Sabtu, 27 November 2010

Buat Apa Menghujat Matahari?


Selamat malam, Biru. Kepala ini
lebam isinya. Apa kau tahu sebab
semesta muram? Siapa
sedang berusaha memakamkannya,
perlahan?

Ia tak pernah cemburu. Tidak ada
pamrih. Tiada mengeluh. Terima
kasih, peluh.

O, aku lupa. Pun Ia tak
ada pernah berniat
sombong. Bukan Ia si pembuat hati
berongga, sombong. Si penguap barisan
kata yang tertunda ucap, pun bukan Matahari.
Mungkin lainnya, mentari.

Mentari kerap pergi,
diam-diam. Beranjak. Matahari bergerak.
Tak pernah benar-benar berjarak.
Ia, yang setia, mengamini
bait-bait para pendoa.

Hari masih separuh saat gelap
bergulir. Lusinan doa terapal,
cepat-cepat. Mengiringi Matahari,
lambat-lambat.

Tak akan ada Ia lagi
setelahnya.


Depok, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar