Selasa, 16 November 2010

Saya dan Kompasiana: Ruang Bebas Terbatas


Tertulis tanggal 15 Januari 2010 di halaman profil akun Kompasiana saya. Ini berarti sudah 10 bulan saya berkutat dengan sebuah portal yang menyebut diri sebagai jurnalisme warga. Saya ingat betul bagaimana saya berkenalan dengan Kompasiana. Saat itu, pertengahan Januari, saya sedang membantu adik saya mencari data untuk kelengkapan tugas sekolahnya. Salah satu dari sekian banyak hasil pencarian di Google menautkan saya ke Kompasiana. Saya perhatikan, saya baca, saya menggumam “It’s the place I should be at”. Seperti menemukan tempat yang tepat, saya masuk mantap, tanpa gelagap.

Saya, Kompasiana dan Orang-orang Hebatnya

Selang beberapa minggu saya meracau di Kompasiana, seorang kompasianer Jogja, Adityo, mengenalkan saya pada kawan-kawan Anggurmerah. Saya yang berusaha mengerti tag “anggurmerah” dan kemudian merasa satu visi dengan mereka, akhirnya bergabung bersama muda-mudi absurd nan cemerlang dalam tag tersebut. Mereka adalah kaum muda dengan buah pikir yang luar biasa, menurut saya.

Akhir Januari, ada info soal kegiatan kopi darat (kopdar) para kompasianer di Taman Ismail Marzuki. Dengan maksud ingin mengenal orang-orang hebat yang wara-wiri di Kompasiana, saya memutuskan hadir meski masih menjadi anak bawang. Entah kenapa, saya merasa paling muda saat itu, haha. Hari itu berakhir dengan obrolan panjang di rumah Paman Syam. Senang sekali bisa bicara banyak dengan para tetua Kompasiana di rumah Ibu Kita itu. 

1289675160670702849
Kopdar di Taman Ismail Marzuki

Setelahnya, saya kerap hadir di pertemuan-pertemuan baik yang diadakan admin, Monthly Discussion, maupun sekadar kopdar lesehan yang digagas mandiri oleh teman-teman Kompasiana. Mengenal banyak orang dengan segala rupa karakter dan pemikiran yang tak pernah sama adalah berkah bagi saya. Sayangnya, pertemuan dengan mereka selalu dibatasi waktu. Saya kira ini penting, karena komunitas maya tidak sama dengan dan kadang lebih nyaman ketimbang komunitas nyata di beberapa bagian. 


12896749761044542320
MODIS Maret 2010

Saya, Kompasiana dan Pertemuan Ragam Spasi di Dalamnya

Sejak Juni 2010, saya mulai menempatkan tag “spasi” di hampir setiap tulisan saya. Spasi adalah kumpulan orang muda bingung yang merasa bukan orang kebanyakan, suka menjadi misterius dan tidak suka aturan*. Selain menulis serabutan dengan batasan tema tiap bulannya, Spasi juga gemar berlajar menulis bersama adik-adik kecil di daerah tertinggal. Dengan bimbingan Syam AR dan Mariska Lubis, kami sudah dua kali bermain dan berbagi cerita di SDN 1 Muara, Teluk Naga, Tangerang. Persinggahan ketiga kami ke sana sedang dalam perencanaan.

Perbedaan waktu dan kota tempat tinggal membuat Spasi sering saling rindu. Segala persiapan bekal kunjungan hanya bisa dibicarakan dalam rapat virtual. Meski baru beberapa kali temu muka dengan mereka, saya berani mengakui bahwa Spasi adalah pengalaman luar biasa yang tak akan pernah saya temukan jika tak mengenal Kompasiana. Spasi, kalian Maha Keren! 

1289674734115841534
Spasi di Teluk Naga

Saya, Kompasiana dan Pandirnya

Terima kasih, Kompasiana. Saya kerap dibuat tertawa terpingkal-pingkal olehmu, oleh para orang tua tepatnya. Sering kali Kompasiana menyajikan halaman-halaman dengan tanggapan panjang berisi adu argumen yang menggelitik. Saya memang meyakini Kompasiana sebagai ruang diskusi yang cukup baik. Mulai dari isu agama, ketuhanan, sosial, bahkan politik. Menjadi lucu karena banyak kompasianer yang merasa paling bisa berdiskusi tetapi justru mengacuhkan etika berpendapat. Sungguh lucu bagi saya.

Kompasiana adalah ruang bebas. Setiap orang memiliki kebebasan menulis sesuai dengan rubrikasi yang disediakan. Bebas menanggapi tulisan apapun sesuai keinginan karena Kompasiana adalah jurnalisme warga yang terbuka bagi siapa saja. Jurnalisme warga adalah salah satu dari 10 elemen jurnalisme. Seperti bentuk jurnalisme lainnya, Kompasiana pun mengacu pada kode etik jurnalistik sebagai pondasi keteraturan. Lebih mengikat dari sekedar kode etik, ada UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers Indonesia yang harus dijadikan batasan. Mari kita saling berbagi informasi seluas-luasnya karena kemerdekaan pers dilindungi hukum sebagai hak asasi warga Negara, tetapi ingat juga bahwa selalu ada batasan dalam sebuah kebebasan demi terwujudnya keterarutan yang bertanggung jawab. 

Saya, Kompasiana dan Angkanya

Bicara soal angka, banyak yang mengasosiasikan dengan kepuasaan. Berikut saya akan menyajikan angka-angka di Kompasiana yang berkaitan dengan saya sepuluh bulan terakhir. Buat saya, kepuasan ngompasiana tak terletak pada angka-angka ini, tetapi ada pada hubungan antara proses dan dampak baik yang dirasa orang lain dari apa yang saya tulis. Saya sebenarnya selalu heran tiap kali tulisan saya dinilai inspiratif atau bermanfaat, tapi saya yakin tiap orang memiliki daya menginspirasi dan daya guna yang beda dan unik.

Saya mulai angkanya dengan jumlah tulisan saya di Kompasiana. Sebelum tulisan ini ditayangkan, total tulisan saya berjumlah 126 tulisan dalam 10 bulan terakhir yang terbagi dalam 17 kategori. Saya lebih banyak menulis fiksi selama ini, tapi tidak seproduktif yang lain. Lalu, untuk jumalh pembaca terbanyak, saya dapatkan di tulisan “Surat untuk Mantan Pacar” yang berjumlah 778 pembaca. Komentar terbanyak berjumlah 165 tanggapan terdapat di tulisan “Balada Lapangan Hijau” yang tidak menang dalam lomba menulis Piala Dunia lalu. 

Nilai tertinggi yang saya dapatkan sejauh ini adalah 21 dari 32 Kompasianer menilai menarik tulisan “#1 Kodrat: Bicara Kodrat”. Untuk headline, seingat saya, saya pernah menyumbang 5 tulisan di halaman muka Kompasiana. Angka-angka tersebut dimuat dalam tulisan ini tanpa maksud terselubung di dalamnya, hanya arsip belaka, haha.

Saya, Kompasiana dan Buku Pertama

Saya sudah menyebutkan sebelumnya bahwa saya lenih banyak menulis fiksi di Kompasiana. Sebuah rubrik yang sempat diberi predikat Tong Sampah oleh salah satu kompasianer. Fiksi yang saya tulis serupa puisi dan prosa berkisar isu sosial hingga pengalaman pribadi. Seperti orang yang gemar menulis kebanyakan, pun saya berkeinginan membukukan racauan-racauan saya supaya tak berserakan jadi sampah. Beruntung, keinginan saya telah terwujud.

Berkat info salah satu kompasianer di akun Twitter-nya, saya bergabung dalam proyek 99 witers in 9 days yang digagas nulisbuku.com dan Mizan Digital. Sebuah buku antologi prosa berjudul Kejutan akhirnya terbit ala self-publishing dengan nama saya di sampul depannya. Buku ini berisi 20 prosa yang beberapa sudah saya tayangkan di Kompasiana. Ini adalah berkah luar biasa bagi saya yang mungkin tak akan terwujud tanpa Kompasiana.
sampul-depan
Maaf jika tulisan saya ini dirasa terlalu panjang. Saya hanya ingin berbagi cerita tentang hubungan saya dan Kompasiana diusianya yang telah mencapai tahun kedua. Untuk kalian yang merasa tak berkenan dengan keberadaan saya di Kompasiana, silakan maafkan saya. Untuk yang telah menjadi bagian dari 10 bulan luar biasa ini, terima kasih tak cukup untuk kalian. Senang bisa mengenal kalian semua yang terjamah jangkauan terbatas saya di Kompasiana.

Ingat bahwa Kompasiana bukan milik satu agama. Bukan milik satu golongan. Bukan milik satu partai. Bukan milik satu kelamin. Bukan milik satu etnis. Bukan milik orang tua atau kawula muda. Kompasiana milik kita bersama yang menginginkan rumah ini tetap sehat. Sampai jumpa di MU CafĂ©, semoga tak ada halangan nantinya. Berkah baik bagi kita semua. Amin. 


Depok, 15 Nopember 210
*dikutip dari halaman Kumpulan Spasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar