Rabu, 16 Juni 2010

Lelaki Tua yang Kehujanan


Seperti sore-sore lainnya di hari kerja, sore ini aku memilih duduk di samping jendela. Entah sudah berapa menit sejak aku menghempaskan tubuh ini pada dudukan berbusa berlapis kulit hitam warnanya. Bis belum bergerak maju barang sejengkal, menunggu jumlah penumpang hingga berjejal. Aku mulai mual. Aku selalu mual mendengar suara mesin menderu tak bergerak tapi bergetar. Mualku dikagetkan langit yang tiba-tiba ikut bergetar.
Mendung tak bisa bertahan lebih lama. Ia memuntahkan bulir-bulir rinai, menghujani semesta. Membuat orang-orang bergerak lebih cepat dari biasanya. Berteduh.
Aku selalu bisa menikmati hujan yang seperti ini, tak berlebihan. Sejuknya sedang. Gemuruhnya tak panjang. Air hujan yang menghempas aspal jalanan membuatku kurang menikmati hujan kali ini. Aku tak mencium bau tanah. Bahkan tak kutemukan tanah di sepanjang mataku mengharah.
Aku sedang memberikan perhatian pada jalanan saat bis yang kutumpangi bergerak maju perlahan. Penjual rokok yang kebasahan. Kuda-kuda besi yang menepi kebasahan. Orang-orang yang menghindar dari kebahasan. Lelaki tua yang kebasahan.
Mataku terhenti pada tubuh ringkih berkeriput. Rahang yang pipih. Rambut jarang-jarang. Mata sayu yang tak berhenti menatapku entah sejak kapan. Mata milik lelaki tua yang kehujanan. Aku sempat melayangkan sesungging senyum sebelum bis pengantar pulang semakin menjauhkan pandanganku dari bawah pohon yang menaunginya. Lelaki tua yang kehujanan tak membalas senyumku. Ia hanya mengangkat tangannya. Mengarahkan telunjuknya ke angkasa. Menuntun arah pandangku ke gugusan awan yang hitam sebagian.
Awan sedang bersedih sore ini. Aku tahu karena tak kulihat jingga di antara gumpalan-gumpalannya yang menumpahkan hujan. Yang hitamnya bergerak-gerak perlahan. Yang menyentakku dengan petir segaris terang.
Petir mengembailkan arah pandangku pada pohon tempat lelaki tua yang kehujanan menunjuk angkasa. Tak ada siapa-siapa. Halte di sampingnya masih ramai oleh orang-orang yang menepi. Aku tak menemukan lelaki tua itu lagi. Lelaki yang mengantarku pada sentakan gendang petir di balik awan. Lelaki yang tak mau membalas senyum yang kupaksakan. Lelaki yang mengingatkanku pada sesuatu yang telah kuabaikan. Lelaki tua yang kehujanan.

———————————————
A, di jalanan, sore hari Selasa 15 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar