Tampilkan postingan dengan label Apresiasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Apresiasi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Januari 2011

Diksi-Diksi dalam Puisi


Guru dan penggiat sastra.

Hari ini, kata yang terpopuler di Kompasiana adalah tidak lain tidak bukan: DIKSI.  Banyak polemik, pertanyaan, gonjang-ganjing belum lagi seabrek komentar yang berputar di, masih kata yang sama, DIKSI. Sebenarnya apa sih diksi itu?

Menurut wikipedia: Diksi, dalam arti aslinya dan pertama, merujuk pada pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh penulis atau pembicara. Arti kedua, arti “diksi” yang lebih umum digambarkan dengan enunsiasi kata - seni berbicara jelas sehingga setiap kata dapat didengar dan dipahami hingga kompleksitas dan ekstrimitas terjauhnya. Arti kedua ini membicarakan pengucapan dan intonasi, daripada pemilihan kata dan gaya.

Menurut KBBI, DIKSI berarti pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).

Diksi Dalam Puisi

Sebenarnya diksi tidak hanya dipakai dalam menulis puisi. Dalam menulis cerpen, novel, essai, artikel, sampai karya ilmiah sekalipun, diksi juga diperlukan. Tapi baiklah kita membicarakan diksi dalam puisi saja kali ini (sesuai dengan topik yang sedang menghangat di kompasiana saat ini).

Saya sendiri senang menulis puisi dan menyadari salah satu unsur penting dalam menulis puisi adalah pemilihan diksi. Karena puisi adalah bentuk karya tulis yang tidak memakai banyak kata-kata, cendurung tidak deskriptif dan naratif, maka pemilihan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan maksud dan nuansa tulisan haruslah dicermati dengan seksama. Termasuk di dalamnya menghindari pengulangan kata yang sama terlampau sering, pemilihan sinonim yang mewakili, sampai ke penggunaan tanda baca dan susunan bahasa. Misalnya ketika kita ingin mengungkapkan rasa kesepian, kata mana yang akan kita pilih; sunyi, diam, nelangsa, sendiri, sedih, sepi, senyap atau hening? Meski berkonotasi sama, tiap kata yang terpilih akan memberi warna yang berbeda apabila disandingkan dengan kata-kata lainnya dalam keseluruhan puisi.

Mendapat Kejutan dari Sahabat

Blogger

Terlepas dari ada atau tidaknya dinding pemisah di 2nd Anniversary Kompasiana di MU Café kemarin, saya mendapatkan KEJUTAN di sana. Kejutan itu datangnya dari sahabat saya, kompasianer Andi Gunawan yang akrab dipanggil Ndigun (http://kompasiana.com/ndigun). Kami bertemu di acara tersebut dan karya perdananya sebuah antologi prosa yang diterbitkan secara indie lewat nulisbuku.com, akhirnya sampai juga ke tangan saya. Malu-malu ia waktu saya todong menandatangani bukunya.

Tak sabar menunggu sampai di rumah, saya mulai membuka bukunya yang di beri judul KEJUTAN di dalam kendaraan yang membawa saya dari Sarinah Thamrin ke acara lain di sudut kota. Ternyata saya langsung terpikat di halaman awal dalam ‘Seratus buat Presiden’,

Apa kabar Pak? Apa makan siangmu hari ini? Masakan istana atau racikan Bu Ani? Apapun, pasti mengenyangkan sekali. Tak seperti kami yang menanak periuk tak berisi; meninabobokan anak-anak kami dengan dongeng dalam negeri; berharap mereka cepat lelap agar lupa perut belum kemasukan nasi.(hal.13)

Tulisan selanjutnya pun tak urung membuat saya malas menutup buku itu.  Halaman demi halaman semakin memikat dengan pilihan kata-katanya yang apik dan bermakna. Saya tak peduli soal diksi karena tak cukup punya ilmu soal itu. Yang jelas buku ini mampu menghanyutkan saya dalam pusaran Andi Gunawan yang tengah memainkan perannya dalam skenario Tuhan bernama kehidupan. Berikut petikan tulisannya yang saya suka,

Sepasti skripsi memakan kertas, sepasti itu tahun meretas usia dalam angka. Repetisi memuakkan tak terhindarkan dengan mantra sakti berjudul “Selamat”. Perayaan mendekatnya kematian –sebuah hitungan mundur. (hal. 41)

Sayangnya, terpaksa saya harus puas dengan ke-dua puluh prosa tarian penanya di buku perdana ini. Semoga Andi Gunawan, anak muda kreatif yang membuat saya bangga tak berhenti sampai di sini. Terbitnya buku selanjutnya menjadi harapan, doa dalam hati. 

Ketika Gelap Tak Selalu Kelam


Andi.
Aku sudah membaca bukumu, dan ada beberapa hal yang menurutku perlu kamu ketahui.
  • Ya, aku masih menemukan typo di sana-sini, khususnya untuk penggunaan kata depan 'di' dan 'ke'. Berkali-kali kamu masih menuliskan 'dimana' dan 'kemana'. Biasanya, sesudah dua typo di satu halaman yang sama, aku akan berhenti membaca. Tapi karena aku sudah berjanji padamu, kulanjutkan.
  • Gelap. Muram. Tak salah kamu memilih sampul berwarna hitam dengan pendaran cahaya kabur di sana-sini. Secara fisik, isi bukumu telah diwakili oleh sampulnya. Dua jempol untukmu.
  • Prosamu memang masuk dalam kategori prosa liris. Lebih berbentuk catatan harian, tetapi berhasil kamu hidangkan dengan pilihan kata yang tepat, aliran yang lembut dengan tempo yang serasi. Menghanyutkan, melanutkan, menggiringku perlahan dalam kemuraman.
  • Ya, muram. Tapi kamu dengan jelinya menyelipkan harapan dan kekuatan untuk bangkit bertahan di sela-sela keputusasaan dan kehampaan. Ini suatu kemuraman yang indah.
  • Judul. Dari semua prosa yang ada, mengapa tidak kamu pilih 'Ganjil' sebagai judul? Menurutku, ini yang paling kuat dari semua prosa, yang menjadi pengikat dan perekat keseluruhan cerita. -- Tapi ini hanya menurutku pribadi.
Secara keseluruhan, aku memberimu empat dari lima bintang. Kalau kelak kamu butuh review pendek dariku, aku akan menulis:
"Ketika gelap tak selalu kelam, ketika muram tak selalu diam, demikianlah Andi menggubah malam menjadi pualam."

Best Regards,