakhirnya. Renhard datang dan memberikannya selembar kertras.

“Karina.
Aku tak mau didandani. Biarkan aku menghadap Tuhan seperti pertama kali menghadap dunia. Imanku, riasanku. Berhiaslah dengan baik saat Renhard menikahimu. Aku akan meminta restu Tuhan untuk kalian.”

Pesan Terakhir Tahun Pertama

 
Hari terakhir bulan pertama tahun ini

Aku masih menunggumu. Sehari semalam sejak kemarin malam. Aku menunggumu sampai bosan itu datang lalu pergi lagi. Aku menunggumu dari terang hingga gelap merajai malam. Kau bilang akan datang malam ini membawa kembang cinta bersama hujan untukku. Kita akan bercinta di ruang persegi milikku dengan irama gendang-gendang hujan. Ini sudah tengah malam. Tak ada hujan. Tak ada rembulan. Hanya gerimis tak romantis yang menyisakan kunang-kunang. Kau tak jadi datang. Kau tersandung bulan yang separuh benderang.

Aku menunggu bukan karena aku harus. Aku menunggumu karena keyakinan kau layak kutunggu. Sebuah pesan pada kartu ucapan selamat ulang tahun yang kau berikan bersama sekotak cokelat kegemaranku berhasil meyakinku. Pesan yang selalu kubaca hampir di setiap bangun dari tidurku. Aku menempelnya di dinding kamar:
Aku tidak sempurna. Kau tidak sempurna. Aku tahu. Tapi tahukah kau? Aku akan jadi satu-satunya orang yang bertahan dan bilang “Kau hebat!” dengan lantang saat ketidaksempurnaanmu diakui semua orang meluluhlantahkan segala pujian.
Akulah orang pertama yang akan dengan senang hati memaafkan saat kau melakukan kesalahan dan semua orang menudingmu bersalah, memberimu kesempatan kedua untuk memperbaikinya dan masih ada seribu kesempatan setelahnya.
Saat bualanmu mulai tak terbukti, tak ada lagi yang mempercayaimu, aku akan tetap menjadi pendengar terbaik untukmu. Saat kau tersandung dalam perjalanan hidupmu, jatuh lalu terinjak, aku akan tetap bertahan memapahmu kembali berdiri menghadapi dunia.
Saat dunia mulai menjauhimu dan kau hanya punya air mata, aku tidak akan membuat jarak sedikitpun denganmu dan tanganku akan segera menghapus air mata itu. Saat tak ada lagi senyuman yang tertuju padamu, bibirku akan tetap memberikan senyuman terbaiknya untukmu.
Saat kau menua dan kelelahan sedang tak ada lagi yang peduli, aku akan tetap ada untukmu dengan bahu yang siap kau jadikan tempat bersandar mengeluh dan aku akan meninabobokanmu tak peduli suara sumbangku.
Satria

Hari pertama bulan kedua tahun ini.
Sehari sebelum genap delapan bulan pergumulan kita.

Kau datang pagi ini tanpa kembang di tanganmu. Keletihan semalam yang kau hadiahkan untukku. Letih sekali hingga aku tak bisa melihat senyummu. Aku tahu kau kemana semalam. Kau bercinta dengannya yang kukenal di perayaan tahun perak kantormu sebulan lalu. Seorang teman kerja mudamu. Aku tahu dia lebih dari sekedar teman yang kerap kau ajak menikmati sesapan kopi seusai jam kerja di kedai favorit kita. Aku tahu kau selingkuh dariku. Aku tahu sejak tak ada lagi senyummu bagiku. Sejak telingamu mulai merapat bagi kalimat-kalimatku. Sejak kau menemukan kembang yang lebih wangi tapi tak lebih indah dariku. Aku tahu aku dimadu. Kurelakan berbagi hatimu dengannya. Berbagi peluhmu dengannya. Berbagi kelaminmu dengannya. Aku bertahan dengan kerelaan yang menusuk tajam paru-paru. Sesak!

Si Anak dari Perempuan Hebat: Sum


Dua orang sahabat mencatatku
-----------------------------------


Dia bicara tentang kodrat saat pertama kali bertemu. Dia tidak memilih menjadi laki-laki, walaupun ada batang penis di selangkangannya. Dia adalah digraf ‘kh’ dalam kata ‘makhluk’. Sekalipun samar, aku melihat jarinya berbentuk pena dan di dadanya ada sinar bertuliskan ‘IBU’.

Di balik virtual, dia bercerita tentang keluarga. Tentang mimpi seorang perempuan tua yang terhambat dia wujudkan, tentang mimpinya sendiri yang dia kesampingkan. Seolah sangat meyakini, bahwa pintu masuk surga benar-benar tersembunyi di bawah telapak kaki perempuan tua itu, yang dia panggil Ibu.

Seperti aku, dia juga suka menyapa Tuhan. Tetapi, ada malaikat bilang padaku bahwa Tuhan agaknya lebih suka berbincang dengannya. “Cerita kalian pada Tuhan serupa tak sama. Kau terlalu muluk tentang jodohmu, sedang dia justru ingin menjodohkan Tuhan dengan ibunya.”

Malam kali pertama aku membuka isi kepalanya. Indah. Dia mahir bermain kata-kata. Masih, dia menyanjung puji keanomalian otakku. Sedang dia bercerita tentang realita, menyajikannya dengan semburat warna. Entah bagaimana, abu-abu pun tak terasa sendu di tangannya. Aku mengagumi itu, berhenti mengeluh dan menerima. Seharusnya dia tidak menundukkan kepala. Angkat topi dan hormat tertinggi untuk keberaniannya melirik ke belakang, tanpa tertatih berjalan ke depan.

Lama setelah itu, dia menceritakan umurnya. Menurutnya, sejak dulu dia sudah dikarbit tak sengaja oleh keluarganya. Astaga! Menurutku, dia neokarpi! Dan bunganya harum dan buahnya ranum. Tiba-tiba saja aku ingin mengganti anggurku dengan kreolin. Aku malu. Kuputuskan untuk tidak bertemu lagi dengannya.

Aku bukan biarawan, katanya. Dosa aku masih punya. Nafsu pun sesekali singgah. Apapun itu, dia laki-laki, istimewa. Rasa lapar dia tangkis dengan jejak-jejak tulisan. Masih sempat dia mendengar beberapa cerita dari kawan, padahal dialah yang paling membutuhkan sandaran.

Aku benar-benar mengganti anggurku dengan kreolin sesampaiku di rumah. Tapi, aku memang pengecut! Aku tidak jadi meminumnya, cuma berani mencium aromanya. Aku mabuk, kemudian menangis. Dia meneleponku, tidak kujawab. Dia mengirimkan surat elektronik, tidak kubalas. Lalu akhirnya aku menyerah ketika dia mengirimkan aku sebuah lukisan kota. Aku memang kagum setengah hidup setengah mati padanya. Kubalas suratnya dan segera meneleponnya. Dia bilang: rindu. Aku bilang: hai, sinar kosmik!

Berjanjilah padaku, mainkan sebuah lagu saat nanti kita bertemu. Begitu pintanya, aku mengiyakan. Lagu pertama yang kubawakan di depan orang ramai, pertama kuhafal di luar kepala. Setinggi itu aku menghargaimu, anak Sum. Bahkan untuk merasa sedih di depanmu pun aku rasa aku tak akan mampu. Bagaimana aku mengeluh tentang luka yang digoreskan hidup di pesisir dahiku, sementara badanmu penuh luka, tapi bukan darah, kulitmu mengeluarkan cahaya.

Aku lega sekali bisa berjalan berduaan lagi dengannya. Aku berharap ada bahagia yang kutinggalkan di sekujur hatinya setiap bertemu denganku. Aku ingin sekali menciumnya, tetapi dia lebih pantas diberi decak kagum. Maka, aku melakukannya kapanpun aku bisa, kadang sembari membayangkan senja di Sadranan yang pernah ia ceritakan.

Dan sore tadi aku terima sebuah undangan. Untuk bertemu seorang perempuan hebat yang telah melahirkannya. Hampir berteriak aku senang, girang bukan kepalang. Rasanya ingin ikut mengecup tangan si perempuan tua jika diperbolehkan. Jika Ibuku begitu menakjubkan, maka kupastikan dia iri kepada Sum, yang memiliki anak lelaki dengan hati selembut sulaman sutra karya tangan.

Suatu malam, kami berbincang lewat pesan instan persegi empat. Mungkin kami berjodoh, karena kami sama-sama kelaparan malam itu. Ada air menggenang tiba-tiba di mataku dan segera saja mengalir senyap ke pipiku, setelah dia katakan kepadaku bahwa hanya ada nasi di rumahnya untuk dimakan. Tidak ada mi instan dan telur seperti yang selalu tersedia di rumahku, tidak ada cemilan anu ini itu seperti yang selalu ada di kamarku, tidak ada? Aku ketik: "andai bisa mengirimkan makanan lewat messenger kita ini ya?" Ah! Dia tak perlu negeri dongeng! Kelak aku datang kesana, ke rumahnya, membawa hasil resepku. Dia ketik: ‘aikon senyum’, yang indah sekali.

Tapi dia tidak perlu dikasihani. Tidak, tidak. Terkasihani hanya bagi mereka yang lemah. Dia kuat, sekali! Dan aku mengasihinya, itu berbeda. Masih pagi lagi ketika kami bertukar salam menyambut hari melalui pesan singkat seratus empat puluh huruf. Dia katakan tak sabar menunggu siang, telah disiapkan sang Ibu, sekotak bekal. Aku tak tahu isinya apa, rasanya bagaimana, itu tidak penting. Yang aku tahu, dia akan makan lahap sekali. Lalu mengetik kabar gembira berbagi padaku dan semua, bahwa masakan itu adalah terlezat di dunia.

Andi adalah peri yang selalu berucap "atas nama ketidaksempurnaan", yang tak pernah alpa mengingatkanku untuk melafalkan doa-doa di atas bantal. Mari kutebak: Ibu peri pasti cantik sekali.



Jakarta-Medan, 25 Juli 2010.
Alinea ganjil Sabrina : Fiksi yang kisah nyata; cetak-tebal-miring adalah karya-karya anak Ibu Sum.
Alinea Genap Dee Dee : Penggalan pembicaraan yang tersangkut di kepala.

*Rekam kata aslinya terdapat di sini.

Sabtu, 22 Januari 2011

Resolusi



Rabu, 31-12-1997
23:50 WIB

Pria berkulit putih itu baru selesai membuat bakmi. Dari dapur, dengan kepincangan kakinya, ia tertatih menuju sofa yang menghadap televisi. Duduk. Di tangan kirinya, semangkuk bakmi. Di tangan kanannya, remot televisi. Klik!

23:55 WIB
Penduduk berkumpul di taman hiburan di utara kota. Mereka menghadap panggung besar yang diapit kotak-kotak sumber suara. Pengisi acara, pemandu, gubernur dan antek-anteknya bersiap di hadapan tombol merah besar. Hitungan mundur segera tersiar.

Kamis, 1-1-1988
00:05 WIB

Separuh mangkuk bakmi termakan. Hitungan mundur selesai diteriakkan. Tombol merah tertekan. Pria itu menikmati ledakan. Ia baru saja menyaksikan kembang api paling gemuruh. Pembalasan bagi kaumnya yang terbunuh. Di televisi, ia melihat orang-orang satu warna, hitam.

Terjebak



Firman seperti terkutuk. Bayangan Disa yang menangis dengan gaun pengantin lengkap tak mau lepas dari mata dan pikirannya, meski dalam kantuk. Ia melihatnya di kamar mandi. Di lorong-lorong kampus yang sepi. Di layar televisi. Di pusat belanja bergengsi. Di metromini. Setiap hari.
Ia pernah sengaja meminum pil-pil tidur, berharap bayangan itu lekas mundur. Firman gagal. Bahkan dalam mimpi, Disa terlihat begitu kekal. Disa sukses menjebaknya dalam labirin rasa bersalah yang tiap sudutnya memantulkan bayangannya, tangisannya. Menghindarinya, seperti harus menyumbat arteri-vena.
Sebulan lalu, seorang mahasiswi ditemukan tewas di kamar kostnya. Pecahan gelas memutus nadi di pergelangan tangan kirinya. Ia tewas dalam keadaan hamil dua bulan. Di lantai, darah membentuk sebuah nama, Firman.

Minggu, 16 Januari 2011

Buat Ani



Selamat menua, Nona! Enam belas tahun lebih dari sekedar usia. Berhentilah mengeluh soal banyak hal sepele. Jangan hanya berpikir bagaimana tampil kece. Mulailah belajar bersyukur. Belajar menikmati mimpi meski kadang gugur. Dengar, aku tak pernah melarang kau bermimpi. Sesukamu setinggi-tinggi. Tapi ingat soal keterbatasanmu. Aku tak minta kau uapkan mimpimu. Sederhanakan saja semampumu. 

Lihat bagaimana saudara-saudara perempuan pendahulumu. Kau tak perlu bersumpah takkan mengulangi kesalahan mereka. Toh, aku tak menghakimi mereka sebagai perempuan-perempuan gagal. Hanya nasib mereka terlampau sial. Aku tahu kau akan menjadi lebih beruntung ketimbang mereka yang masih terlalu muda saat anak-anak lucu itu memanggilnya Ibu. Aku takkan pernah mau lagi ke Pasar Pramuka demi obat peluruh sialan itu. Dosaku sudah menggunung. Aku yakin kau takkan sudi menjadikannya bergunung-gunung.

Belajarlah berdamai dengan dirimu sendiri. Berdamai dengan mulutmu yang kerap memaki. Aku tahu aku tak sempurna, pun dirimu. Berilah keadilan pada waktu. Aku tahu kau muda belia ingin ini, ingin itu, ingin anu. Serahkan semua pada waktu. Kau tak harus menggamit kelamin lawan jenismu jika kau pikir itu belum waktunya. Aku lelaki, aku tahu lelaki. Mereka kadang bisa melancarkan rayu-rayu semerdu dendangan ibu. Yang kau perlu adalah keyakinan soal hari depanmu. Berkacalah pada realita yang lekat tak jauh dari mata hidungmu. Dulu itu kau bagai putri dalam kerajaan bapak ibumu. Apa yang kaumau terhidang dengan cepat tak perlu waktu. Tak ada kerajaan kini. Aku tahu kau tak begitu siap dengan tetek bengek kekurangan di sana di sini. Semua jadi tak seperti yang kaumau. 

Pernah tahu badai? Buka buku geografimu kalau kau tak tahu. Anggap saja kita ini sedang diterpa badai entah sampai kapan nanti. Kau juga harus tahu akan ada pelangi saat badai berhenti. Aku tahu kau suka pelangi, pun aku. Merah. Jingga. Kuning. Hijau. Biru. Nila. Ungu. Sewarna-warni lollypop kegemaranmu dulu. Sewarna-warni hidup yang kadang kelabu. Kelabu yang kerap mengundang kau berairmata. Ahh, aku jadi ingat soal air matamu saat kau mengadu pada hujan. Kau tulis begini pada catatan Facebookmu:
di depan teras rumah
kulihat gemericik hujan membasahi bumi
bumi tempat aku berpijak
bumi tempat aku hidup
hidup dalam asuhan kedua orang tua
orang tua yang membimbing aku sampai saat ini
orang tua yang tegar
tegar dalam segala cobaan
cobaan yang mengguyur keluarga kami
aku rasa ini pahit, pahit rasanya
tetapi mereka tetap tersenyum manis menjalaninya
disaat hujan aku berharap
saat hujan berhenti semua itu berakhir
tapi tidak! SAMA !
sama seperti sebelum hujan turun
hambar!
Menangis memang kadang perlu. Tapi kuberi tahu, jangan pernah menangis lagi di hadapan ibu. Aku tahu tangis ibu lebih pecah di hatinya saat tahu salah satu dari kita berair mata. Aku tahu ibu lebih sering menangis di belakang kita entah di mana sambil memikirkan hari depan anak-anaknya. Aku lebih tahu ibu akan selalu ada di garis terdepan menyemangatimu saat senyummu tak terkendali barang sesimpul. Ayolah, jangan buat masa tua ibu menumpul. Kita sama tahu ibu berusaha tegar luar biasa. Kita sama tahu tak bisa setegar ibu. Kita sama tahu ibu senang teramat sangat melihat kita tersenyum. 

Belajar juga soal menahan hasrat. Jangan mudah dikalahkan pikiran sesaat. Aku tahu kau terlalu belia. Terlalu bergejolak melihat kawan-kawanmu punya hampir segala. Tapi kau tak harus punya Blackberry saat mereka menggenggam ke sana kemari. Kau tak harus turut serta menonton film drama cinta saat mereka sibuk berebut tiket sinema. Ingat lagi soal keterbatasanmu. Keterbatasan kita. Jujur aku ingin memberikanmu segala rupa sesuai yang kau pinta. Mungkin nanti saat kau sudah tak belia. Saat kau bangga menjadi perempuan hebat setelah melewati badai yang lebih kejam dari Katrina. Berdua kita akan merubah hari depan ibu. Merubah dunia. Merubah segala. Merubah badai jadi pelangi di sore yang jingganya menghangatkan keriput-keriput kulit ibu. Aku menjanjikan ini padamu. Sungguh. 

 -------------------------------------------------------
Yang selalu menjadikanmu putri dalam dongengku.
Seorang saudara lelaki dan sahabatmu
A

Sabtu, 15 Januari 2011

Menunggu Pintu Terketuk


Mba Iin

Tempo hari Bapak pulang kerja bawa martabak telur, kehujanan. Keponakan-keponakan kita berebut, takut tak dapat bagian. Uwi sibuk memisahkan daun bawang dari martabak, mirip yang kau lakukan, baru kemudian ia makan. Mendadak, aku dan Ibu saling pandang. Aku dan Ibu mau kamu segera pulang.

O, ya, aku lupa menanyakan, apa kabar Mba? Semoga tak ada lagi lebam di muka. Semoga tak ada lagi tangisanmu di tengah malam buta. Semoga anakmu, Erin, tercukupi asupannya.

Mba, aku tahu kau merasa bersalah. Aku tahu mengawini pria yang tak kauingini itu tak mudah. Aku tak minta kau untuk pasrah. Hanya saja, ini adalah resiko yang harus kau terima. Mungkin, aku lupa mengingatkanmu soal resiko dulu. Bahwa selalu ada resiko tak peduli kecil-besar perilaku. Aku tahu ini bukan pilihanmu. Ini total ego lelaki itu.

Aku masih tak habis pikir tentang caranya memisahkan kau dari keluargamu, dari aku. Aku tak pernah sudi memberinya predikat kakak ipar meski ia ayah dari keponakanku .

Aku sempat kecewa saat kau terakhir pulang. Ternyata, kau masih tak lepas dari monopoli si hidung belang. Kukira, kau tak akan pernah luluh lagi pada si bajingan. Aku tahu kau punya alasan. Perkara anakmu dan sebuah masa depan. Semoga kau tak lagi salah jalan. Aku pesan satu: sejauh apa pun kau mengikuti pria terkutuk itu, aku harap kau tak melupakan jalan pulang. Aku menunggu ketukanmu di pintu, pun Ibu.

Depok, 15 Januari 2011
A, saudara lelakimu

Supremasi Tuhan


malam menjelma rasa tak terarah
sebentuk hangat yang entah, 
gairah gundah

kopi menjelma asam termasam
memaksaku beranjak melupakan malam
menggapaimu yang entah di mana: tenggelam

remang neon menjelma gelap terpekat
menyadarkanku dari harap yang sekarat
tentang dunia, Engkau, dan aku terikat

AG, Januari 2011

Diksi-Diksi dalam Puisi


Guru dan penggiat sastra.

Hari ini, kata yang terpopuler di Kompasiana adalah tidak lain tidak bukan: DIKSI.  Banyak polemik, pertanyaan, gonjang-ganjing belum lagi seabrek komentar yang berputar di, masih kata yang sama, DIKSI. Sebenarnya apa sih diksi itu?

Menurut wikipedia: Diksi, dalam arti aslinya dan pertama, merujuk pada pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh penulis atau pembicara. Arti kedua, arti “diksi” yang lebih umum digambarkan dengan enunsiasi kata - seni berbicara jelas sehingga setiap kata dapat didengar dan dipahami hingga kompleksitas dan ekstrimitas terjauhnya. Arti kedua ini membicarakan pengucapan dan intonasi, daripada pemilihan kata dan gaya.

Menurut KBBI, DIKSI berarti pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).

Diksi Dalam Puisi

Sebenarnya diksi tidak hanya dipakai dalam menulis puisi. Dalam menulis cerpen, novel, essai, artikel, sampai karya ilmiah sekalipun, diksi juga diperlukan. Tapi baiklah kita membicarakan diksi dalam puisi saja kali ini (sesuai dengan topik yang sedang menghangat di kompasiana saat ini).

Saya sendiri senang menulis puisi dan menyadari salah satu unsur penting dalam menulis puisi adalah pemilihan diksi. Karena puisi adalah bentuk karya tulis yang tidak memakai banyak kata-kata, cendurung tidak deskriptif dan naratif, maka pemilihan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan maksud dan nuansa tulisan haruslah dicermati dengan seksama. Termasuk di dalamnya menghindari pengulangan kata yang sama terlampau sering, pemilihan sinonim yang mewakili, sampai ke penggunaan tanda baca dan susunan bahasa. Misalnya ketika kita ingin mengungkapkan rasa kesepian, kata mana yang akan kita pilih; sunyi, diam, nelangsa, sendiri, sedih, sepi, senyap atau hening? Meski berkonotasi sama, tiap kata yang terpilih akan memberi warna yang berbeda apabila disandingkan dengan kata-kata lainnya dalam keseluruhan puisi.

Mendapat Kejutan dari Sahabat

Blogger

Terlepas dari ada atau tidaknya dinding pemisah di 2nd Anniversary Kompasiana di MU Café kemarin, saya mendapatkan KEJUTAN di sana. Kejutan itu datangnya dari sahabat saya, kompasianer Andi Gunawan yang akrab dipanggil Ndigun (http://kompasiana.com/ndigun). Kami bertemu di acara tersebut dan karya perdananya sebuah antologi prosa yang diterbitkan secara indie lewat nulisbuku.com, akhirnya sampai juga ke tangan saya. Malu-malu ia waktu saya todong menandatangani bukunya.

Tak sabar menunggu sampai di rumah, saya mulai membuka bukunya yang di beri judul KEJUTAN di dalam kendaraan yang membawa saya dari Sarinah Thamrin ke acara lain di sudut kota. Ternyata saya langsung terpikat di halaman awal dalam ‘Seratus buat Presiden’,

Apa kabar Pak? Apa makan siangmu hari ini? Masakan istana atau racikan Bu Ani? Apapun, pasti mengenyangkan sekali. Tak seperti kami yang menanak periuk tak berisi; meninabobokan anak-anak kami dengan dongeng dalam negeri; berharap mereka cepat lelap agar lupa perut belum kemasukan nasi.(hal.13)

Tulisan selanjutnya pun tak urung membuat saya malas menutup buku itu.  Halaman demi halaman semakin memikat dengan pilihan kata-katanya yang apik dan bermakna. Saya tak peduli soal diksi karena tak cukup punya ilmu soal itu. Yang jelas buku ini mampu menghanyutkan saya dalam pusaran Andi Gunawan yang tengah memainkan perannya dalam skenario Tuhan bernama kehidupan. Berikut petikan tulisannya yang saya suka,

Sepasti skripsi memakan kertas, sepasti itu tahun meretas usia dalam angka. Repetisi memuakkan tak terhindarkan dengan mantra sakti berjudul “Selamat”. Perayaan mendekatnya kematian –sebuah hitungan mundur. (hal. 41)

Sayangnya, terpaksa saya harus puas dengan ke-dua puluh prosa tarian penanya di buku perdana ini. Semoga Andi Gunawan, anak muda kreatif yang membuat saya bangga tak berhenti sampai di sini. Terbitnya buku selanjutnya menjadi harapan, doa dalam hati. 

Ketika Gelap Tak Selalu Kelam


Andi.
Aku sudah membaca bukumu, dan ada beberapa hal yang menurutku perlu kamu ketahui.
  • Ya, aku masih menemukan typo di sana-sini, khususnya untuk penggunaan kata depan 'di' dan 'ke'. Berkali-kali kamu masih menuliskan 'dimana' dan 'kemana'. Biasanya, sesudah dua typo di satu halaman yang sama, aku akan berhenti membaca. Tapi karena aku sudah berjanji padamu, kulanjutkan.
  • Gelap. Muram. Tak salah kamu memilih sampul berwarna hitam dengan pendaran cahaya kabur di sana-sini. Secara fisik, isi bukumu telah diwakili oleh sampulnya. Dua jempol untukmu.
  • Prosamu memang masuk dalam kategori prosa liris. Lebih berbentuk catatan harian, tetapi berhasil kamu hidangkan dengan pilihan kata yang tepat, aliran yang lembut dengan tempo yang serasi. Menghanyutkan, melanutkan, menggiringku perlahan dalam kemuraman.
  • Ya, muram. Tapi kamu dengan jelinya menyelipkan harapan dan kekuatan untuk bangkit bertahan di sela-sela keputusasaan dan kehampaan. Ini suatu kemuraman yang indah.
  • Judul. Dari semua prosa yang ada, mengapa tidak kamu pilih 'Ganjil' sebagai judul? Menurutku, ini yang paling kuat dari semua prosa, yang menjadi pengikat dan perekat keseluruhan cerita. -- Tapi ini hanya menurutku pribadi.
Secara keseluruhan, aku memberimu empat dari lima bintang. Kalau kelak kamu butuh review pendek dariku, aku akan menulis:
"Ketika gelap tak selalu kelam, ketika muram tak selalu diam, demikianlah Andi menggubah malam menjadi pualam."

Best Regards,

Jumat, 14 Januari 2011

Jangan Makan Babi Itu


Mbak Tuti

Sejak kali terakhir kau menghubungi kami, sejak nomorku habis masa tenggang karena pulsa tak terbeli, Ibu tak pernah berhenti menyebut namamu, nyaris setiap hari. 

Sejak tuanmu tak balas pesan elektrikku, sejak kau cerita soal daging babi itu, pasti kau bekerja tak sefokus dulu.

Aku tahu kau berharap ibumu, anak-anakmu, adik-adikmu, aku baik baik saja, pun kami di sini berharap sama. Meski kami tak pernah sebaik sebelumnya, berhentilah berprasangka.

O, ya, Sulungmu sudah mulai sekolah. Ada TK dekat rumah yang terima cicilan dan cukup murah. Dia sudah bisa berhitung dari satu sampai entah.

Adiknya, Uwi, sedang cemburu. Cemburu melihat abangnya pakai seragam lima hari seminggu. “Uwi mau sekolah juga,” katanya lugu.

Azis yang dulu kaukira bisu sudah cukup handal memekakan telinga seisi rumah. Mesti bicaranya tak terlalu jelas, dia hobi marah-marah. Marah saat adiknya menyamber gelasnya lalu tumpah. Marah saat rebutan mainan dengak kakak-kakaknya yang berakhir mainan patah.

Bungsumu amat lucu. Gemar bertingkah ini itu. Main air dan lempar batu. Dia sedang flu. Batuk-batuk tak berhenti sudah seminggu. Mungkin karena air hujan, bisa jadi karena debu. Kau tahu? Rumah ini tak pernah sebersih dulu.

Ini sudah nyaris setahun kau di negeri singa. Semoga kau baik saja di sana. Jangan risaukan anak-anakmu. Toh, aku ada menjaganya untukmu. Aku pesan satu: jangan makan babi itu!


Depok, 14 Januari 2011
A, saudara lelakimu

Selasa, 04 Januari 2011

Ketuhanan yang Maha Esa


“Nama?”
“Kodrat.”

“Nama lengkap?”
“Itu sudah lengkap.”

“Tempat, tanggal lahir?”
“Jakarta, 26 Maret 1993.”

”Sudah menikah?”
”Belum.”

”Agama?”
”Agama orangtua.”

”Maksudnya?”
”Islam tradisi.”

”Mana ada yang begitu.”
”Ada. Banyak. Dimana-mana.”

“Kok bisa?”
“Tradisi beragama.”

“Saya tidak mengerti.”
“Anak bapak Islam karena bapak Islam. Apa namanya kalau bukan tradisi?”

”Ada yang lebih sederhana?”
”Islam keturunan.”

”Jangan macam-macam kamu ya!”
”Ganti saja pertanyaannya.”

”Bagaimana?”
”Jangan tanya saya agama. Ganti agama dengan keyakinan. Bisa kan?”

”Apa bedanya?”
”Tanya saja.”

”Keyakinanmu apa memangnya?”
”Ketuhanan yang Maha Esa.”

”Lalu, agamamu?”
”Boleh saya bilang tak beragama?”

“Mana bisa percaya Tuhan tapi tak beragama.”
”Bisa, karena saya tidak mati rasa.”

”Aneh kamu.”
”Dunia memang aneh kok, Pak.”

”Kamu baca kitab suci?”
”Ya. Al-quran, Injil, Taurat. Baru tiga yang saya baca. Belum ada yang saya kaji. Mungkin nanti.”

“Saya tulis Islam saja ya?”
“Sesuka bapak lah.”

“Kenapa tidak pilih saja agama yang kamu mau?”
”Karena terlalu banyak pilihan. Padahal Tuhan Cuma satu. Mungkin nanti, kalau saya sudah mengenal lebih dekat Muhammad, Yesus, Sidharta dan yang lainnya.”

”Bagaimana kamu mengenalnya?”
”Mengkaji kitab-kitab yang dibawa mereka mungkin bisa membantu. Tapi nanti lah, kalau ada waktu.”

“Sakit jiwa kamu.”
“Anggap saja begitu.”

“Alamat?”
“Bapak lebih tahu. Kapan KTP saya jadi?”

”Satu minggu lagi.”
”Makasih, Pak.”

Kodrat: Berkorban


Aku terjebak dalam sebuah labirin. Penuh mata, penuh telinga, penuh manusia. Penuh hati dan mulut bertautan bicara. Aku mencoba merapatkan telinga, tapi suara mereka terlalu lantang untuk tak kudengar. Sebuah labirin yang mereka sebut kehidupan. Ada awan di dalamnya, yang berlari di atas kepala. Membelah otak yang bertautan,kiri-kanan. Merasuki tenggorokan dan terhenti di paru. Menyumbat arteri-vena dengan sebuah pertanyaan. apa yang mereka cari dalam hidup? Mereka menjawab kompak; kebahagiaan. Sebagian mengorbankan air mata orang lain. Tak sedikit yang mengorbankan kehidupan orang lain. Adakah yang mengorbankan sebagian kecil dari hidupnya demi kebahagiaan orang lain? Hanya sebagian kecil yang aku tanyakan.

Ismail menjawab:, “Aku rela mengorbankan leherku untuk disembelih Ibrahim karena mendapat perintah dari sang Khalik, dan Ibrahim pun bahagia karena bukan aku yang akhirnya terpotong lehernya.”

Ibuku menjawab, “Aku mengorbankan rasa kenyangku agar kau bisa makan dan pergi ke sekolah, dan kau akan bahagia kelak karena kuberi makan.”

Bapakku menjawab, “Aku merelakan namaku melengkapi akta lahirmu. Kodrat bin Priambudi Wirya. Menjadikanmu anak meski kau bukan hasil persetubuhanku dengan ibumu.”

Kodrat: Melawan Rahwana


Namaku Kodrat. Terkadang mereka yang sok akrab dan tak tahu diri memanggilku Odat. Ya Odat, bukan Bodat*! Kodrat itu takdir. Takdir itu milik Tuhan. Aku milik Tuhan seutuhnya. Jadi jangan coba-coba mengklaim aku ini milik siapa-siapa. Aku milik Tuhan. Aku tak memiliki apa-apa. Ahh, bagaimana aku bisa lupa aku memiliki ibu. Hanya ibu. Jangan tanya soal bapakku. Bapakku langit.

Ya, aku adalah anak hasil persetubuhan ibuku dengan langit. Lalu pada siapa aku memanggil bapak? Pengawin Ibuku yang kupanggil bapak. Anggaplah ini formalitas belaka. Hanya karena aku ingin melengkapi apa yang disebut keluarga. Bapak formalitas, ibu, aku. Lengkap bukan? Sayangnya kelengkapan bukan patokan kebahagiaan. Aku bahagia dengan ibuku tidak dengan bapakku. Aku bahagia aku menari. Ibuku bukan penari, apalagi bapakku. Tapi aku tahu langit menari. Menari berirama gendang-gendang petir. Maka aku menari karena langit menari. Aku menari karena aku anak langit. Pernah sekali waktu aku menari. Rama Shinta. 

Akulah Rama saat itu. Aku begitu bergairah saat beradu dengan Rahwana yang serupa bapakku. Rahwana yang monster. Bapakku yang monster. Ibuku tahu aku membenci Rahwana. Aku membenci bapakku. Aku lebih tahu ibuku lebih membenci bapakku. Aku dan ibu ingin sekali menamatkan dongeng Rama Shinta ini. Mengirim Rahwana ke gerbang neraka lalu kami akan berdua saja. Berdua lebih baik. Lebih baik Rahwana mati meregang nyawa di tanganku, di tangan ibuku. Dan penjara akan menjadi hunian yang paling surga bagi kami. Tapi kami belum juga sampai ke penjara yang surga itu. Kami masih takut dosa dan cukup berdosa untuk melengkapi dosa terakhir.

Ibu mengajakku mengalah untuk menang atas Rahwana. Dan mengajakku berdoa iblis cepat-cepat membawa Rahwana menuju neraka tanpa kami harus bertambah dosa. Saat itu tiba, maka akan kami rayakan dengan pesta pora. Pesta kemenangan kami. Pesta kemenangan takdir. Takdir Tuhan. Sayangnya, sekali lagi sayang, aku dan ibuku tahu. Benar-benar tahu. Takdir ada di atas kepala. Maka pasrahlah kami. Pasrah pada waktu. Waktu milik Tuhan. Kami milik Tuhan. Tuhan milik kami.

*Bodat: Monyet (Bahasa Batak)

Kodrat: Menyapa Tuhan


Selamat pagi Tuhan, matahari sudah mulai terik, apa Kau sudah bangun? Ahh, aku ingat Kau tak pernah tidur. Mereka bilang Kau ada bersama waktu mengawasi gerak-gerik kami Gerak-gerik manusiawi. Tapi apa Kau melihat hitam kesialanku akhir-akhir ini? Menghitam memekat membuatku tak bergairah. Sebuah tamparan berhasil membuat pipiku merah. Merah yang marah. 

Pijakanku mulai tersendat saat sadar rumitnya hidup yang Kau buat  Aku tahu Kau berkuasa atas segala rupa. Berkuasa atas segala manusia. Berkuasa atas aku. Lantas aku berdoa, terhadap kuasaMu, saat sadar rumitnya hidup yang Kau buat. Doaku tak banyak. Doaku tak serumit hidup yang Kau buat. Aku berdoa untuk kebahagiaan ibuku. Cukup ibuku. Tak usah bapakku. Tak usah aku. Aku akan bahagia saat Ibuku berbahagia. Dan semoga bapakku bahagia saat kami berbahagia. Kau sebut dalam kitabMu akan membahagiakan mereka yang baik. Ibuku berbuat baik. Bahagiakanlah dia. Cukup dia. Tak usah aku. Tak usah Bapakku. Cukup begitu aku menyapaMu pagi ini. Aku harus mulai lagi menjalani rumitnya hidup yang Kau buat. Tapi jangan khawatir, aku akan menyapaMu di lain waktu. Semoga bukan untuk mengeluh. Tapi berterima kasih padaMu . 

Oya, namaku Kodrat, yang menyapaMu pagi ini. Ahh, bodohnya aku! Tak perlu sebut namaku Kau pun tahu. Karena Kau tahu segala rupa. Tahu segala manusia. Tahu aku.

Kodrat: Bicara Kodrat


Aku mendapati sosok yang mengaku Bapakku di ruang tamu. Bapak yang kata mereka telah berjasa menanam benih spermanya lalu berbuah menjadi aku. Bapak yang mengawini ibuku karena butuh makan atau butuh pengakuan, entah aku tak tahu. Aku tak mau tahu. Aku hanya tahu sosoknya adalah racun bagi kelamin ibuku. Dia bagai bakteri jahanam yang menggerogoti tubuh ibuku dari kaki ke kepala. Aku melihatnya sedang menikmati kopi yang tak lagi menguap saat aku kembali pulang. Saat ibuku mulai lupa jalan pulang, dan berpikir lebih baik melacur setelah tahu ia mengawini seekor binatang.

“Pulang juga kau Drat”.
“Aku pulang karena aku tahu jalan pulang.”
“Dari mana saja?”
“Menari.”
“Sudah kuduga kau menari lagi. Aku kan sudah bilang ..…”
“Bilang apa? Bilang aku jangan menari!”
“Kau kan tahu alasannya.”
“Kodrat?”
“Jelas! Kau lelaki. Kau tak seharusnya menari, kecuali mau jadi banci.”
“Tak ada kaitan menari dengan jenis kelamin, itu baru jelas! Lagipula, tahu apa Bapak soal kodrat?”
“Aku tahu karena aku lebih tua!”
“Ya! Bapak lebih tua dan lebih tak berguna!”

PLAK !!!

Telapak tangan kanan Bapak mendarat tepat di pipiku. Pipi yang kini memerah. Memerah bukan karena tamparannya. Memerah karena malu Bapakku benalu. Berani benar dia bicara soal kodrat. Harusnya dia berkaca pada kelaminnya. Apakah dia menjalankan kodratnya sebagai pengawin dengan baik? Para tetangga tahu yang dilakukannya setiap hari. Diam di rumah menikamati keringat istri. Berlaga bagai raja di atas singgasana kelaki-lakiannya. Bangga betul dia menjadi lelaki. Lelaki monster yang menyalahi kodrat. Jika memang kodrat lelaki adalah sepertinya, aku akan memilih jadi banci saja.

Keris


Ken Arok, Mpu Gandring jadi lawan tanding
bertarung diringi gending-gending
jangan kira berebut perempuan ayu bermahktota sanggul
dengan lilitan jarit pada pinggul
berdua berdarah
tulang-tulang patah
demi pusaka alam raya terukir
lebih dari sekedar mantra-mantra pembuat sihir
besi-besi terpahat api wong kentir
panas tajam menghunus lambung raja-raja mangkir
mati meninggalkan singgasana pesona
para jelata pesta pora
keris kembali pulang ke sarungnya


-AG-
Kantor, Condet, 15 Pebruari 2010

Komposisi Sri


ia siapkan caping: tudung kepalanya mulai tumpul di atas
tubuh kerempeng berkulit keriting belang warnanya
bukan ia takut pada surya yang sinarnya sesekali terlalu menyengat
hanya ia tak mau silau itu kian merontokan
beberapa helai yang memutih sebagian

dengan cangkul,
ia membuat adegan paling ramah dengan tanah
gembur berlumpur berselaput daki kakinya
dewa air mulai kikir, pikirnya
meski kerap menghujani bertuibi-tubi
menghalangi sang induk mengecup si buah hati

ia sempatkan menyalangkan mata pada semesta
menyoal cuaca di antara gugusan awan di tengah sebuah koneksi
pada rahim alam ia mengucap: semoga
mengharap sebuah musim

di belahan lainnya,
seorang ia tak pernah mengharap
tak pernah berucap: semoga
tak pernah mengadu kaki tangannya pada tanah berlumpur
ia kantungi butiran-butiran bersihnya dalam kantung-kantung besar
diambilnya sebagian
dicucinya sebagian
dimasukannya sebagian pada penanak tak berapi
matang,
tanpa nyalang mata mengharap sebuah musim pada semesta
———————–
[Andi Gunawan - 28 Juni 2010 ]
*bisa dibaca juga di Kumpulan Spasi