Rabu, 30 Juni 2010

Laki-laki Layang-layang



hidup itu layang-layang
tertakdir atas kertas atas benang

laki-laki pun layang-layang
tarik ulur benang

melayang

goyang

terbawa angin jalang
terbuai di awang-awang

tersesat lupa jalan pulang

---------------------------------
18 Januari 2010
-ilustrasi diunduh dari Google

Selasa, 29 Juni 2010

Irama Hari

1
Dari gerimis sore setelah benang layang-layang tergulung tersirat keriangan -Anak Gunung

2
Dari rokok yang tak habis terbakar menguapkan Asam, mulutnya

3
Dari merahnya gincu menyempurnakan peran Perawan

4
Dari susahnya menyeberang hingga klakson bertautan merajai Jalanan

5
Dari sajak yang kehilangan rimanya pada selembar Kangen

6
Dari lampu merah yang kadang hijau lalu menguning terabaikan ban-ban; Metropolitan

7
Dari bunyi Endonesia yang menyamarkan kondisi Negeri

8
Dari isak tangis ibu di ijab kabul Pertama anaknya

——————————————————————-
A, Sabtu, 19 Juni 2010

Rabu, 16 Juni 2010

Lelaki Tua yang Kehujanan


Seperti sore-sore lainnya di hari kerja, sore ini aku memilih duduk di samping jendela. Entah sudah berapa menit sejak aku menghempaskan tubuh ini pada dudukan berbusa berlapis kulit hitam warnanya. Bis belum bergerak maju barang sejengkal, menunggu jumlah penumpang hingga berjejal. Aku mulai mual. Aku selalu mual mendengar suara mesin menderu tak bergerak tapi bergetar. Mualku dikagetkan langit yang tiba-tiba ikut bergetar.
Mendung tak bisa bertahan lebih lama. Ia memuntahkan bulir-bulir rinai, menghujani semesta. Membuat orang-orang bergerak lebih cepat dari biasanya. Berteduh.
Aku selalu bisa menikmati hujan yang seperti ini, tak berlebihan. Sejuknya sedang. Gemuruhnya tak panjang. Air hujan yang menghempas aspal jalanan membuatku kurang menikmati hujan kali ini. Aku tak mencium bau tanah. Bahkan tak kutemukan tanah di sepanjang mataku mengharah.
Aku sedang memberikan perhatian pada jalanan saat bis yang kutumpangi bergerak maju perlahan. Penjual rokok yang kebasahan. Kuda-kuda besi yang menepi kebasahan. Orang-orang yang menghindar dari kebahasan. Lelaki tua yang kebasahan.
Mataku terhenti pada tubuh ringkih berkeriput. Rahang yang pipih. Rambut jarang-jarang. Mata sayu yang tak berhenti menatapku entah sejak kapan. Mata milik lelaki tua yang kehujanan. Aku sempat melayangkan sesungging senyum sebelum bis pengantar pulang semakin menjauhkan pandanganku dari bawah pohon yang menaunginya. Lelaki tua yang kehujanan tak membalas senyumku. Ia hanya mengangkat tangannya. Mengarahkan telunjuknya ke angkasa. Menuntun arah pandangku ke gugusan awan yang hitam sebagian.
Awan sedang bersedih sore ini. Aku tahu karena tak kulihat jingga di antara gumpalan-gumpalannya yang menumpahkan hujan. Yang hitamnya bergerak-gerak perlahan. Yang menyentakku dengan petir segaris terang.
Petir mengembailkan arah pandangku pada pohon tempat lelaki tua yang kehujanan menunjuk angkasa. Tak ada siapa-siapa. Halte di sampingnya masih ramai oleh orang-orang yang menepi. Aku tak menemukan lelaki tua itu lagi. Lelaki yang mengantarku pada sentakan gendang petir di balik awan. Lelaki yang tak mau membalas senyum yang kupaksakan. Lelaki yang mengingatkanku pada sesuatu yang telah kuabaikan. Lelaki tua yang kehujanan.

———————————————
A, di jalanan, sore hari Selasa 15 Juni 2010

Selasa, 15 Juni 2010

Pesan Pendek Milik Tuan yang Tersimpan dalam Kotak

Dari: Raja

Hujan menghalangiku menemuimu. Akupun semakin merindu. Ada kalanya aku bosan denganmu, tapi tidak kali ini. Aku ingin mencumbumu, mesra.


Kepada: Raja

Aku baru saja berterima kasih pada hujan. Bulir airnya mengingatkanku padamu. Bahwa kau tak bersenyawa denganku. Kuberitahu, aku memerlukan lebih dari sekedar cumbuan. Hati-hati di jalanmu. Akupun akan begitu.

———————
*ditulis setelah mendengar lagu Separated milik Usher
Tuan A -sendiri di ruang persegi mengingat Raja

Kamis, 03 Juni 2010

Ganjil

Ibu, masih ingat dulu aku merengek minta diajak ke layar lebar? Ada film yang teman-temanku ramai gunjingkan. Ibu mengiyakan pintaku dan aku sumringah berkepanjangan. Senangnya bukan kepalang. Setelahnya, aku merengek minta dibelikan kaset yang berisi lagu-lagu dalam film itu. Ibu mengiyakan. Aku senang bukan kepalang. Kita putar kasetnya saat hampir petang, bapak belum pulang mungkin sedang menyambangi si jalang. Tenang, berdua saja denganmu aku sudah senang. Senang bukan kepalang. Senang berkepanjangan.

Satu lagu itu aku pinta ibu putar berulang. “Lagi ibu, lagu itu lagi!”. Ibu mengiyakan, setia menemaniku mendengarkan berulang-ulang. Kita tak hanya mendengar. Kita berandai-andai berkepanjangan. Andai aku besar nanti. Andai aku besar nanti*. Andai aku besar nanti. Ibu setia mengamini andai-andaiku yang panjang. Mengandai berulang-ulang. Aku senang bukan kepalang. 

Maaf, ibu. Aku belum sempat menggenapi andaianku padamu di sebesar ini. Bukan, bukan karena aku terlalu dimanjakan bapak yang berlaga bak penguasa kerajaan. Bukan karena aku sibuk gonta-ganti pasangan. Bukan karena aku mengandai setinggi-tinggi awan. Bukan karena saudara-saudaraku lebih membanggakan. Aku tahu ibu sering menangis meringkuk di ujung ranjang. Bukan karena kedinginan. Lantaran para pendahuluku bermain terlalu jauh dari simpangan. Boleh kuberi mereka satu-dua tamparan? 

Maaf, ibu. Aku sempat membuatmu merasa bersalah berkepanjangan karena belum sempat menggenapi andaianku sendiri di sebesar ini. Membuatmu kerap mengantarkan maaf yang tak perlu. Harusnya aku tahu ibu tak pernah merengek menyoal kapan andai-andai itu jadi benar-benar. 

Maaf, ibu. Aku sudah berada lebih jauh simpangan daripada para pendahuluku yang ingin kutampar dulu. Kalau ibu mau beri aku tamparan, aku tak akan mengelak barang segerakan. Nyatanya aku tak seistimewa yang ibu andaikan.



*Judul salah satu lagu yang gemar kuputar berulang-ulang milik Sherina.
————————————————————————-
A –anak lelaki Sum

Selasa, 01 Juni 2010

Ini Sakti!

Ini, ini, rasanya nyeri ini. Ini, nyeri ini sakit, ini. Ini, sakit ini berkepanjangan ini.Ini di sini ini, di kepala belakang kanan sini, ini. Ini, dekat telinga ini, dekat sekali ini. Ini, telinga ngiung-ngiung ini, nyaring sekali ini di sini, di telinga kanan ini. Ini, ini sakitnya merambat ini.Ini, ini merambat ke mata ini, mata kanan di sini, ini.

ini, sakit ini, s a k i t  s e k a l i   i n i.


















--------------------------------------------
A, ini di sini ini di ruang ini , ini