Senin, 11 Oktober 2010

Angin


Sarapan

“Aku tak mau tinggal di gorong-gorong.” Kalimat Slamet memecah lamunan Utok tanpa aba-aba. Kalimat pertama setelah keduanya lama terduduk diam berjamaah. Mata mereka menuju ke segala arah. Resah. Utok masih tak bisa lupa kejadian pagi tadi. Sarapan paling getir yang pernah ditemuinya.

Matahari masih hangat saat Bang Maul datang menggendang-gendang pintu kontrakan. Petak persegi tanpa kamar mandi. Ruang tempat mereka berbagi. Berbagi tikar untuk mengendapkan peluh mereka pada malam. Berbagi cerita tentang Mbak Mir yang binal. Berbagi polutan tembakau kemasan. Berbagi Tuhan.

Bang Maul datang seperti biasa, berkaus putih dengan lilitan sarung pada perut sapinya. Tanpa kata pengantar, ia langsung mengucap pokok bahasan. Berteriak. Menyalak. Menyoal uang kontrakan yang sudah tiga bulan belum terbayar.

“Pokoknya saya ndak mau tahu! Tak tunggu itu duit malem ini, atau kalian harus angkat kaki dari sini besok pagi. Jangan dikira saya ini departemen sosial yang mau gratis kasih tempat tinggal. Mereka kasih gratis juga setelah bagi komisi!!!” 

Tiga bulan uang kontrakan. Enam ratus ribu rupiah sebelum malam. Nominal yang membuat Utok dan bapaknya hilang akal. Membuat mereka lupa sarapan. Bahkan tak ingat soal makan malam yang terlewat entah sejak kapan. 

Sebulan lalu, keduanya masih berpenghasilan. Utok jadi buruh di pabrik tahu Mang Idin. Bapaknya masih setia keluar-masuk gang mengumpulkan plastik-plastik bekas kemasan minuman. Hampir sebulan Slamet tak lagi keliling. Kakinya dicium beling di dekat poskamling. Tetanus.


Utok berhenti bekerja bukan karena pabrik tahu itu bangkrut lantaran isu boraks mengemuka. Ia hanya tak tahan pada tingkah polah istri Mang Idin. Bi Tarsih kerap menggodanya di siang bolong saat suaminya tertidur. Dengan daster tembus pandang, ia menawarkan makan siang. Modus operandi seorang istri yang memiliki suami impoten berperut sapi. 

Utok benar tak tahan. Siang itu Bi Tarsih terlihat menawan. Cukup menarik untuk menggoda Utok yang baru dua puluhan. Bi Tarsih meminta Utok membelikannya sampo. Ia hendak mandi sepertinya. Utok menuruti maunya.

Sepulangnya dari warung dengan sampo kemasan pada genggamannya, Utok mendapati sebagian tubuh Bi Tarsih terlilit handuk. Sampo berpindah tangan. Bi Tarsih bergegas masuk ke kamar mandi. Seperti ada magnet yang menariknya, Utok setia mengikuti ke kamar mandi. Mereka berbagi sampo siang itu. Setelahnya, Utok tak pernah muncul lagi di pabrik tahu.

***

Kejar Setoran

“Aku mau ke terminal, Pak. Ngamen. Bapak jangan ke mana-mana ya.”

“Enam ratus ribu tak akan kau dapat dengan mengamen.”

“Aku tahu. Nanti kucoba cari pinjaman ke orang-orang.”

“Bapak lapar, Tok.” seru Slamet sambil menempatkan tangan kanannya di atas perut. Utok, seperti tahu apa yang harus dilakukan, berdiri berjalan keluar kontrakan. Mengarah ke warung Mpok Jaenab, tergesa-gesa. 

“Eh, ada nak Maruto. Mau sarapan apa nak? Ini masih ada lontong sayur.” sapa Mpok Jaenab sesaat setelah mendapati Utok di depan warungnya. “Nasi uduk saja Mpok, satu, buat bapak.” 

“Mau kemana nak? Buru-buru sekali.” sambil menyerahkan sebungkus nasi uduk yang terkantungi kresek hitam, Mpok Jaenab mempertanyakan kegusaran Utok yang seperti diburu sesuatu. 

“Ke terminal, ngamen. Saya titip bapak ya, Mpok. Tolong ditengok siang nanti.” Utok tak menunggu jawaban Mpok Jaenab. Ia bergegas kembali ke kontrakan. Menyerahkan sebungkus nasi uduk untuk Slamet sarapan. Diraihnya tangan Slamet, diciumnya, meminta restu orang tua. 

***

Utok sudah berjalan lagi lagi di gang sempit menuju terminal saat Slamet memulai sarapannya. Terminal yang tak jauh dari ITC yang dulunya pasar. Pasar tempat ibunya terakhir sadar sebelum kepalanya terbentur tiang listrik saat terjadi adu dorong antara pamong praja dengan pedagang. Drama penggusuran yang selalu dimenangkan si pesuruh pamong praja. Entah siapa, ia mungkin sekelas raja. Raja bagi perutnya sendiri. Raja bagi pusat belanja bergengsi. 

“Kejar setoran, Tok?” sebuah tanya mengagetkan Utok setelah ia turun dari bis kesembilan. Lagu-lagu ternama ibukota telah ia mainkan dengan iringan ukulele yang bunyinya tak lebih cempreng dari para demonstran. Utok merangkul si empunya suara yang tak lagi asing. Kuncen terminal yang makin siang makin pesing. “Iya nih, Jek. Tadi pagi Bang Maul datang nagih uang kontrakan. Tiga bulan.”

Di petak kontrakan, Slamet sibuk mengeluarkan baju-baju dari lemari kayu tak berpintu. Ia masukkan bajunya, baju Utok, ke dalam kardus coklat bekas mie instan. Tak ketinggalan potret istrinya dengan senyum paling menawan. Slamet memutuskan akan pulang ke kampung halaman. Ia bisa bercocok tanam di ladang paman, pikirnya. Ia juga bisa mengontel becak saat kemarau berkepanjangan. Apapun itu, asal ia jauh dari kota yang tak bisa memberinya ketentraman. Kota yang mengantar istrinya lebih dulu mengaku dosa di khayangan. Kota yang dikuasai raja-raja berdasi, bersedan. Kota yang penuh polutan berkaki. Kota yang membuatnya lupa bagaimana caranya bermimpi. Kota yang melepas keperjakaan anaknya dalam kamar mandi.

Semua yang diperlukan telah menyatu dalam kardus coklat bekas itu. Hanya kurang ikatan agar isinya tak mudah berserakan. Mata Slamet berkeliling mencari tali ikat. Kanan, kiri, depan, belakang. Matanya mengarah sesuai putaran kepalanya. Slamet tak menemukan yang dicari.

Utok tak lagi di terminal. Ia sedang menuju ke alamat yang diberikan Jek. Alamat lelaki genit lintah darat yang selalu ramah pada lelaki muda macam Utok. Jek menyarankan Utok mengajukan pinjaman. Mengamen tak akan cukup untuk tiga bulan uang kontrakan. Utok agak meragu di awal setelah mendengar Jek bercerita soal temannya yang harus menemani lelaki genit lintah darat itu semalaman sebelum mencairkan pinjaman. Ingatannya pada bapaknya yang menunggu di kontrakan menepis segala ragu bimbang. Ia tinggal sejengkal dari pintu rumah lelaki genit lintah darat pemilik salon remang-remang.



***

Berbagi

Tok, tok, tok! Ketukan keempat dan Utok masih belum mendapat jawaban. Entah kenapa Utok yakin lelaki itu ada di dalam rumahnya. Terdengar bunyi seperti televisi menyala. Tok, tok, tok, ketukan kelima. Seorang perempuan berpiyama membuka pintu sambil menguap setelah ketukan kesekian. Perempuan yang dikenali Utok sejak lama, kasir salon milik Johan, lelaki genit lintah darat itu. “Sedang apa Mbak Mir di rumah Johan?” batin Utok bertanya-tanya.

“Utok ya? Ada apa, Tok? Ayo, masuk!” sapa Mbak Mir sembari mengajak Utok mengarah ke dudukan sofa tak jauh dari pintu.

“Saya ada perlu sama Mas Johan, Mbak” jawab Utok agak kikuk. Ini adalah kali pertamanya berhadapan langsung sedekat ini dengan perempuan yang sering dibicarakannya dengan teman-temannya, dengan bapaknya. Perempuan yang meresahkan ibu-ibu sekitar. Senyum meanawan dan tubuh sintalnya yang kerap terbalut pakaian berukuran mini menggoda banyak lelaki. Mbak Mir mengenal Utok saat membeli tahu di kios Mang Idin suatu hari. Saat itu, Utok sedang kebagian jaga kios.

“Jo lagi plesir ke Bali sama lakinya. Dia jarang ketemu David, jadi ya tiap kali pacarnya yang bule itu datang selalu dia ajak ke vilanya disana. Jo memintaku menjaga rumahnya selama dia bulan madu.” kata-kata Mbak Mir mengalir jujur di antara kepulan asap rokok yang dibakarnya sejak ia duduk. “Sebentar, aku buat kopi dulu, ngantuk. Kamu mau?” Mbak Mir beringsut ke ruang belakang setelah mendapat anggukan kepala dari Utok.

Seperti teman lama yang bertahun-tahun tak bertemu, banyak hal diceritakan keduanya. Utok berterus terang maksud kedatangannya mencari Johan. Diceritakannya pula soal bapaknya yang tetanus, kematian ibunya yang seketika, Bang Maul yang berperut sapi berhati gorila, serta alasan mengapa ia tak lagi bekerja di pabrik tahu Mang Idin.

Mbak Mir juga bercerita banyak soal hidupnya. Soal kangennya yang luar biasa pada anaknya yang ia titipkan di pesantren di desa supaya ia bisa bekerja. Soal pekerjaanya sebelum ia menjadi kasir di salon Johan. Soal kebenciannya pada banyak lelaki di masa lalunya. Tetapi, ada hal yang tak diceritakan Mbak Mir, bahwa ia menaruh simpati pada pemuda malang itu. Simpati yang sudah lama tak ia rasakan pada seorang lelaki.

Slamet tak menemukan tali di sekitar kontrakannya. Ia berjalan tertatih-tatih ke warung Mpok Jaenab berharap ada tali nganggur disana. Benar saja, ia mendapat tali kur dan sebungkus nasi rames cuma-cuma. Ia juga meminjam pisau alih-alih talinya kepanjangan untuk mengikat kardus mie instan yang dipenuhi pakaian. Slamet kembali ke kontrakannya setelah ia mendapat yang dicarinya. Dipandanginya lekat-lekat sekali lagi potret istrinya sebelum dimasukan ke dalam kardus untuk kemudian diikat.

Utok memang tak berhasil menemui Johan. Beruntung, Mbak Mir memiliki uang simpanan. Dipinjaminya enam ratus ribu rupiah tanpa bunga, tanpa tenggat waktu pengembalian. Utok merasa sangat beruntung hari itu.

***

Cari Angin

Dengan enam ratus ribu di sakunya, Utok bergegas pulang. Air mukanya riang. Ia tak sabar bertemu Slamet untuk mengabarkan bahwa mereka tak harus pergi dari kontrakan. Disusurinya jalan-jalan sempit padat sampah disana-sini. Sampah rumah tangga, sampah masyarakat, sampah duniawi.

Memasuki gang lurus menjurus kontrakannya, ia menemukan orang-orang berkumpul. Sebagian panik. Sebagian saling berbisik. Orang-orang itu memenuhi sekitaran depan petak perseginya. Utok mulai panik. Langkahnya yang dipercepat terhenti, tertahan tangan Mpok Jaenab yang mencoba bicara, terbata.

“Ba-bapakmu, Tok. Ba-pak-mu.” Utok terdiam, meraba makna pembicaraan.

“Bapakmu bunuh diri, Tok. Nadinya putus, ndak bisa selamet lagi.” Jelas Mpok Jaenab yang diikuti kelam pada wajah Utok. Pemuda itu menyegerakan diri masuk rumahnya. Melewati kerumunan yang masih sibuk berbisik, didapatinya tubuh Slamet tergeletak. Merah di sekitar tangan kirinya. Pisau kaku, membisu di atas tikar. Tangan kanan Slamet memeluk pigura. Medekatkan gambar istrinya ke arah dada. Tiada nyawa.

Utok masih mematung di bibir pintu saat Pak RT datang bersama hansip satu-satunya. Pak RT meminta warga menjauh dari pintu. Meminta mereka berhenti gaduh. Meminta Utok sabar menjadi yatim piatu.
Utok masih tak bergerak. Dipandanginya jenazah Slamet lekat-lekat. Pakaian dalam kardus sudah terikat. Pikirannya menggeliat. Ia hampiri Pak RT. Lalu ia menggenggamkan tiga ratus ribu rupiah ke tangan bapak itu. “Tolong makamkan bapak saya.”

Sejak hari itu, Utok tak pernah terlihat di sudut kota itu, pemukiman padat pinggiran kota tempat bapaknya meregang nyawa. Tak ada yang tahu ia pergi kemana. Yang diingat tentangnya adalah tatapan geram di sela langkah tergesa-gesa, seperti memburu sesuatu. Sebelum benar-benar pergi, ia sempat menjawab tanya Mpok Jaenab tentang tujuannya.

“Entah. Saya sendiri sekarang. Saya mau pergi saja. Jauh-jauh dari sini, mengikuti namaku. Bapak bilang Maruto itu Dewa Angin. Mungkin bapak benar.”


Jakarta-Depok, Mei-Oktober 2010
*ilustrasi: Diagonal - Maruto Harjanggi Huseini

2 komentar:

  1. Ceritanya sangat nyata, benar-benar berisi kritik sosial. Banyak cerita semacam ini di sekeliling kita dan kamu bisa menuliskannya dengan sangat rapi, Ndi.


    Saya tidak menyangka paragraf terakhirnya akan seperti itu. Dari awal sampai akhir saya bertanya mengapa judul cerpen ini Angin. Tapi baca paragraf terakhir saya jadi tahu alasannya.


    Cerita yang bagus. Tata bahasamu sedari dulu sangat aku suka, Ndi "sastra" yang belum bisa aku tulis, baru bisa membaca. Seperti harus banyak belajar dari karya-karyamu juga.


    Katamu selesainya sampai 6 bulan. Bagiku tak masalah selesai berapa lama. Kadang orang lebih suka kualitas daripada kuantitas kan? kedua cerpenmu sudah menunjukkan kamu penulis yang punya kualitas.


    Lanjutkan menulis cerpen, Ndi. saranku : coba kirim ke media cetak!

    BalasHapus
  2. Terima kasih apresiasinya, Mbakku.
    Masih perlu banyak belajar nih :)

    BalasHapus