Kamis, 19 Agustus 2010

Selamat Pagi


Saya ingin sekali bertemu dengan anda dan menanyakan kemana gerangan anak ayam yang sempat kutangkap melayang. Apakah dia tak nyaman dalam kandang atau saya kurang memberinya asupan?

Saya ingin sekali bertemu Anda dan menanyakan apa jadinya jika saya memutuskan tidak ambil bagian dalam proses ibu berair mata, sementara bapak tak berhenti mengaduh pada isi celana dalam si bungsu satu.

Saya ingin sekali bertemu dengan Anda dan menanyakan warna apa yang sebaiknya tersapuh pada dinding yang goyang karena malam memaksa memukulkan mau padanya dan saya benci merah menyala.

Saya ingin sekali bertemu dengan Anda dan menanyakan di mana tempat terasing untuk sembunyi karena sepertinya Anda sedang berada di sana dan berharap saya terus berlari menujunya.

Rabu, 18 Agustus 2010

Ada Berapa Banyak Indonesia?



Bulan Agustus menjadi bulan penting bagi Indonesia. Nuansa merah-putih membauri Nusantara dengan gegap gempita semangat nasionalisme yang entah mengapa mendadak menyala di satu tanggalnya. Banyak orang gembar-gembor soal kemerdekaan. Antara sebuah perayaan atau sekadar kebiasaan.

Jutaan ucapan untuk bangsa ini terpampang di segala ruang. Pun di Kompasiana. Mata saya dibuat lelah membaca kalimat seragam di sini di sana di mana-mana: “Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia Ke-65″ atau “Selamat HUT Indonesia Ke-65″

Indonesia ke-65? Bukankah itu berarti ada 64 Indonesia lainnya? Di mana 64 lainnya itu? Saya hanya tahu ada satu Indonesia. Koreksi jika saya salah. Setahu saya yang “ke-65″ itu adalah tahun kemerdekaan kita, bukan jumlah Indonesia. Saya kira penggunaan HUT-pun agak kurang tepat. Akronim dari Hari Ulang Tahun ini biasanya diasosiasikan dengan hari kelahiran. Bukan Indonesia sudah ada sejak sebelum 17 Agustus 1945?

Apa yang sebenarnya sedang kita peringati? Kemerdekaan Indonesia? Ulang tahun Indonesia? Atau jumlah Indonesia yang sudah mencapai enam puluh lima? Entahlah, saya hanya ingin mengucapkan: Selamat Hari Kemerdekaan Ke-65 Republik Indonesia.

---------------------------------------------------------------------
*logo 65 Indonesia oleh Bisri Mustova (http://mustova.com)

Senin, 16 Agustus 2010

We Belong Together for No Reason


Look straight on me
Find the light inside me
The brightest one
The never get down

We belong together for no reason

We're just boys and girls
I'll come into you someday with a pearl
To enlighten your eyes
Take you to the life race

We belong together for no reason

Yes, there's nothing too good to be true
We're all the same in blue
Stupid mistake maker
Silly young people pursuing the dream higher

We belong together for no reason

Take the ticket and we'll get on the train
Having world wide journey with no pain
Begin from Jogja to Prague Barcelona then
Drink the best wine after through out our vain

We belong together for no reason

-----------------------------------------
AG -Depok, 12 Agustus 2010
*sedang belajar bahasa non-Indonesia, maaf kalau payah

Rabu, 11 Agustus 2010

Perlu Lebih dari 24 Jam Sehari


Sudah 38 jam di luar rumah
mengumpulkan rupiah
sembari sesekali berusaha tertawa renyah
-meski susah. 

Sembilan kali naik angkutan umum ibu kota
kesepuluh nanti untuk kembali ke rumah,
secepatnya segera.

Beruntung bisa curi tiga
dari 38 pukulan untuk rebah
selurusnya.

Bukan soal panjang jarak
:ini soal hari depan seorang anak
mencari ruang di metropolitan semarak
semoga tak lekas muak.

Gusti, sampaikan pada ibu, aku
tak bisa tepati waktu
biarkan aku yang mengejar waktu,
dia tahu maksudku. 

Ada apa sebenarnya dengan Minggu?
yang aku tahu
:ada air mata di sela pengharapan para ibu.

————–
Di luar rumah dan akan segera pulang, 8 Agustus 2010

Rabu, 04 Agustus 2010

Mencatat Mimpi di Teluk Naga

Jika sekarang saya ditanya apa yang saya miliki ketika kecil dulu, jawabannya adalah mimpi. Masa kecil merupakan saat-saat mimpi berada di tempat yang tertinggi dalam aura keluguan. Saya mau jadi ini, saya mau jadi itu. Sama seperti saya kecil, anak-anak di SD Negeri Muara 1, Teluk Naga, Tangerang juga memiliki mimpi yang luar biasa. Hal ini terungkap saat saya dan teman-teman Spasi bertandang kesana untuk bermain dan berlajar bersama mereka, Sabtu 31 Juli 2010.

Spasi, menurut paman petani Syam Asinar Radjam adalah kumpulan muda-mudi yang sering pusing akibat suka iseng. Kali ini, Spasi memutuskan untuk iseng berkumpul bersama di sekolah yang terletak di salah satu daerah tertinggal tersebut. Keisengan yang semoga tak menimbulkan kepusingan. Kami yang berasal dari berbagai kota, Jakarta, Depok, Bekasi, Medan, Jogja, Bandung, dan Purwokwrto, mendatangi anak-anak di sana untuk Belajar Mengisi Spasi.

Belajar Mengisi Spasi adalah sebuah lokakarya sederhana tentang belajar menulis yang menyenangkan. Kegiatan ini ditujukan bagi teman-teman kecil kita yang belum punya akses untuk belajar tentang seluk beluk kepenulisan. Sebuah bentuk kepedulian Spasi terhadap anak-anak dan mimpi yang mereka punya.

Kegiatan diawali dengan perkenalan singkat dan ice breaking yang dipimpin oleh saya dan saudari Pungky selaku duo pemandu tawa. Setelah makan siang, anak-anak dibekali metode penulisan sederhana yang disampaikan oleh penulis dan pendidik, Mariska Lubis. Dua puluh anak terlihat antusias memperhatikan setiap hal yang disampaikan. Mereka menulis cerita bersama sambil diselingi sesekali tawa yang membuat saya bertanya pada diri sendiri: kapan ya saya terakhir tertawa seriang dan sejujur mereka?

Kejutan


Satu putaran 360 derajat sebelum memukul Lima, sore hari ini.
 
Aku sedang mengamati percakapan virtual dalam layar persegi. Kotak mini berbasis koneksi yang menimbulkan kesenangan maksimal. Karenanya, aku begitu menikmati akhir pekan lalu. Ini bukan pesta pora, bahkan gaun pun tak ada.

Aku butuh lebih dari sekadar kumpulan kepala berkumpul dalam ruang istimewa bertabur iringan dansa. Mengenal mereka dan melakukan hal yang kusuka adalah berkah. Aku tak perlu lagi taburan konfeti karena mata mereka aneka warna. Aku tak perlu lagi setelan berdasi karena mereka pembuat nyaman tanpa batasan nominal. Aku tak perlu lagi pesta karena mereka melagu aneka irama.

Aku masih bersyukur sejak akhir pekan itu; yang euphorianya terus menggema; yang pertautannya semakin lekat; yang seperti tak berjarak; yang membangunkanku dari tidur malas tanpa kantuk tanpa mimpi; yang mengajariku bernafas lagi.

Aku masih bersyukur sembari menunggu Lima terpukul. Bersyukur dalam gaung paling merdu yang serta-merta kau hentikan dengan getaran telepon genggam. Anak bungsu ibuku dalam jaringan, “Mas, ibu sakit. Cepat pulang.”

Kenapa kau gemar sekali memberi kejutan, Gusti? Aku baru saja bersyukur dan sekarang kau memaksaku menghujatmu lagi. Maaf, aku tak suka kejutanmu kali ini.

Sore ini dalam perjalanan pulang setelah Lima terpukul Enam menjelang.