Tampilkan postingan dengan label Flash Fiction. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Flash Fiction. Tampilkan semua postingan

Kamis, 27 Januari 2011

Restu


Rosaria tahu waktunya telah tiba. Lima-puluh-tiga tahun cukup untuknya mengabdi sebagai manusia. Ia tak sabar menghadap Tuhannya. Ia takkan memohon surga. Ia hanya ingin berbincang tentang hari-harinya. Tentang suami, putra, dan calon menantu idamannya. Tentang  firman Tuhan yang diabaikan sesamanya.

“Buka alkitabku. Ada yang harus kau baca.” Rosaria sempat berpesan pada putranya, Renhard, sebelum ia benar-benar tak bisa menikmati udara.

Di rumah duka, Karina siap dengan kotak riasnya. Ia menghadap jenazah Rosaria damai dalam senyum terakhirnya. Renhard datang dan memberikannya selembar kertras.

“Karina.
Aku tak mau didandani. Biarkan aku menghadap Tuhan seperti pertama kali menghadap dunia. Imanku, riasanku. Berhiaslah dengan baik saat Renhard menikahimu. Aku akan meminta restu Tuhan untuk kalian.”

Sabtu, 22 Januari 2011

Resolusi



Rabu, 31-12-1997
23:50 WIB

Pria berkulit putih itu baru selesai membuat bakmi. Dari dapur, dengan kepincangan kakinya, ia tertatih menuju sofa yang menghadap televisi. Duduk. Di tangan kirinya, semangkuk bakmi. Di tangan kanannya, remot televisi. Klik!

23:55 WIB
Penduduk berkumpul di taman hiburan di utara kota. Mereka menghadap panggung besar yang diapit kotak-kotak sumber suara. Pengisi acara, pemandu, gubernur dan antek-anteknya bersiap di hadapan tombol merah besar. Hitungan mundur segera tersiar.

Kamis, 1-1-1988
00:05 WIB

Separuh mangkuk bakmi termakan. Hitungan mundur selesai diteriakkan. Tombol merah tertekan. Pria itu menikmati ledakan. Ia baru saja menyaksikan kembang api paling gemuruh. Pembalasan bagi kaumnya yang terbunuh. Di televisi, ia melihat orang-orang satu warna, hitam.

Terjebak



Firman seperti terkutuk. Bayangan Disa yang menangis dengan gaun pengantin lengkap tak mau lepas dari mata dan pikirannya, meski dalam kantuk. Ia melihatnya di kamar mandi. Di lorong-lorong kampus yang sepi. Di layar televisi. Di pusat belanja bergengsi. Di metromini. Setiap hari.
Ia pernah sengaja meminum pil-pil tidur, berharap bayangan itu lekas mundur. Firman gagal. Bahkan dalam mimpi, Disa terlihat begitu kekal. Disa sukses menjebaknya dalam labirin rasa bersalah yang tiap sudutnya memantulkan bayangannya, tangisannya. Menghindarinya, seperti harus menyumbat arteri-vena.
Sebulan lalu, seorang mahasiswi ditemukan tewas di kamar kostnya. Pecahan gelas memutus nadi di pergelangan tangan kirinya. Ia tewas dalam keadaan hamil dua bulan. Di lantai, darah membentuk sebuah nama, Firman.

Sabtu, 25 Desember 2010

Kopi Pahit


Wulan selalu dapat menikmati kopi hitamnya, tanpa gula. Baginya, gula hanya merusak aroma. Merusak rasa yang memiliki kodratnya sendiri. Membuatnya mirip palsu. Ia benci kepalsuan.

***

“Pelacur! Pergi kau dari sini!”

“Pelacur tidur dengan sembarang pria. Aku hanya tidur dengannya.”

“Tarno pergi ke kota sebelum kau hamil. Siapa yang percaya kau mengandung cucuku!”

Wulan segera keluar dari rumah orang tua Tarno. Ia tak kembali ke rumahnya. Ini bukan penolakannya yang pertama. Ia pergi mencari kotanya sendiri.

***

Wulan sedang menyesap kopinya saat Abdi, anaknya, pulang dari mengaji dan memberinya tanda tanya.

“Kenapa Ibu suka sekali kopi? Pahit kan?”

“Ada yang lebih pahit.”

“Apa?”

“Nanti, kalau kau sudah cukup dewasa, kau akan tahu sendiri.”

----------------------

Depok, Desember 2010

Selasa, 21 Desember 2010

Pamit



“Mahaguru, manusia terpilih tanpa pamrih, terima kasih untuk setiap jawaban atas segala tanda tanya. Untuk ikhlas yang tak terbalas. Untuk lembar-lembar wacana tentang dunia dan pergerakannya.

Maaf untuk predikat yang tertunda. Saya tidak –atau belum memerlukannya. Bukan tak mau, hanya saja saya harus bekerja atau mati kelaparan. Ini bukan mau saya. Saya menyebut ini cara Tuhan, mantap tanpa gelagap.

Saya tahu Anda kecewa. Sayangnya, sarapan harus selalu ada untuk ibu saya. Oya, sebentar lagi tahun ajaran baru. Saya tak berhak memiliki benda ini lagi. Saya pamit.”

A

Lelaki itu terpaku pada bolpoin di tangannya. Hitam. Aksen keemasan melingkar di tengah dan sisi atasnya. Mahasiswa Berprestasi tertulis tegas di badan bolpoin itu.


-ndigun-

Pertama


“Panas banget kamarmu, Ray.” Peluh Diana membasahi kausnya, di punggung. Klik. Kipas angin berputar, pun gairah Rayhan sama kencang, berputar. Sebelah pintu almari terbuka, menutup jendela.

Sapu tangan Rayhan menyeka keringat Diana. Mulai dari kening, mendekati leher. Mendekati dada lalu melantai. Rayhan mendekatkan dirinya, nyaris tak berjarak. Sebuah pagutan menghilangkan jarak mereka. Lembut. Basah.

Tangan Rayhan menelusup ke balik kaus Diana. Ada hangat menjalar di tubuh perempuan itu. Hangat yang tak biasa, yang menyentakkan Rayhan ke dinding kamarnya.

“Kenapa?”

“Aku belum pernah melakukannya.”

“Selalu ada yang pertama, sayang. Tak usah takut.”

“Aku takut aku bukan yang pertama.”

“Hah?”

“Namaku Diana, bukan Melisa.” Pandangan Diana mengarah ke sapu tangan di lantai, tajam.

-ndigun-

Senin, 20 Desember 2010

Untuk Pengantar Sup Panas yang Kehujanan


Wanitaku
Hari ini aku bangun pagi, senang.
Entah apa yang kaurasakan.
Semoga saja sama senang.

Kau masih tertidur di ranjangmu saat kuterbangun. Bangun dari ketakutan. Bangun setelah dijatuhkan tatapan hina orang-orang. Bangun karena kau menyadarkan aku terlalu hebat untuk dijatuhkan. Menyadarkan aku terlalu kuat untuk dikalahkan.

Dulu, aku sempat mengemasi mimpi-mimpi dan beranjak pergi, membohongi diri. Dulu, aku berpikir telah sampai di halaman terakhir cerita yang ditulis Tuhan untukku.

Lalu, kau datang menyulam lagi mimpi terlupakan. Memulai kembali cerita dari halaman pertengahan buku takdir Tuhan . Kau membantuku lebih mudah memijakan kaki daripada hari-hari sebelum kau datang .
Wanitamu

*Aku kerja ya, sayang. Kusisakan sup untukmu. Kau bisa menghangatkannya untuk sarapan.

-ndigun-

Minggu, 19 Desember 2010

Akhir Penantian


Rani sedang berjalan keluar bank saat seorang dari antrean memanggilnya.

“Rani! Maharani?”

“Rama.” Rani menyebut nama pria itu, lembut, lalu mematung. Dialah satu-satunya alasan Rani melanjutkan S2 alih-alih menolak perjodohannya. Matanya mengarah ke tangan Rama, kiri ke kanan. Ia bersyukur tak menemukan yang dicarinya. Tak ada cincin melingkar di jari-jari itu. Ini harinya.

“Apa kabar?” Rani ingin sekali menjawab bahwa ia tak pernah merasa sebaik hari ini. Bahwa ia sangat menunggu pertemuan ini.

Rani sedang menata kalimatnya saat seorang anak yang sedari tadi memerhatikan mereka menginterupsi, “Siapa tante ini, Pa?”

“Ini Tante Rani, teman kuliah Papa.”

Rama mengenalkan Rani pada anaknya. Rani mematung, lagi. Masa lalu punya caranya sendiri untuk kembali.


-ndigun-

Rabu, 01 Desember 2010

Different

As usual, Jarwo always tell a lot of stories every time he had a chance to see Kodrat. This time it’s about Lani, the girl-next-door that he had crush on.

“I’m confused, Drat. Lani’s playing hard to get. Sometimes she was extremely attentive but in other time she just acted like I didn’t exist.”

“Oh come on, don’t force it! You and Lani have different beliefs anyway.”

“What is the difference? We have the same religion. We’re both Islam. We also have the same race.”

“The different is very clear. You believe that she loves you but in other way she doesn’t!”

“Damn! I thought you were serious.”

“I was serious. Is belief just refers to religion?”

Jarwo lost his words. Kodrat smiled. He knew that Jarwo always wake after dawn.

Depok, 2010

Sabtu, 09 Oktober 2010

Beda Keyakinan



Seperti biasa, Jarwo selalu bercerita banyak hal setiap kali ada kesempatan bertemu Kodrat. Kali ini tentang Lani, gadis tetangga yang ditaksirnya.

“Gue bingung, Drat. Lani tarik ulur gue melulu. Kadang dia perhatian banget, tapi ngga jarang dia nyuekin gue.”

“Udahlah, ngga usah dipaksain. Lo sama Lani tuh beda keyakinan, Wo.”

“Beda gimana? Kita seagama kok, sesuku juga.”

“Jelas bedanya. Lo yakin lo suka sama Lani tapi Lani ngga yakin suka sama lo.”

“Sial! Gue kira lo serius.”

“Gue serius kok. Sejak kapan keyakinan cuma sebatas agama?”

Jarwo tak menjawab. Kodrat senyum-senyum sendiri disampingnya mengingat Jarwo sering bangun tidur setelah Subuh.

Depok, 2010 
------------------------------
*Versi Bahasa Inggris tulisan ini berjudul "Different" menjadi salah satu dari 12 Top Rated English Category of Flash Fiction Challenge by Ubud Writers and Readers Festival 2010

Jumat, 24 September 2010

Hari #11: Tabung Gas Meledak, Dua Orang Tewas


Hari itu Minggu, pukul tiga sore. Saat ibu sedang mencari alkitab di almari,.Saat bapak sedang di kamar mandi membasuh diri sembari bersenandung lagu masa kini. Saat aku sedang mencari korek untuk mambakar rokok; sebatang lumayan untuk teman mengantre kamar mandi, aku meyakinkan diri. Saat pendeta sedang menyusun khotbah untuk pukul lima nanti, kutemukan korek di atas lemari pendingin di ruang belakang dekat dapur lalu kupantik.

Rumah mengejang. Perabot terlempar tak tentu arah saling bentur. Bara rokok menjelama siluman api menerjang mukaku menjalari sampai kaki, memberangus sekeliling tanpa permisi dan kudengar suara ibu berteriak lalu tak ada suara lagi. Bapak berlari dengan seember air yang terasa surga saat bapak menumpahkannya ke tubuhku. Bapak mencoba memapahku yang melepuh dan bergetar. “Ibu” sempat kuucapkan di telinga bapak dan kulihat bapak ambil langkah seribu seperti mencari sesuatu lalu tak kulihat apa-apa lagi kecuali gelap.
Depok, 2010

Kamis, 23 September 2010

Hari # 10: Darah Muda


Dara, 10 tahun, mengamuk setelah seminggu tak mau bicara. Anak itu berteriak nyalang melihat adegan seorang pria merayu lawan mainnya dalam layer kaca. “Bapak jahat! Bapak jahat!” repetisi kata yang membingungkan Sri, ibunya. Entah butuh berapa jam lamanya, Sri akhirnya berhasil menenangkan anak semata wayangnya. Dara berkeringat luar biasa. Sri mengganti bajunya dan mendapati celana dalam anaknya bercorak merah darah. Suaminya sudah seminggu tak pulang dengan alasan ke ibu kota mencari nafkah.

Rabu, 22 September 2010

Gadis Desa


Dari balik punggung yang menunduk. Di sela air mata yang tak pernah reda sejak hari itu kudengar ibu terbata-bata mencari kata penjaga di antara tentetan kata milik pemuka desa dalam lakon hakim ternama “Kau harus keluarkan Gadis dari desa cepat-cepat!” seru orang terdepan diikuti suara-suara kepala-kepala yang berjejal di belakangnya, mengiyakan. 

“Bukankah seharusnya anakmu yang dikebiri? Toh, tak akan pernah ada kembang biak tanpa jasa penabur benih.”

Rabu, 16 Juni 2010

Lelaki Tua yang Kehujanan


Seperti sore-sore lainnya di hari kerja, sore ini aku memilih duduk di samping jendela. Entah sudah berapa menit sejak aku menghempaskan tubuh ini pada dudukan berbusa berlapis kulit hitam warnanya. Bis belum bergerak maju barang sejengkal, menunggu jumlah penumpang hingga berjejal. Aku mulai mual. Aku selalu mual mendengar suara mesin menderu tak bergerak tapi bergetar. Mualku dikagetkan langit yang tiba-tiba ikut bergetar.
Mendung tak bisa bertahan lebih lama. Ia memuntahkan bulir-bulir rinai, menghujani semesta. Membuat orang-orang bergerak lebih cepat dari biasanya. Berteduh.
Aku selalu bisa menikmati hujan yang seperti ini, tak berlebihan. Sejuknya sedang. Gemuruhnya tak panjang. Air hujan yang menghempas aspal jalanan membuatku kurang menikmati hujan kali ini. Aku tak mencium bau tanah. Bahkan tak kutemukan tanah di sepanjang mataku mengharah.
Aku sedang memberikan perhatian pada jalanan saat bis yang kutumpangi bergerak maju perlahan. Penjual rokok yang kebasahan. Kuda-kuda besi yang menepi kebasahan. Orang-orang yang menghindar dari kebahasan. Lelaki tua yang kebasahan.
Mataku terhenti pada tubuh ringkih berkeriput. Rahang yang pipih. Rambut jarang-jarang. Mata sayu yang tak berhenti menatapku entah sejak kapan. Mata milik lelaki tua yang kehujanan. Aku sempat melayangkan sesungging senyum sebelum bis pengantar pulang semakin menjauhkan pandanganku dari bawah pohon yang menaunginya. Lelaki tua yang kehujanan tak membalas senyumku. Ia hanya mengangkat tangannya. Mengarahkan telunjuknya ke angkasa. Menuntun arah pandangku ke gugusan awan yang hitam sebagian.
Awan sedang bersedih sore ini. Aku tahu karena tak kulihat jingga di antara gumpalan-gumpalannya yang menumpahkan hujan. Yang hitamnya bergerak-gerak perlahan. Yang menyentakku dengan petir segaris terang.
Petir mengembailkan arah pandangku pada pohon tempat lelaki tua yang kehujanan menunjuk angkasa. Tak ada siapa-siapa. Halte di sampingnya masih ramai oleh orang-orang yang menepi. Aku tak menemukan lelaki tua itu lagi. Lelaki yang mengantarku pada sentakan gendang petir di balik awan. Lelaki yang tak mau membalas senyum yang kupaksakan. Lelaki yang mengingatkanku pada sesuatu yang telah kuabaikan. Lelaki tua yang kehujanan.

———————————————
A, di jalanan, sore hari Selasa 15 Juni 2010

Rabu, 19 Mei 2010

Marah yang Merah

Perempuan itu bergincu. Merah. Bayi dalam gendongannya menangis. Marah

Beberapa tetangga memanggilnya Mbak Mir. Miranti. Usianya entah berapa. Muda. Awal dua puluhan sepertinya. Ia hidup nomaden. Dari satu petak kontrakan ke petak lain kontrakan. Kadang lebih kecil. Jarang yang lebih besar. Tergantung penghasilan. Ia tak pernah bertahan lebih dari tiga bulan dalam satu petak kontrakan. Didemo ibu-ibu sekitar. Ibu-ibu yang gusar. Gusar suaminya sering menghilang tengah malam.

Miranti tak pernah menutup pintu rapat-rapat. Tak pernah mengenakan pakaian rapat-rapat. Ramah pada setiap tamu yang datang dalam petaknya. Datang berbasa-basi sebelum beraksi. Kebanyakan lelaki.

“Anakmu lucu sekali.”
“Terima kasih.”
“Berapa usianya?”
“Entah. Belum genap setahun yang kuingat.”
“Sudah merangkak?”
“Sudah. Ia selalu merangkak ke arah dadaku. Minta disusui.”

Basa-basi tak pernah lebih lama dari pariwara di sela drama televisi. Tamu Miranti menyegerakan diri. Merangkak ke arah dada Miranti. Minta disusui. Biasanya ini tanpa basa-basi. Setelahnya, beberapa lembar rupiah berganti genggaman. Miranti segera menuju minimarket yang buka seharian. Beli susu kemasan. Ia terlalu lelah untuk menyusui bayinya. Entah siapa bapaknya. Salah satu tamu yang kebocoran.

Alasan ekonomi kata Miranti. Klise. Ia tak punya ijazah. Tak punya bakat yang untuk diasah. Ia punya kelamin yang sering basah. Kali pertama basah oleh ayah tirinya. Basah tak berbuah. Ibunya kehilangan kendali atas nafasnya. Meninggal seketika setelah tahu kelamin Miranti basah. Sebelumnya sempat murka. Berapi-api. Merah. Semerah darah yang mengucur di kepala suaminya setelah linggis menghantamnya.

Bayi itu masih menangis. Marah. Merah. Merayu pada susu ibunya yang terlalu sibuk menyusui bapak bayi tetangga
————————————————————————————————

-semoga tak ada lagi frase klise ‘alasan ekonomi’ di balik prostitusi.
[AG] di dalam petak perseginya, 19 April 2010