Jumat, 03 September 2010

Separatisme Kekinian

Bhineka Tunggal Ika


Bhineka Tunggal Ika kini hanya menjadi sebuah slogan yang nyaris kehilangan maknanya. Aktualisasi pemaknaan "berbeda-beda tetapi tetap satu jua" menjadi amat langka dewasa ini. Masyarakat justru menggunakan perbedaan sebagai senjata penghakiman bahwa suatu kelompok lebih baik daripada kelompok lainnya.

Perbedaan yang seharusnya menjadi motivasi peningkatan integritas bangsa beralih fungsi seiring dengan maraknya medornitas pemikiran yang dipengaruhi oleh rasa ingin bersaing. Persaingan antarkelompok itu mulai memberangus rasa kebersatuan.

Fenomena seperti ini terlihat jelas di banyak institusi pendidikan tinggi. Perbedaan cara pandang prematur mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok mahasiswa yang mulai memisahkan diri dari mayoritas. Sebuah bentuk separatisme yang dilandasi ego bahwa mereka lebih baik ketimbang para mahasiswa lainnya.

Mereka mungkin tidak dengan sengaja memisahkan diri dari mayoritas. Tetapi, dengan alih-alih bahwa ideologi prematur mereka tidak sejalan dengan kebanyakan, mereka mulai membuat jarak. Beberapa menganggap ini masalah sepele, hanya sekedar soal memilih teman nongkrong. Padahal ini adalah bentuk awal dari perpecahan integritas dalam sebuah institusi pendidikan.

Anggap saja ini sebagai fenomena sosial yang tak terhindarkan, tapi toh tetap dapat diminimalisir. Mungkin banyak yang lupa bahwa selalu ada hal penting di balik sesuatu yang dianggap sepele. Ada banyak hal luar biasa yang dimiliki oleh para mahasiswa yang dianggap remeh oleh mahasiswa lainnya yang merasa lebih superior. Sayangnya, keengganan mencari tahu sudah mengakar lebih dalam. Kalau sudah begini, siapa yang salah dan siapa yang benar? Mari kita telaah soal pengelompokan mahasiswa ini dengan pembagian sebaga berikut; Akademisi, Organisator, dan Anak Gaul.

Kelompok Akademisi yang dimaksud adalah mereka yang beorientasi pada nilai. Ada yang menyebut mereka sebagai mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang, kuliah-pulang). Tujuan mereka ke kampus hanya untuk belajar demi mendapatkan nilai yang memuaskan. Satu hal yang mereka lupa; kampus bukanlah sekedar tempat belajar, tetapi juga tempat interaksi sosial.

Kelompok kedua, Organisator, adalah mereka yang bergelut dalam kelembagaan kampus. Oke, sebut saja mereka mahasiswa kura-kura (kuliah-rapat, kuliah-rapat). Beberapa dari mereka sudah mempunyai pengalaman organisasi sebelumnya. Beberapa lainnya, seperti kesetanan, mengikuti hampir semua organisasi yang mungkin mereka ikuti sebagai bentuk pertunjukan eksistensi. Bersosialisasi dengan banyak orang mungkin adalah salah satu cara pencapaian aktualisasi diri, tapi bukan berarti mengesampingkan tugas utama seorang mahasiswa; belajar. Sesungguhnya, organisator yang baik adalah yang memiliki kontrol diri dan manajemen waktu yang baik. Menjadi organisator seharusnya bukan alasan untuk menunda kelulusan setahun atau dua tahun lebih lama.

Kelompok ketiga disebut Anak Gaul. Mereka adalah para mahasiswa yang tidak terlalu berorientasi pada setinggi apa nilai yang mereka dapatkan dalam setiap mata kuliah. Mereka juga tidak gila organisasi. Kelompok ini disebut gaul dengan ditandai bagaimana cara mereka berpenampilan. Mereka selalu mengikuti arus tren penampilan dan hiburan. Dua kelompok yang disebut di awal menganggap kelompok ini sebagai kaum hedonis. Menurut saya, tahu wawasan kekinian dan tahu bagaimana menyikapinya bukan melulu hedonis. Kecuali jika mereka menjadikan kekinian tersebut sebagai orientasi utama dalam segala hal.

Ketiga kelompok itu sudah dipastikan saling menganggap remeh satu sama lain. Menganggap kelompoknya selalu lebih baik ketimbang kelompok lain. Kelompok akademisi menganggap kelompok organisator membuang terlalu banyak waktu di luar kelas dan itu bukan hal yang seharusnya dilakukan mahasiswa. Kelompok organisator menyikapi kelompok anak gaul sebagai orang-orang yang tidak bisa apa-apa selain berpenampilan menarik. Sementara, penampilan bukanlah segalanya. Kelompok anak gaul berpendapat bahwa kelompok akademisi adalah sekumpulan orang aneh yang anti-sosial dan ingin sekali mengingatkan mereka bahwa manusia itu makhluk sosial, tetapi mereka terlalu gengsi untuk berinteraksi dengan orang-orang di luar lingkarannya.

Pengelompokan ini bukanlah hal yang baik untuk dipertahankan. Para mahasiswa cukup dewasa berpikir bahwa integritas adalah pilar yang seharusnya tidak bercabang. Bagaimana caranya? Mereka bisa belajar menghargai perbedaan untuk mencapai rasa kebersatuan yang utuh di bawah nama institusi pendidikan mereka. Mereka juga bisa beradaptasi dengan lebih baik lagi. Tidak ada salahnya menjadi seorang orginastor yang baik asal tidak melipakan perihal akademis dan tetap bisa mengikuti pergaulan. Ini akan menjadi kombinasi yang baik bukan?

—————————————————
Jakarta, 27 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar