Minggu, 28 November 2010

Pulang


hari terakhir bulan merah jambu tahun kabisat
pada gugusan ilalang gersang di utara kota
senyummu menggeliat
di bawah matahari yang terluka

gerakmu menasbihkan kemasygulan dunia kini
genit lincah kesana kemari
tak peduli matahari sedang luka
inginku kau kubawa pulang saja

sore bergerak mengiringi matahari ke ufuknya
pada sebuah restoran bergaya Perancis kau menyanyikan lagu luka
aku tahu lukamu tak sebolong matahari siang tadi
tak semerunduk petani gagal panen padi

kau sudahi alunanmu pada lagu ketiga
gincumu masih memerah, semerah luka

ingin kuhapus kepalsuan bibirmu dengan sebuah romansa
inginku kau kubawa pulang saja

Minggu, 28 Pebruari 2010

Sabtu, 27 November 2010

Buat Apa Menghujat Matahari?


Selamat malam, Biru. Kepala ini
lebam isinya. Apa kau tahu sebab
semesta muram? Siapa
sedang berusaha memakamkannya,
perlahan?

Ia tak pernah cemburu. Tidak ada
pamrih. Tiada mengeluh. Terima
kasih, peluh.

O, aku lupa. Pun Ia tak
ada pernah berniat
sombong. Bukan Ia si pembuat hati
berongga, sombong. Si penguap barisan
kata yang tertunda ucap, pun bukan Matahari.
Mungkin lainnya, mentari.

Mentari kerap pergi,
diam-diam. Beranjak. Matahari bergerak.
Tak pernah benar-benar berjarak.
Ia, yang setia, mengamini
bait-bait para pendoa.

Hari masih separuh saat gelap
bergulir. Lusinan doa terapal,
cepat-cepat. Mengiringi Matahari,
lambat-lambat.

Tak akan ada Ia lagi
setelahnya.


Depok, 2010

Selasa, 16 November 2010

Saya dan Kompasiana: Ruang Bebas Terbatas


Tertulis tanggal 15 Januari 2010 di halaman profil akun Kompasiana saya. Ini berarti sudah 10 bulan saya berkutat dengan sebuah portal yang menyebut diri sebagai jurnalisme warga. Saya ingat betul bagaimana saya berkenalan dengan Kompasiana. Saat itu, pertengahan Januari, saya sedang membantu adik saya mencari data untuk kelengkapan tugas sekolahnya. Salah satu dari sekian banyak hasil pencarian di Google menautkan saya ke Kompasiana. Saya perhatikan, saya baca, saya menggumam “It’s the place I should be at”. Seperti menemukan tempat yang tepat, saya masuk mantap, tanpa gelagap.

Saya, Kompasiana dan Orang-orang Hebatnya

Selang beberapa minggu saya meracau di Kompasiana, seorang kompasianer Jogja, Adityo, mengenalkan saya pada kawan-kawan Anggurmerah. Saya yang berusaha mengerti tag “anggurmerah” dan kemudian merasa satu visi dengan mereka, akhirnya bergabung bersama muda-mudi absurd nan cemerlang dalam tag tersebut. Mereka adalah kaum muda dengan buah pikir yang luar biasa, menurut saya.

Akhir Januari, ada info soal kegiatan kopi darat (kopdar) para kompasianer di Taman Ismail Marzuki. Dengan maksud ingin mengenal orang-orang hebat yang wara-wiri di Kompasiana, saya memutuskan hadir meski masih menjadi anak bawang. Entah kenapa, saya merasa paling muda saat itu, haha. Hari itu berakhir dengan obrolan panjang di rumah Paman Syam. Senang sekali bisa bicara banyak dengan para tetua Kompasiana di rumah Ibu Kita itu. 

1289675160670702849
Kopdar di Taman Ismail Marzuki

Setelahnya, saya kerap hadir di pertemuan-pertemuan baik yang diadakan admin, Monthly Discussion, maupun sekadar kopdar lesehan yang digagas mandiri oleh teman-teman Kompasiana. Mengenal banyak orang dengan segala rupa karakter dan pemikiran yang tak pernah sama adalah berkah bagi saya. Sayangnya, pertemuan dengan mereka selalu dibatasi waktu. Saya kira ini penting, karena komunitas maya tidak sama dengan dan kadang lebih nyaman ketimbang komunitas nyata di beberapa bagian.