Kamis, 27 Januari 2011

Pesan Terakhir Tahun Pertama

 
Hari terakhir bulan pertama tahun ini

Aku masih menunggumu. Sehari semalam sejak kemarin malam. Aku menunggumu sampai bosan itu datang lalu pergi lagi. Aku menunggumu dari terang hingga gelap merajai malam. Kau bilang akan datang malam ini membawa kembang cinta bersama hujan untukku. Kita akan bercinta di ruang persegi milikku dengan irama gendang-gendang hujan. Ini sudah tengah malam. Tak ada hujan. Tak ada rembulan. Hanya gerimis tak romantis yang menyisakan kunang-kunang. Kau tak jadi datang. Kau tersandung bulan yang separuh benderang.

Aku menunggu bukan karena aku harus. Aku menunggumu karena keyakinan kau layak kutunggu. Sebuah pesan pada kartu ucapan selamat ulang tahun yang kau berikan bersama sekotak cokelat kegemaranku berhasil meyakinku. Pesan yang selalu kubaca hampir di setiap bangun dari tidurku. Aku menempelnya di dinding kamar:
Aku tidak sempurna. Kau tidak sempurna. Aku tahu. Tapi tahukah kau? Aku akan jadi satu-satunya orang yang bertahan dan bilang “Kau hebat!” dengan lantang saat ketidaksempurnaanmu diakui semua orang meluluhlantahkan segala pujian.
Akulah orang pertama yang akan dengan senang hati memaafkan saat kau melakukan kesalahan dan semua orang menudingmu bersalah, memberimu kesempatan kedua untuk memperbaikinya dan masih ada seribu kesempatan setelahnya.
Saat bualanmu mulai tak terbukti, tak ada lagi yang mempercayaimu, aku akan tetap menjadi pendengar terbaik untukmu. Saat kau tersandung dalam perjalanan hidupmu, jatuh lalu terinjak, aku akan tetap bertahan memapahmu kembali berdiri menghadapi dunia.
Saat dunia mulai menjauhimu dan kau hanya punya air mata, aku tidak akan membuat jarak sedikitpun denganmu dan tanganku akan segera menghapus air mata itu. Saat tak ada lagi senyuman yang tertuju padamu, bibirku akan tetap memberikan senyuman terbaiknya untukmu.
Saat kau menua dan kelelahan sedang tak ada lagi yang peduli, aku akan tetap ada untukmu dengan bahu yang siap kau jadikan tempat bersandar mengeluh dan aku akan meninabobokanmu tak peduli suara sumbangku.
Satria

Hari pertama bulan kedua tahun ini.
Sehari sebelum genap delapan bulan pergumulan kita.

Kau datang pagi ini tanpa kembang di tanganmu. Keletihan semalam yang kau hadiahkan untukku. Letih sekali hingga aku tak bisa melihat senyummu. Aku tahu kau kemana semalam. Kau bercinta dengannya yang kukenal di perayaan tahun perak kantormu sebulan lalu. Seorang teman kerja mudamu. Aku tahu dia lebih dari sekedar teman yang kerap kau ajak menikmati sesapan kopi seusai jam kerja di kedai favorit kita. Aku tahu kau selingkuh dariku. Aku tahu sejak tak ada lagi senyummu bagiku. Sejak telingamu mulai merapat bagi kalimat-kalimatku. Sejak kau menemukan kembang yang lebih wangi tapi tak lebih indah dariku. Aku tahu aku dimadu. Kurelakan berbagi hatimu dengannya. Berbagi peluhmu dengannya. Berbagi kelaminmu dengannya. Aku bertahan dengan kerelaan yang menusuk tajam paru-paru. Sesak!


“Aku kira kau tak akan datang.”

“Kalau aku janji datang, maka aku datang.”

“Janjimu datang sebelum malam. Kini kau datang saat matahari benderang.”

“Yang penting aku datang!”

“Datang kelelahan setelah semalaman bercinta dengannya.”

“Jangan mulai! Ini masih pagi.”

“Aku tak pernah memulainya. Kau yang memulainya. Menghancurkan hubungan yang kita bangun bersama nyaris delapan bulan. Kau tergoda lajang jalang itu. Aku tak pernah berpikir akan secepat ini.”

“Kau sudah tahu aku ini bangsat. Tinggalkan saja aku jika itu maumu.”

“Mauku? Itu maumu. Agar kau bisa leluasa bergumul dengannya. Kau pikir aku akan menyerah begitu saja setelah semua pengorbanan ini?”

“Apa yang kau korbankan?”

“Harga diri dan keluarga. Apa kau lupa demi siapa aku rela meninggalkan ibu bapak yang tak pernah mau menerimamu?”

“Sudahlah!”

“Apanya yang sudah? Aku ikhlas saat tahu ternyata selama ini aku tidur dengan pelaku kriminal. Aku setia menunggumu hanya dengan bantal saat kau tak pulang tujuh malam di kurungan.”

“Kau mencintai penjahat.”

“Aku mencintaimu sebusuk apapun baumu. Apa ada yang lebih tahan dariku menyimpan belangmu? Ibumu saja lupa punya anak sepertimu.”

“Kau mencintai kelaminku, bukan aku!”

“Persetan dengan kelaminmu! Aku muda dan menarik. Aku bisa mendapatkan kelamin lelaki manapun yang kumau. Tapi maaf, aku tak sehina lacurmu itu.”

“Apa maumu?”

“Tetapkan kelaminmu padaku atau si jalang itu!”

“Keduanya tak ada yang lebih baik. Aku tak akan memilih. Aku akan menghilang dari kalian. Adil!”

“Racun! Mulutmu racun. Jangan samakan aku dengannya. Dunia tahu aku lebih layak atas dirimu!”


Hari kedua bulan kedua tahun ini.

Aku terbangun dari kenyataan buruk semalam. Sendirian. Tak ada perayaan. Tak ada kebiasaan. Seharusnya hari ini ada mawar kedelepan. Kau pergi di sela-sela kalimatku yang menggantung di bawah malam. Tak ada hujan. Tak ada rembulan. Hanya gerimis tak romantis yang menyisakan kunang-kunang. Kau mengikuti hasratmu. Entah ke pelukan si jalang itu atau si jalang lainnya aku tak tahu. Aku hanya tahu ternyata kau tak layak untukku. Semoga Tuhan yang kau sembah masih mau menunjukan arahnya padamu. Aku tak meyesalimu. Aku justru prihatin saat tahu baumu semakin menyengat. Kudoakan dari jauh agar kau berjumpa dengan kembang surga yang semerbak di ujung jalan sana.


Hari kedua bulan keenam tahun ini.

Seharusnya hari ini menjadi hari yang paling kutunggu. Hari yang menggenapi tahun pertamaku denganmu, lelaki yang pernah menjanjikan cincin pengikat. Berjanji menikahiku di sebuah gereja lain benua. Berjanji menjadikanku satu-satunya milikmu. Sudah empat bulan janji itu menguap. Diuapkan gairah kelaki-lakianmu. Mengaburkan harapku yang sempat setinggi matahari. Sekarang, aku sendiri.

Aku masih sama seprti manusia kebanyakan yang gemar mengharapkan sesuatu yang aku tahu tak mungkin lagi. Aku masih mengharap bisa melalui hari ini denganmu. Berdua dalam ruang milik kita yang kuhuni sendiri empat sasi belakangan ini. Mengharapkan perayaan kecil dengan lilin di tengah meja makan. Aku akan memasak sup jagung kesukaanmu. Kau bilang, sup jagung buatanku bisa menghangatkan perutmu, menghangatkan ujung harimu yang melelahkan.

Tak ada lilin di meja makan. Tak ada sup jagung untukmu. Aku hanya memiliki pesan terakhir di ponselku yang kau kirim sebulan lalu:

Dari: Satria
Maaf jika pesan ini menganggumu. Aku hanya ingin kau tahu aku menepati janjiku. Aku benar tak memilihmu, juga dia. Aku tahu ini tak adil buatmu, tapi aku senang melakukannya. Setidaknya, aku tak sempat menularkan virus ini padamu. Aku takut sempat menyampaikan ini, kaulah yang terbaik, Damar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar