Kamis, 27 Januari 2011

Restu


Rosaria tahu waktunya telah tiba. Lima-puluh-tiga tahun cukup untuknya mengabdi sebagai manusia. Ia tak sabar menghadap Tuhannya. Ia takkan memohon surga. Ia hanya ingin berbincang tentang hari-harinya. Tentang suami, putra, dan calon menantu idamannya. Tentang  firman Tuhan yang diabaikan sesamanya.

“Buka alkitabku. Ada yang harus kau baca.” Rosaria sempat berpesan pada putranya, Renhard, sebelum ia benar-benar tak bisa menikmati udara.

Di rumah duka, Karina siap dengan kotak riasnya. Ia menghadap jenazah Rosaria damai dalam senyum terakhirnya. Renhard datang dan memberikannya selembar kertras.

“Karina.
Aku tak mau didandani. Biarkan aku menghadap Tuhan seperti pertama kali menghadap dunia. Imanku, riasanku. Berhiaslah dengan baik saat Renhard menikahimu. Aku akan meminta restu Tuhan untuk kalian.”

Pesan Terakhir Tahun Pertama

 
Hari terakhir bulan pertama tahun ini

Aku masih menunggumu. Sehari semalam sejak kemarin malam. Aku menunggumu sampai bosan itu datang lalu pergi lagi. Aku menunggumu dari terang hingga gelap merajai malam. Kau bilang akan datang malam ini membawa kembang cinta bersama hujan untukku. Kita akan bercinta di ruang persegi milikku dengan irama gendang-gendang hujan. Ini sudah tengah malam. Tak ada hujan. Tak ada rembulan. Hanya gerimis tak romantis yang menyisakan kunang-kunang. Kau tak jadi datang. Kau tersandung bulan yang separuh benderang.

Aku menunggu bukan karena aku harus. Aku menunggumu karena keyakinan kau layak kutunggu. Sebuah pesan pada kartu ucapan selamat ulang tahun yang kau berikan bersama sekotak cokelat kegemaranku berhasil meyakinku. Pesan yang selalu kubaca hampir di setiap bangun dari tidurku. Aku menempelnya di dinding kamar:
Aku tidak sempurna. Kau tidak sempurna. Aku tahu. Tapi tahukah kau? Aku akan jadi satu-satunya orang yang bertahan dan bilang “Kau hebat!” dengan lantang saat ketidaksempurnaanmu diakui semua orang meluluhlantahkan segala pujian.
Akulah orang pertama yang akan dengan senang hati memaafkan saat kau melakukan kesalahan dan semua orang menudingmu bersalah, memberimu kesempatan kedua untuk memperbaikinya dan masih ada seribu kesempatan setelahnya.
Saat bualanmu mulai tak terbukti, tak ada lagi yang mempercayaimu, aku akan tetap menjadi pendengar terbaik untukmu. Saat kau tersandung dalam perjalanan hidupmu, jatuh lalu terinjak, aku akan tetap bertahan memapahmu kembali berdiri menghadapi dunia.
Saat dunia mulai menjauhimu dan kau hanya punya air mata, aku tidak akan membuat jarak sedikitpun denganmu dan tanganku akan segera menghapus air mata itu. Saat tak ada lagi senyuman yang tertuju padamu, bibirku akan tetap memberikan senyuman terbaiknya untukmu.
Saat kau menua dan kelelahan sedang tak ada lagi yang peduli, aku akan tetap ada untukmu dengan bahu yang siap kau jadikan tempat bersandar mengeluh dan aku akan meninabobokanmu tak peduli suara sumbangku.
Satria

Hari pertama bulan kedua tahun ini.
Sehari sebelum genap delapan bulan pergumulan kita.

Kau datang pagi ini tanpa kembang di tanganmu. Keletihan semalam yang kau hadiahkan untukku. Letih sekali hingga aku tak bisa melihat senyummu. Aku tahu kau kemana semalam. Kau bercinta dengannya yang kukenal di perayaan tahun perak kantormu sebulan lalu. Seorang teman kerja mudamu. Aku tahu dia lebih dari sekedar teman yang kerap kau ajak menikmati sesapan kopi seusai jam kerja di kedai favorit kita. Aku tahu kau selingkuh dariku. Aku tahu sejak tak ada lagi senyummu bagiku. Sejak telingamu mulai merapat bagi kalimat-kalimatku. Sejak kau menemukan kembang yang lebih wangi tapi tak lebih indah dariku. Aku tahu aku dimadu. Kurelakan berbagi hatimu dengannya. Berbagi peluhmu dengannya. Berbagi kelaminmu dengannya. Aku bertahan dengan kerelaan yang menusuk tajam paru-paru. Sesak!

Si Anak dari Perempuan Hebat: Sum


Dua orang sahabat mencatatku
-----------------------------------


Dia bicara tentang kodrat saat pertama kali bertemu. Dia tidak memilih menjadi laki-laki, walaupun ada batang penis di selangkangannya. Dia adalah digraf ‘kh’ dalam kata ‘makhluk’. Sekalipun samar, aku melihat jarinya berbentuk pena dan di dadanya ada sinar bertuliskan ‘IBU’.

Di balik virtual, dia bercerita tentang keluarga. Tentang mimpi seorang perempuan tua yang terhambat dia wujudkan, tentang mimpinya sendiri yang dia kesampingkan. Seolah sangat meyakini, bahwa pintu masuk surga benar-benar tersembunyi di bawah telapak kaki perempuan tua itu, yang dia panggil Ibu.

Seperti aku, dia juga suka menyapa Tuhan. Tetapi, ada malaikat bilang padaku bahwa Tuhan agaknya lebih suka berbincang dengannya. “Cerita kalian pada Tuhan serupa tak sama. Kau terlalu muluk tentang jodohmu, sedang dia justru ingin menjodohkan Tuhan dengan ibunya.”

Malam kali pertama aku membuka isi kepalanya. Indah. Dia mahir bermain kata-kata. Masih, dia menyanjung puji keanomalian otakku. Sedang dia bercerita tentang realita, menyajikannya dengan semburat warna. Entah bagaimana, abu-abu pun tak terasa sendu di tangannya. Aku mengagumi itu, berhenti mengeluh dan menerima. Seharusnya dia tidak menundukkan kepala. Angkat topi dan hormat tertinggi untuk keberaniannya melirik ke belakang, tanpa tertatih berjalan ke depan.

Lama setelah itu, dia menceritakan umurnya. Menurutnya, sejak dulu dia sudah dikarbit tak sengaja oleh keluarganya. Astaga! Menurutku, dia neokarpi! Dan bunganya harum dan buahnya ranum. Tiba-tiba saja aku ingin mengganti anggurku dengan kreolin. Aku malu. Kuputuskan untuk tidak bertemu lagi dengannya.

Aku bukan biarawan, katanya. Dosa aku masih punya. Nafsu pun sesekali singgah. Apapun itu, dia laki-laki, istimewa. Rasa lapar dia tangkis dengan jejak-jejak tulisan. Masih sempat dia mendengar beberapa cerita dari kawan, padahal dialah yang paling membutuhkan sandaran.

Aku benar-benar mengganti anggurku dengan kreolin sesampaiku di rumah. Tapi, aku memang pengecut! Aku tidak jadi meminumnya, cuma berani mencium aromanya. Aku mabuk, kemudian menangis. Dia meneleponku, tidak kujawab. Dia mengirimkan surat elektronik, tidak kubalas. Lalu akhirnya aku menyerah ketika dia mengirimkan aku sebuah lukisan kota. Aku memang kagum setengah hidup setengah mati padanya. Kubalas suratnya dan segera meneleponnya. Dia bilang: rindu. Aku bilang: hai, sinar kosmik!

Berjanjilah padaku, mainkan sebuah lagu saat nanti kita bertemu. Begitu pintanya, aku mengiyakan. Lagu pertama yang kubawakan di depan orang ramai, pertama kuhafal di luar kepala. Setinggi itu aku menghargaimu, anak Sum. Bahkan untuk merasa sedih di depanmu pun aku rasa aku tak akan mampu. Bagaimana aku mengeluh tentang luka yang digoreskan hidup di pesisir dahiku, sementara badanmu penuh luka, tapi bukan darah, kulitmu mengeluarkan cahaya.

Aku lega sekali bisa berjalan berduaan lagi dengannya. Aku berharap ada bahagia yang kutinggalkan di sekujur hatinya setiap bertemu denganku. Aku ingin sekali menciumnya, tetapi dia lebih pantas diberi decak kagum. Maka, aku melakukannya kapanpun aku bisa, kadang sembari membayangkan senja di Sadranan yang pernah ia ceritakan.

Dan sore tadi aku terima sebuah undangan. Untuk bertemu seorang perempuan hebat yang telah melahirkannya. Hampir berteriak aku senang, girang bukan kepalang. Rasanya ingin ikut mengecup tangan si perempuan tua jika diperbolehkan. Jika Ibuku begitu menakjubkan, maka kupastikan dia iri kepada Sum, yang memiliki anak lelaki dengan hati selembut sulaman sutra karya tangan.

Suatu malam, kami berbincang lewat pesan instan persegi empat. Mungkin kami berjodoh, karena kami sama-sama kelaparan malam itu. Ada air menggenang tiba-tiba di mataku dan segera saja mengalir senyap ke pipiku, setelah dia katakan kepadaku bahwa hanya ada nasi di rumahnya untuk dimakan. Tidak ada mi instan dan telur seperti yang selalu tersedia di rumahku, tidak ada cemilan anu ini itu seperti yang selalu ada di kamarku, tidak ada? Aku ketik: "andai bisa mengirimkan makanan lewat messenger kita ini ya?" Ah! Dia tak perlu negeri dongeng! Kelak aku datang kesana, ke rumahnya, membawa hasil resepku. Dia ketik: ‘aikon senyum’, yang indah sekali.

Tapi dia tidak perlu dikasihani. Tidak, tidak. Terkasihani hanya bagi mereka yang lemah. Dia kuat, sekali! Dan aku mengasihinya, itu berbeda. Masih pagi lagi ketika kami bertukar salam menyambut hari melalui pesan singkat seratus empat puluh huruf. Dia katakan tak sabar menunggu siang, telah disiapkan sang Ibu, sekotak bekal. Aku tak tahu isinya apa, rasanya bagaimana, itu tidak penting. Yang aku tahu, dia akan makan lahap sekali. Lalu mengetik kabar gembira berbagi padaku dan semua, bahwa masakan itu adalah terlezat di dunia.

Andi adalah peri yang selalu berucap "atas nama ketidaksempurnaan", yang tak pernah alpa mengingatkanku untuk melafalkan doa-doa di atas bantal. Mari kutebak: Ibu peri pasti cantik sekali.



Jakarta-Medan, 25 Juli 2010.
Alinea ganjil Sabrina : Fiksi yang kisah nyata; cetak-tebal-miring adalah karya-karya anak Ibu Sum.
Alinea Genap Dee Dee : Penggalan pembicaraan yang tersangkut di kepala.

*Rekam kata aslinya terdapat di sini.

Sabtu, 22 Januari 2011

Resolusi



Rabu, 31-12-1997
23:50 WIB

Pria berkulit putih itu baru selesai membuat bakmi. Dari dapur, dengan kepincangan kakinya, ia tertatih menuju sofa yang menghadap televisi. Duduk. Di tangan kirinya, semangkuk bakmi. Di tangan kanannya, remot televisi. Klik!

23:55 WIB
Penduduk berkumpul di taman hiburan di utara kota. Mereka menghadap panggung besar yang diapit kotak-kotak sumber suara. Pengisi acara, pemandu, gubernur dan antek-anteknya bersiap di hadapan tombol merah besar. Hitungan mundur segera tersiar.

Kamis, 1-1-1988
00:05 WIB

Separuh mangkuk bakmi termakan. Hitungan mundur selesai diteriakkan. Tombol merah tertekan. Pria itu menikmati ledakan. Ia baru saja menyaksikan kembang api paling gemuruh. Pembalasan bagi kaumnya yang terbunuh. Di televisi, ia melihat orang-orang satu warna, hitam.

Terjebak



Firman seperti terkutuk. Bayangan Disa yang menangis dengan gaun pengantin lengkap tak mau lepas dari mata dan pikirannya, meski dalam kantuk. Ia melihatnya di kamar mandi. Di lorong-lorong kampus yang sepi. Di layar televisi. Di pusat belanja bergengsi. Di metromini. Setiap hari.
Ia pernah sengaja meminum pil-pil tidur, berharap bayangan itu lekas mundur. Firman gagal. Bahkan dalam mimpi, Disa terlihat begitu kekal. Disa sukses menjebaknya dalam labirin rasa bersalah yang tiap sudutnya memantulkan bayangannya, tangisannya. Menghindarinya, seperti harus menyumbat arteri-vena.
Sebulan lalu, seorang mahasiswi ditemukan tewas di kamar kostnya. Pecahan gelas memutus nadi di pergelangan tangan kirinya. Ia tewas dalam keadaan hamil dua bulan. Di lantai, darah membentuk sebuah nama, Firman.

Minggu, 16 Januari 2011

Buat Ani



Selamat menua, Nona! Enam belas tahun lebih dari sekedar usia. Berhentilah mengeluh soal banyak hal sepele. Jangan hanya berpikir bagaimana tampil kece. Mulailah belajar bersyukur. Belajar menikmati mimpi meski kadang gugur. Dengar, aku tak pernah melarang kau bermimpi. Sesukamu setinggi-tinggi. Tapi ingat soal keterbatasanmu. Aku tak minta kau uapkan mimpimu. Sederhanakan saja semampumu. 

Lihat bagaimana saudara-saudara perempuan pendahulumu. Kau tak perlu bersumpah takkan mengulangi kesalahan mereka. Toh, aku tak menghakimi mereka sebagai perempuan-perempuan gagal. Hanya nasib mereka terlampau sial. Aku tahu kau akan menjadi lebih beruntung ketimbang mereka yang masih terlalu muda saat anak-anak lucu itu memanggilnya Ibu. Aku takkan pernah mau lagi ke Pasar Pramuka demi obat peluruh sialan itu. Dosaku sudah menggunung. Aku yakin kau takkan sudi menjadikannya bergunung-gunung.

Belajarlah berdamai dengan dirimu sendiri. Berdamai dengan mulutmu yang kerap memaki. Aku tahu aku tak sempurna, pun dirimu. Berilah keadilan pada waktu. Aku tahu kau muda belia ingin ini, ingin itu, ingin anu. Serahkan semua pada waktu. Kau tak harus menggamit kelamin lawan jenismu jika kau pikir itu belum waktunya. Aku lelaki, aku tahu lelaki. Mereka kadang bisa melancarkan rayu-rayu semerdu dendangan ibu. Yang kau perlu adalah keyakinan soal hari depanmu. Berkacalah pada realita yang lekat tak jauh dari mata hidungmu. Dulu itu kau bagai putri dalam kerajaan bapak ibumu. Apa yang kaumau terhidang dengan cepat tak perlu waktu. Tak ada kerajaan kini. Aku tahu kau tak begitu siap dengan tetek bengek kekurangan di sana di sini. Semua jadi tak seperti yang kaumau. 

Pernah tahu badai? Buka buku geografimu kalau kau tak tahu. Anggap saja kita ini sedang diterpa badai entah sampai kapan nanti. Kau juga harus tahu akan ada pelangi saat badai berhenti. Aku tahu kau suka pelangi, pun aku. Merah. Jingga. Kuning. Hijau. Biru. Nila. Ungu. Sewarna-warni lollypop kegemaranmu dulu. Sewarna-warni hidup yang kadang kelabu. Kelabu yang kerap mengundang kau berairmata. Ahh, aku jadi ingat soal air matamu saat kau mengadu pada hujan. Kau tulis begini pada catatan Facebookmu:
di depan teras rumah
kulihat gemericik hujan membasahi bumi
bumi tempat aku berpijak
bumi tempat aku hidup
hidup dalam asuhan kedua orang tua
orang tua yang membimbing aku sampai saat ini
orang tua yang tegar
tegar dalam segala cobaan
cobaan yang mengguyur keluarga kami
aku rasa ini pahit, pahit rasanya
tetapi mereka tetap tersenyum manis menjalaninya
disaat hujan aku berharap
saat hujan berhenti semua itu berakhir
tapi tidak! SAMA !
sama seperti sebelum hujan turun
hambar!
Menangis memang kadang perlu. Tapi kuberi tahu, jangan pernah menangis lagi di hadapan ibu. Aku tahu tangis ibu lebih pecah di hatinya saat tahu salah satu dari kita berair mata. Aku tahu ibu lebih sering menangis di belakang kita entah di mana sambil memikirkan hari depan anak-anaknya. Aku lebih tahu ibu akan selalu ada di garis terdepan menyemangatimu saat senyummu tak terkendali barang sesimpul. Ayolah, jangan buat masa tua ibu menumpul. Kita sama tahu ibu berusaha tegar luar biasa. Kita sama tahu tak bisa setegar ibu. Kita sama tahu ibu senang teramat sangat melihat kita tersenyum. 

Belajar juga soal menahan hasrat. Jangan mudah dikalahkan pikiran sesaat. Aku tahu kau terlalu belia. Terlalu bergejolak melihat kawan-kawanmu punya hampir segala. Tapi kau tak harus punya Blackberry saat mereka menggenggam ke sana kemari. Kau tak harus turut serta menonton film drama cinta saat mereka sibuk berebut tiket sinema. Ingat lagi soal keterbatasanmu. Keterbatasan kita. Jujur aku ingin memberikanmu segala rupa sesuai yang kau pinta. Mungkin nanti saat kau sudah tak belia. Saat kau bangga menjadi perempuan hebat setelah melewati badai yang lebih kejam dari Katrina. Berdua kita akan merubah hari depan ibu. Merubah dunia. Merubah segala. Merubah badai jadi pelangi di sore yang jingganya menghangatkan keriput-keriput kulit ibu. Aku menjanjikan ini padamu. Sungguh. 

 -------------------------------------------------------
Yang selalu menjadikanmu putri dalam dongengku.
Seorang saudara lelaki dan sahabatmu
A

Sabtu, 15 Januari 2011

Menunggu Pintu Terketuk


Mba Iin

Tempo hari Bapak pulang kerja bawa martabak telur, kehujanan. Keponakan-keponakan kita berebut, takut tak dapat bagian. Uwi sibuk memisahkan daun bawang dari martabak, mirip yang kau lakukan, baru kemudian ia makan. Mendadak, aku dan Ibu saling pandang. Aku dan Ibu mau kamu segera pulang.

O, ya, aku lupa menanyakan, apa kabar Mba? Semoga tak ada lagi lebam di muka. Semoga tak ada lagi tangisanmu di tengah malam buta. Semoga anakmu, Erin, tercukupi asupannya.

Mba, aku tahu kau merasa bersalah. Aku tahu mengawini pria yang tak kauingini itu tak mudah. Aku tak minta kau untuk pasrah. Hanya saja, ini adalah resiko yang harus kau terima. Mungkin, aku lupa mengingatkanmu soal resiko dulu. Bahwa selalu ada resiko tak peduli kecil-besar perilaku. Aku tahu ini bukan pilihanmu. Ini total ego lelaki itu.

Aku masih tak habis pikir tentang caranya memisahkan kau dari keluargamu, dari aku. Aku tak pernah sudi memberinya predikat kakak ipar meski ia ayah dari keponakanku .

Aku sempat kecewa saat kau terakhir pulang. Ternyata, kau masih tak lepas dari monopoli si hidung belang. Kukira, kau tak akan pernah luluh lagi pada si bajingan. Aku tahu kau punya alasan. Perkara anakmu dan sebuah masa depan. Semoga kau tak lagi salah jalan. Aku pesan satu: sejauh apa pun kau mengikuti pria terkutuk itu, aku harap kau tak melupakan jalan pulang. Aku menunggu ketukanmu di pintu, pun Ibu.

Depok, 15 Januari 2011
A, saudara lelakimu

Supremasi Tuhan


malam menjelma rasa tak terarah
sebentuk hangat yang entah, 
gairah gundah

kopi menjelma asam termasam
memaksaku beranjak melupakan malam
menggapaimu yang entah di mana: tenggelam

remang neon menjelma gelap terpekat
menyadarkanku dari harap yang sekarat
tentang dunia, Engkau, dan aku terikat

AG, Januari 2011